SEJARAH POLIGAMI
Banyak orang
salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah
Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami, bahkan,
ada yang secara ekstrim berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami
tidak dikenal dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru dan
menyesatkan. Mahmud Syaltut (w. 1963), ulama besar asal Mesir, secara tegas
menolak poligami sebagai bagian dari ajaran Islam, dan juga menolak bahwa
poligami ditetapkan oleh syari’ah.[1]
Berabad-abad
sebelum Islam diwahyukan, masyarakat diberbagai belahan dunia telah mengenal
dan mempraktekkan poligami. Poligami dipraktekkan secara luas dikalangan
masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum
Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tak
terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika
itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri
sampai ratusan.[2]
Sejumlah riwayat
menjelaskan bahwa setelah turun ayat yang membatasi jumlah istri hanya empat
orang, yakni QS. An Nisa’ ayat 3, nabi segera memerintahkan semua laki-laki
yang mempunyai istri lebih dari empat agar menceraikan istri-istrinya sehingga
setiap suami maksimal hanya boleh punya empat istri. Karena itu, Al-Aqqad,
ulama asal Mesir, menyimpulkan bahwa Islam tidak mengajarkan poligami, tidak
juga memandang positif, apalagi mewajibkan, Islam hanya membolehkan dengan
syarat yang sangat ketat.[3]
Sangat disesalkan bahwa dalam prakteknya di masyarakat, mayoritas umat Islam
hanya terpaku pada kebolehan poligami, tetapi mengabaikan sama sekali syarat
yang ketat bagi kebolehannya itu.
Ketika Islam
datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun, setelah
ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan
yang radikal sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang
dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal.
Pertama,
membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan
pembatasan poligami tersebut diantaranya riwayat dari Naufal bin Muawiyah. Ia
berkata: “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah
berkata “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat”. Pada riwayat lain
Qais bin Tsabit berkata: “Ketika aku masuk Islam aku punya delapan istri. Aku
menyampaikan hal itu kepada Rasul dan Beliau berkata “Pilih dari mereka empat
orang”
Kedua,
menetapkan syarat yang ketat bagi
poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Artinya, Islam memperketat syarat
poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena
terhadap istri mereka seperti sedia kala.
Dengan demikian,
terlihat bahwa praktek poligami dimasa Islam sangat berbeda dengan praktek
poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada
bilangan istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat.
Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki masa itu sudah terbiasa
dengan banyak istri, lalu mereka disuruh memilih empat saja dan menceraikan
selebihnya. Kedua, pada syarat poligami yaitu harus mampu berlaku adil.
Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat apapun, termasuk syarat
keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi
kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan
berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan
nafsunya.
Berdasarkan
fakta sejarah sebagaimana dinukilkan diatas, kita dapat berkata bahwa sistem
poligami seperti yang dipraktikkan oleh umat pada masa modern sekarang,
termasuk umat Islam, merupakan kelanjutan dari syariat yang diamalkan oleh umat
umat terdahulu. Malah didalam Islam, pelaksanaannya jauh lebih teratur dengan
persyaratan-persyaratan yang ketat, tidak boleh dilakukan semaunya sebagaimana
dimasa silam. Jadi, tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa sistem poligami
adalah ajaran Islam saja dan bahkan dikatakan nabi Muhammad lah yang
mempeloporinya, seperti ditulis Will Durran di dalam bukunya The Story of
Civilization jilid pertama, sebagaimana dikutip Thahhari : “Para teolog di
zaman abad-abad pertengahan berpendapat bahwa Muhammad lah yang memprakarsai
poligami.” Dengan demikian, jelas sekali pendapat ini tidak didasarkan pada fakta
sejarah yang valid. Disyariatkannya kembali poligami oleh islam tentunya bukan
sekedar ikut-ikutan terhadap syariat umat yang terdahulu, melainkan lebih dari
itu, yakni ingin memberikan sesuatu yang terbaik bagi kehidupan umat manusia
dimuka bumi pada akhir zaman.[4]
Kata-kata
“poligami” terdiri terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara
etimologis, istilah poligami berasal dari
bahasa Yunani, yakni apolus = banyak, dan gamos =
perkawinan. Kata lain yang mirip dengan itu ialah “poligini” juga berasal dari
bahasa Yunani, polus = banyak, dan gene = perempuan. Poligami
artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi
paling banyak empat orang[5].
