Unsur-unsur atau Rukun Wakaf

 Unsur-unsur atau Rukun Wakaf
            dalam bahasa arab, kata rukun mempunyai makna yang sangat luas. Secara etimologi, rukun biasa diterjemahkan dengan sisi yang terkuat. Karenanya, kata rukun rukn al-sya’i kemudian diartikan sebagai sisi dari sesuatu yang menjadi tempat bertumpu.
            Adapun, dalam etimologi fiqih, rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan sesuatu disiplin tertentu, dimana ia merupakan bagian integral dari disipin itu sendiri. Atau, dengan kata lain rukun adalah penyempurnaan sesuatu, dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.
            Oleh karena itulah, sempurna atau tidaknya wakaf sangat dioengaruhi ileh unsur-unsur yang ada dalam pebuatan wakaf tersebut. Masing-masing unsur tersebut harus saling menopang satu dengan lainya. Keberadaan yang satu sangat menentukan keberadaan yang lainya. Adapun unsur-unsur atau rukun wakaf tersebut menurut sebagian besar ulama (madzhab malikiyyah, syafi’iyyah, zaidiyah, dan hanabillah) adalah:
1.      Ada orang yang berwakaf (waki).
2.      Ada harta yang diwakafkan (mauquf).
3.      Ada tempat kemana diwakafkan harta itu/tujuan wakaf (mauquf ‘alaih)
4.      Ada akad/pernyataan wakaf (sighat)
Dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, unsur wakaf ditambah 2 hal lagi yaitu:
1.      Ada pengelola wakaf (nazhir)
2.      Ada jangka waktu yang tak terbatas
Dari setiap unsur-unsur wakaf tersebut harus dipenuhi syarat-syarat masing-masing yakni:
Wakif harus mempunyai kecakapan melakukan tabarru yaitu melepaskan hak milik tanpa imbangan materiil. Artinya mereka telah dewasa ( baligh ), berakal sehat, tidak dibawah pengampuan dan tidak karena terpaksa berbuat. Cakap ber tabarru  berdasarkan pertimbang akal yang sempurna pada orang yang telah mencapai umur baligh. Di dalam fikih islam di kenal dua pengertian baligh dan rasyid,pada istilah baligh di titik beratkan pada umur sedangkan rasyid mengacu pada kematangan jiwa atau kematangan akalnya.

Oleh karena itu lebih tepat bila menentukan kecakapan ber- tabarru dengan ketentuan pula adanya syarat rasyid. Sejalan dengan ini misalnya penentuan dewasa menurut adat yang tidak melihat umurnya, terlebih penting mendasarkan pada kenyataan sudahkah matang jiwanya, sudahkah mampu mendiri, walaupun sudah cukup umur tetapi kalau belum mempunyai kecakapan bertindak atau belum cakap mandiri, masih di anggap belum dewasa. Contoh lain dalam UU No. 1 Tahun 1974 menetapkan umur kawin ( baligh ) 16 Tahun wanita dan 19 Tahun bagi pria (Pasal 7 ayat 1).
Maukuf di pandang di pandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan lama di pergunakan dan hak milik Walif murni. Harta wakaf dapat berupa benda tetap maupun bergerak, suatu saham pada perusahan dagang, modal uang yang di perdagangkan, dan lain sebagainya.
Perlu di perhatikan dalam hal wakaf berupa modal, keamanan modal harus terjaga sehingga memungkinkan berkembang dan mendatangkan untung yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk tujuan wakaf. Tentu saja di dalam menjalankan modal yang merupakan harta wakaf itu harus mendaskan ketentuan-ketentuan hukum islam. Misalnya perlu diopahami kaidah fiqhiyyah Syirkah, Ijarah (sewa menyewa), riba,dan lain-lain.
Mauquf ‘alaih tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai dengan sifat amalan wakaf sebagai salah satu bagian dari ibadah. Mauquf ‘alaih harus merupakan hal-hal yang termsuk dalam kategori ibadah pada umumnya, sekurang-kurangnya merupakan hal-hal yang dibolehkan atau “mubah” menurut nilai hukum islam.
Selain tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai ibadah, mauquf ‘alaih harus jelas apakah apakah untuk kepentingan umum seperti untuk mendirikan masjid, ataukah untuk kepentingan sosial seperti kepentingan pembangunan panti asuhan, atau bahkan untuk kepentingan keluarga sendiri. Apabila ditunjukan kepada kelompok orang-orang tertentu, harus disebutkan nama atau sifat mauquf ‘alaih secara jelas agar harta wakaf segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Demikian juga apabila diperlukan organisasi (badan hukum) yang menerima harta wakaf dengan tujuan membangun tempat-tempat ibadah umum.
D.    Syarat-syarat shighat wakaf
Sighat (lafaz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan dengan tulisan, lisan atau dengan sesuatu isayarat yang dapat dipahami maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat dipergunakan menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi orang yang tidak dapat menggunakan dengan cara tulisan atau lisan. Tentu saja pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dimengerti pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan dikemudian hari.
Mengingat bahwa amalan wakaf telah dipandang terjadi dengan berbagai konsekuensi yang ada setelah terjadinya wakaf (ijab), maka pernyataan menerima (qabul) dari mauquf ‘alaih tidak diperlukan.
E.     Syarat-syarat pengelola wakaf (nazhir)
            Nazhir wakaf adalah orang, organisasi atau badan hukum yang memegang amanat untuk memelihaara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuanya.
            Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi Nazhir asalkan ia tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi, kalau Nazhir itu adalah perseorangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu; beragama islam, dewasa, dapat dipercaya, serta mampu secara jasamani dan rohani untuk menyelenggarakan segala urusan uang berkaitan dengan harta wakaf.
F.      Syarat jangka waktu
Para fuqaha berbeda pendapat tentang syarat permanen dalam wakaf. Diantara mereka ada yang mencantumkan sebagai syarat tetapi ada juga yang tidak mencantumkanya. Karena itu, ada diantara fuqaha yang membolehkan wakaf muaqqad (wakaf untuk jangka waktu tertentu).
Pendapat pertama yang menyatakan bahwa wakaf haruslah bersifat permanen, merupakan pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Hanabillah, (kecuali Abu Yusuf pada satu riwayat), Zaidiyah, Ja’fariyyah, dan Zahriyyah berpendapat bahwa wakaf harus diberikan untuk selamanya (permanen) dan harus disetakan statemen yang jelas untuk itu.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa wakaf boleh bersifat sememtara didukung oleh fuqaha dari kalangan hanabillah, sebagian dari kalangan Ja’fariyyah dan Ibnu Suraij dari kalangan syafi’iyyah. Menurut mereka, wakaf sementara itu adalah sah baik dalam jangka waktu panjang maupun pendek.
Di indonesia, syarat permanen sempat dicantumkan dalam KHI. Pada pasal 215 KHI dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainya sesuai dengan ajaran Islam.  Jadi menurut pasal tersebut, wakaf sementara adalah tidak sah.
Namun syarat itu kemudian berubah setelah keluarnya UU No. 41/2004. Pada pasal 1 UU No. 41/2004 tersebut dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahakan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan ya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. Jadi, menurut ketentuan ini wakaf sementara juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentinganya.
referensi:

DR. Abdul Ghafur Anshori, S.H, M.H."Hukun dan Praktik Perwakafan di Indonesia " (yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005) hal 31-33

Comments

Popular posts from this blog

fiqih kaidah-34

Ilmu Tawarikh An-Nuzul

Syarat-syarat al-Syufqah