SEJARAH POLIGAMI

Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan, ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru dan menyesatkan. Mahmud Syaltut (w. 1963), ulama besar asal Mesir, secara tegas menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa poligami ditetapkan oleh syari’ah.[1]
Berabad-abad sebelum Islam diwahyukan, masyarakat diberbagai belahan dunia telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Poligami dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri sampai ratusan.[2]
Sejumlah riwayat menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri hanya empat orang, yakni QS. An Nisa’ ayat 3, nabi segera memerintahkan semua laki-laki yang mempunyai istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga setiap suami maksimal hanya boleh punya empat istri. Karena itu, Al-Aqqad, ulama asal Mesir, menyimpulkan bahwa Islam tidak mengajarkan poligami, tidak juga memandang positif, apalagi mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan syarat yang sangat ketat.[3] Sangat disesalkan bahwa dalam prakteknya di masyarakat, mayoritas umat Islam hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan sama sekali syarat yang ketat bagi kebolehannya itu.
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal.
Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan pembatasan poligami tersebut diantaranya riwayat dari Naufal bin Muawiyah. Ia berkata: “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah berkata “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat”. Pada riwayat lain Qais bin Tsabit berkata: “Ketika aku masuk Islam aku punya delapan istri. Aku menyampaikan hal itu kepada Rasul dan Beliau berkata “Pilih dari mereka empat orang”
Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Artinya, Islam memperketat syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala.
Dengan demikian, terlihat bahwa praktek poligami dimasa Islam sangat berbeda dengan praktek poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil. Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat apapun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya.
Berdasarkan fakta sejarah sebagaimana dinukilkan diatas, kita dapat berkata bahwa sistem poligami seperti yang dipraktikkan oleh umat pada masa modern sekarang, termasuk umat Islam, merupakan kelanjutan dari syariat yang diamalkan oleh umat umat terdahulu. Malah didalam Islam, pelaksanaannya jauh lebih teratur dengan persyaratan-persyaratan yang ketat, tidak boleh dilakukan semaunya sebagaimana dimasa silam. Jadi, tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa sistem poligami adalah ajaran Islam saja dan bahkan dikatakan nabi Muhammad lah yang mempeloporinya, seperti ditulis Will Durran di dalam bukunya The Story of Civilization jilid pertama, sebagaimana dikutip Thahhari : “Para teolog di zaman abad-abad pertengahan berpendapat bahwa Muhammad lah yang memprakarsai poligami.” Dengan demikian, jelas sekali pendapat ini tidak didasarkan pada fakta sejarah yang valid. Disyariatkannya kembali poligami oleh islam tentunya bukan sekedar ikut-ikutan terhadap syariat umat yang terdahulu, melainkan lebih dari itu, yakni ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia dimuka bumi pada akhir zaman.[4]
Kata-kata “poligami” terdiri terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologis, istilah poligami berasal dari  bahasa Yunani, yakni apolus = banyak, dan gamos = perkawinan. Kata lain yang mirip dengan itu ialah “poligini” juga berasal dari bahasa Yunani, polus = banyak, dan gene = perempuan. Poligami artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi paling banyak empat orang[5]. Pengertian poligami secara terminologi di atas mengacu kepada petunjuk Allah yang membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Jika tidak bisa berlaku adil, maka cukup satu istri saja (monogami).[6] Menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Indonesia, poligami ialah suatu sistem perkawinan dimana seseorang pria mengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang bersamaan.[7]
Pertama-tama menarik dicatat bahwa satu-satunya ayat yang selalu dijadikan landasan teologis sebagai pembenaran bagi kebolehan poligami adalah QS. An-Nisa yang Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-tidak akan dapat berlaku adil [265][8], Maka (kawinilah) seorang saja [266][9], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[10]
2.      Asababun Nuzul QS. An-Nisaa’ [4] ayat 3 :