Pengertian poligami secara terminologi di atas
mengacu kepada petunjuk Allah yang membolehkan berpoligami sampai empat orang
istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Jika tidak bisa berlaku adil,
maka cukup satu istri saja (monogami).[6]
Menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Indonesia, poligami ialah suatu
sistem perkawinan dimana seseorang pria mengawini lebih dari seorang wanita
dalam waktu yang bersamaan.[7]
Pertama-tama
menarik dicatat bahwa satu-satunya ayat yang selalu dijadikan landasan teologis
sebagai pembenaran bagi kebolehan poligami adalah QS. An-Nisa yang Artinya : “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-tidak akan dapat berlaku adil [265][8],
Maka (kawinilah) seorang saja [266][9],
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.”[10]
2. Asababun
Nuzul QS. An-Nisaa’ [4] ayat 3 :
Para mufasir
sepakat bahwa sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang
tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka. Rasyid
Rida menjelaskan, ada beberapa peristiwa yang menjadi asbab nuzul ayat ini
diantaranya, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Baihaqi
dari Urwah ibn Zubair: “ Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a. tentang
sebab nuzul ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan ayat ini turun berkenaan dengan
anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian, walinya itu
tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi
tanpa mahar.” Riwayat lain juga dari Aisyah r.a.: “ Beliau menjelaskan
bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai
banyak istri, lalu ketika hartanya habis dan dia tidak sanggup lagi menafkahi
istrinya yang banyak itu, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang berada
dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai
kebutuhan istri-istri lainnya.”
Penjelasan yang serupa mengenai sebab turun ayat
dikemukakan pula oleh Al-Thabarsyi,[11]
Al-Thabathaba’i,[12]
keduanya mufasir dari Iran, dan Wahbah Al-Zuhaili,[13]
mufasir asal Syiria. Allah melarang para wali itu mengawini anak yatim dengan
cara yang tidak adil, dan sebagai gantinya mereka dipersilakan mengawini
perempuan lain satu sampai empat. Pendapat intu dibenarkan juga oleh
Al-Thabathaba’i.
3. Penjelasan
Hadits Berkaitan dengan QS. An-Nisaa’ [4] ayat 3 :
Dibawah ini
diturunkan beberapa hadits Rasulullah yang menunjukan bahwa seorang muslim
boleh beristrikan lebih dari satu orang sampai empat tidak lebih.
Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Ibnu Syihab bahwa Ghailan bin Salamah Atstsaqafi
beristrikan sepuluh orang tatkala ia masuk Islam. Oleh Rasulullah ia disuruh
memilih empat dari sepuluh istri itu.
Menurut Albaihaqi
bahwa dengan hadits Ghailan itu Rasulullah jelas-jelas melarang orang mempuyai
istri lebih dari empat. Kalau tidak, pasti Rasulullah tidak akan menyuruh Ghailan
menceraikan keenam istrinya yang sudah dinikahinya sebelum ia masuk Islam dan
yang juga bersama-sama masuk Islam.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Alharits
bin Qais bahwa Umairah Al-Asadi bercerita “Tatkala aku masuk Islam aku
mempunyai delapan orang istri ketika aku beritahukan hal itu kepada Rasulullah SAW,
bersabdalah Beliau kepadaku memerintahkan “Pilihan empat orang diantara mereka”[14]
Penyebutan dua, tiga,
atau empat pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada
anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang
lain makan makanan tertentu dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya : “jika
anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan
selainnya yang ada dihadapan anda.”
Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan
perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu.
Perlu
digarisbawahi bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami karena
poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama
serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini
tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui
oleh yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Dengan demikian
pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau
dari segi ideal atau baik dan buruknya tetapi harus dilihat dari sudut pandang
penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[15]
Allah
menjelaskan seandainya kamu tidak dapat berlaku adil atau tak dapat menahan
diri dari memakan harta anak yatim itu, bila kamu menikahinya maka janganlah
kamu menikahimya dengan tujuan menghabiskan hartanya, melainkan nikahkanlah ia
dengan orang lain. Dan pilihlah wanita lain yang kamu senangi satu, dua, tiga,
atau empat dengan syarat haruslah kamu memperlakukan istri-istri kamu itu
dengan adil yaitu tentang persamaan waktu bermalam (giliran), nafkah, perumahan
serta hal-hal yang berbentuk materi lainnya. Apabila kamu tidak dapat melakukan
semua itu dengan adil, maka cukuplah kamu menikah dengan seorang saja atau
memperlakukan sebagai istri hamba sahaya yang kamu miliki tanpa akad nikah.