Para mufasir sepakat bahwa sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Rasyid Rida menjelaskan, ada beberapa peristiwa yang menjadi asbab nuzul ayat ini diantaranya, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Baihaqi dari Urwah ibn Zubair: “ Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a. tentang sebab nuzul ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian, walinya itu tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi tanpa mahar.” Riwayat lain juga dari Aisyah r.a.: “ Beliau menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, lalu ketika hartanya habis dan dia tidak sanggup lagi menafkahi istrinya yang banyak itu, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan istri-istri lainnya.”
Penjelasan yang serupa mengenai sebab turun ayat dikemukakan pula oleh Al-Thabarsyi,[11] Al-Thabathaba’i,[12] keduanya mufasir dari Iran, dan Wahbah Al-Zuhaili,[13] mufasir asal Syiria. Allah melarang para wali itu mengawini anak yatim dengan cara yang tidak adil, dan sebagai gantinya mereka dipersilakan mengawini perempuan lain satu sampai empat. Pendapat intu dibenarkan juga oleh Al-Thabathaba’i.
3.      Penjelasan Hadits Berkaitan dengan QS. An-Nisaa’ [4] ayat 3 :
Dibawah ini diturunkan beberapa hadits Rasulullah yang menunjukan bahwa seorang muslim boleh beristrikan lebih dari satu orang sampai empat tidak lebih.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Syihab bahwa Ghailan bin Salamah Atstsaqafi beristrikan sepuluh orang tatkala ia masuk Islam. Oleh Rasulullah ia disuruh memilih empat dari sepuluh istri itu.
Menurut Albaihaqi bahwa dengan hadits Ghailan itu Rasulullah jelas-jelas melarang orang mempuyai istri lebih dari empat. Kalau tidak, pasti Rasulullah tidak akan menyuruh Ghailan menceraikan keenam istrinya yang sudah dinikahinya sebelum ia masuk Islam dan yang juga bersama-sama masuk Islam.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Alharits bin Qais bahwa Umairah Al-Asadi bercerita “Tatkala aku masuk Islam aku mempunyai delapan orang istri ketika aku beritahukan hal itu kepada Rasulullah SAW, bersabdalah Beliau kepadaku memerintahkan “Pilihan empat orang diantara mereka”[14]
Penyebutan dua, tiga, atau empat pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya : “jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya  yang ada dihadapan anda.” Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.
Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan demikian pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[15]
Allah menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan diri dari memakan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya maka janganlah kamu menikahimya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia dengan orang lain. Dan pilihlah wanita lain yang kamu senangi satu, dua, tiga, atau empat dengan syarat haruslah kamu memperlakukan istri-istri kamu itu dengan adil yaitu tentang persamaan waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. Apabila kamu tidak dapat melakukan semua itu dengan adil, maka cukuplah kamu menikah dengan seorang saja atau memperlakukan sebagai istri hamba sahaya yang kamu miliki tanpa akad nikah. Kepada mereka telah cukup apabila kamu penuhi nafkah untuk kehidupannya. Hal tersebut adalah merupakan suatu usaha yang baik agar kamu tidak terjerumus kepada perbuatan aniaya.
Ada yang bertanya mengapa islam membenarkan pria menghimpun dalam saat yang sama empat orang wanita, sedang wanita tidak diperbolehkan kecuali dengan seorang pria ?
Boleh jadi ada yang tidak menerima pendapat ilmuwan yang menyatakan bahwa fitrah pria cenderung berpoligami dan fitrah wanita bermonogami. karena itu, menjawab pertanyaan tersebut sebaiknya dengan mengundang penanya melihat kenyataan atau menjawab pertanyaan berikut “Mengapa negara-negara yang membolehkan prostitusi melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bagi wanita-wanita berperilaku seks bebas dan tidak melakukannya bagi pasangan sah? ini karena kenyataan menunjukan bahwa wanita hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang bersih, yakni sperma seorang –sekali lagi seorang- pria. Begitu terlibat dua pria dalam hubungan seksual dengan seorang wanita, maka ketika itu pula cairan itu yang merupakan benih anak tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan menjangkitkan penyakit. Kenyataan menjadi bukti yang sangat jelas menyangkut hal ini.[16]
Adapun sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut :
a.       Apabila dalam suatu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istri menurut pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul, padahal suatu perkawinan diharapkan untuk mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan suatu jalan keluar yang paling baik.
b.      Sebagai akibat dari suatu peperangan umpamanya dimana jumlah kaum wanita lebih banyak dari kaum pria. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami.[17]

Allah SWT telah mensyariatkan poligami untuk umatnya. Dalam hal ini, Islam telah membatasi dengan syarat-syarat poligami dalam tiga faktor berikut ini:
1.      Faktor Jumlah
Peraturan poligami telah dikenal dan dibolehkan sebelum Islam lahir, aturan tentang poligami memang sudah dikenal dan dalam kabilah-kabilah Arab zaman jahiliyah tanpa batasan tertentu. Setelah Islam lahir, dasar-dasar dan syarat poligami diatur sedemikian rupa sehingga jelaslah bahwa jumlah yang diperbolehkan adalah empat orang dan ditekankan prinsip keadilan diantara para istri dalam masalah fisik material atau nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Pada dasarnya, poligami dibolehkan dalam Islam dan bukan dengan syarat karena istri pertama sakit atau mandul, selama suami mampu memenuhi beban nafkah kepada istri dan anak-anaknya.[18]
2.      Faktor Nafkah
Nafkah mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan alat-alat rumah tangga yang umum. Laki-laki yang ingin menikah pertama-tama harus mampu menyediakan biaya untuk menafkahi wanita yang akan dinikahinya.
3.      Berbuat Adil diantara Istri-istri
Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-harinya, yaitu persamaan diantara istri-istri dalam urusan sandang pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak terhadap mereka masing-masing. Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut mewujudkannya. Alllah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] : 286: “Allah tidak memberati seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” Kecintaan terhadap seseorang istri dan kecenderungan hati padanya berkanaan dengan QS. An-Nisaa’ [4] : 129: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil diantara istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…” Rasulullah saw orang yang paling mengetahui tentang agama dan paling berhasrat melaksanakan keadilan diantara istri-istrinya, pernah berdo’a: “Ya Allah bagian yang aku miliki dan janganlah engkau menyalahkan aku dalam hal yang tidak aku miliki.”[19] Karena beliau lebih mencintai Aisyah daripada istri-istri yang lain. Allah SWT mengingatkan agar hati dan kecintaan kita tidak terlalu cenderung kepada salah seorang istri sementara yang lain dilupakan dan ditelantarkan. Apabila seorang muslim ingin berpoligami sedangkan dia yakin bahwa dirinya tidak mampu menerapkan keadilan diantara istri-istrinya dalam masalah kebutuhan materi, maka itu adalah dosa disisi Allah, dan wajib baginya untuk tidak kawin lebih dari seorang istri.

E.     Hikmah Poligami Rasulullah SAW
Berikut ini akan kami rinci beberapa nama istri Rasulullah saw :
1.      Khadijah binti Khuwailid
2.      Aisyah binti Abu Bakar
3.      Saudah binti Zum’ah
4.      Zainab binti Jahasyi al-‘Asadiyyah
5.      Ummu salamah binti Abi Umayyah bin al-Mughgirah
6.      Hafshah binti Umar ibnul Khattab
7.      Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb
8.      Juwairiyyah binti al-Harits al-Khuza’iyyah
9.      Shafiyyah bin Hayyi bin Akhtab
10.  Maimunah binti al-Harits
11.  Zainab binti Khuzaimah ibnul Harits
12.  Asma binti an-Nu’man al-Kindiyyah
13.  Umrah binti Yazid al-Kilabiyyah[20]
Ibnu Hisyam mengatakan bahwa Rasulullah saw hanya menggauli sebelas orang istrinya. Dua orang lagi, yaitu Asma binti an-Nu’man al-Kindiyyah dan Umrah binti Yazid al-Kilabiyyah, beliau kembalikan kepada keluarganya setelah satu-persatu diberi harta untuk mengobati kesedihannya.[21]
Itulah istri-istri beliau nabi Muhammad saw, yang keseluruhannya janda kecuali Aisyah r.a. dan yang beliau kawini setelah bermonogami hingga usia 50 tahun lebih dan selama hidup bersama ibu putra putrinya Khadijah r.a. Istri pertama dan tercinta beliau. Istri-istri yang disebut diatas inilah yang seringkali disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan memahami latar belakang pernikahan itu.
Seluruh perkawinan Rasulullah saw mengandung tujuan yang jelas, diantaranya adalah untuk mengobati luka hati (menghibur) mereka karena suami mereka terbunuh. Perkawinan tersebut bertujuan menentramkan hati mereka, tanpa tujuan hanya semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu sebagaimana sebagaimana yang ditudingkan oleh sebagian musuh Islam.
1.      Hikmah Pendidikan
Tujuan poligami Rasulullah adalah untuk mencetak ibu-ibu pendidik yang profesional mengajari wanita-wanita tentang hukum-hukum agama Islam yang hanif, terutama tentang hukum yang berkaitan dengan masalah kewanitaan seperti haid, nifas, janabah, thaharah, dan lain-lain.
2.      Hikmah Syariat
Hikmah syariat dalam praktek poligami Rasulullah saw bertujuan untuk menghilangkan sebagian adat jahiliyah, seperti menjadikan anak angkat berkedudukan sama dengan anak kandung. Orang Arab sebelum Islam sering menjadikan anak angkat yang bukan darahnya sendiri menjadi anak kandung dalam hukum waris, kawin, talak, dan lain-lain. Dengan demikian, perkawinan Rasulullah saw menjadi sarana membatalkan adat dan tradisi orang jahiliyah.
3.      Hikmah Sosial
Perkawinan Rasulullah dengan sebagian istrinya ditujukan untuk mempererat hubungan sosial masyarakat satu sam lain berdasarkan perintah Islam, untuk mempererat hubungan kekeluargaan bangsa Arab, serta untuk menyebarkan dan melancarkan dakwah islamiyah kedalam lingkungan sosial yang lebih beragam.
4.      Hikmah Politik
Pada hakikatnya, pernikahan seorang anggota keluarga dengan anggota keluarga tertentu akan membentuk ikatan kekeluargaan yang akan mendatangkan kasih sayang antara kedua belah pihak. Atas dasar pertimbangan itu, Rasulullah melakukan pernikahan dengan istri-istri beliau. Beliau menikahi sebagian istrinya untuk melunakkan hati mereka dalam rangka memperlancar perjalanan dakwah dan pendirian daulah islamiah.[22]




[1] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 45.
[2] Ibid
[3] Al-‘Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Mar’ah fi Al-Qur’an, Dar Al-Hilal, Kairo, 1962.
[4] Dr. Nashruddin Baidan,  Tafsir bi Al-Ra’yi “Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 98.
[5] Abdul Mujieb, M (Et Al), Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-1), hlm. 261.
[6] Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2014, Cet. Ke-6), hml. 129-130.
[7] Undang Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 pasal 3 dan 4
[8] [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[9] [266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[10] Q.S. An-Nisaa’ [4] : 3
[11] Al-Tabarsy, Majma’ Al-Bayan, Ji 5-6, Dar Al-Ihya’ Al-Turas Al-Arabi’, Kairo, 1986.
[12] Al-Thabathaba’I, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qu’ran, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Teheran, 1397 H, Jil. VI.
[13] Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsir Al-Munir fi Al-Aqidah wa Al-Syari’ah wa Al-Manhaj, Dae Fikr Al-Mu’ashir, Beirut, 1991.
[14] Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsir jilid 2 Edisi Revisi, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2005), hlm 310-312.
[15] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran volume 2, ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 341.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran volume 2, ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 344.
[17] Al-Quran dan Tafsirnya UII jilid II (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991) hlm, 119-121.
[18] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 7,hlm. 564.
[19] Shahih Muslim, juz 10, hlm. 46.
[20] Sirah Nabi SAW., juz 4, hlm. 324.
[21] Muhammad Ali ash-Shabunni, Sabahat wa Abathil, hlm.19-23. Muhammad Rasyid Ridha, Haquq an-Nisa’, hlm. 68-74.
[22] DR. Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). hlm. 98-101 

Comments

Popular posts from this blog

fiqih kaidah-34

Ilmu Tawarikh An-Nuzul

Syarat-syarat al-Syufqah