Kepada mereka telah cukup apabila kamu penuhi nafkah untuk kehidupannya. Hal
tersebut adalah merupakan suatu usaha yang baik agar kamu tidak terjerumus
kepada perbuatan aniaya.
Ada yang
bertanya mengapa islam membenarkan pria menghimpun dalam saat yang sama empat
orang wanita, sedang wanita tidak diperbolehkan kecuali dengan seorang pria ?
Boleh jadi ada
yang tidak menerima pendapat ilmuwan yang menyatakan bahwa fitrah pria
cenderung berpoligami dan fitrah wanita bermonogami. karena itu, menjawab
pertanyaan tersebut sebaiknya dengan mengundang penanya melihat kenyataan atau
menjawab pertanyaan berikut “Mengapa negara-negara yang membolehkan prostitusi
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bagi wanita-wanita berperilaku seks bebas
dan tidak melakukannya bagi pasangan sah? ini karena kenyataan menunjukan bahwa
wanita hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang bersih, yakni sperma
seorang –sekali lagi seorang- pria. Begitu terlibat dua pria dalam hubungan
seksual dengan seorang wanita, maka ketika itu pula cairan itu yang merupakan
benih anak tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan menjangkitkan penyakit.
Kenyataan menjadi bukti yang sangat jelas menyangkut hal ini.[16]
Adapun
sebab-sebab yang membuat seseorang berpoligami adalah sebagai berikut :
a. Apabila
dalam suatu rumah tangga belum mempunyai seorang keturunan sedang istri menurut
pemeriksaan dokter dalam keadaan mandul, padahal suatu perkawinan diharapkan
untuk mendapatkan keturunan, maka poligami merupakan suatu jalan keluar yang
paling baik.
b. Sebagai
akibat dari suatu peperangan umpamanya dimana jumlah kaum wanita lebih banyak
dari kaum pria. Suasana ini lebih mudah menimbulkan hal-hal negatif bagi
kehidupan masyarakat apabila tidak dibuka pintu poligami.[17]
Allah
SWT telah mensyariatkan poligami untuk umatnya. Dalam hal ini, Islam telah
membatasi dengan syarat-syarat poligami dalam tiga faktor berikut ini:
1. Faktor
Jumlah
Peraturan
poligami telah dikenal dan dibolehkan sebelum Islam lahir, aturan tentang
poligami memang sudah dikenal dan dalam kabilah-kabilah Arab zaman jahiliyah
tanpa batasan tertentu. Setelah Islam lahir, dasar-dasar dan syarat poligami
diatur sedemikian rupa sehingga jelaslah bahwa jumlah yang diperbolehkan adalah
empat orang dan ditekankan prinsip keadilan diantara para istri dalam masalah
fisik material atau nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Pada dasarnya, poligami
dibolehkan dalam Islam dan bukan dengan syarat karena istri pertama sakit atau
mandul, selama suami mampu memenuhi beban nafkah kepada istri dan anak-anaknya.[18]
2. Faktor
Nafkah
Nafkah
mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan alat-alat rumah tangga
yang umum. Laki-laki yang ingin menikah pertama-tama harus mampu menyediakan
biaya untuk menafkahi wanita yang akan dinikahinya.
3. Berbuat
Adil diantara Istri-istri
Keadilan yang
dimaksud adalah keadilan yang mampu diwujudkan manusia dalam kehidupan
sehari-harinya, yaitu persamaan diantara istri-istri dalam urusan sandang
pangan, rumah tempat tinggal, dan perlakuan yang layak terhadap mereka
masing-masing. Adapun keadilan dalam urusan yang tidak mampu diwujudkan dan
disamakan seperti cinta atau kecenderungan hati, maka suami tidak dituntut mewujudkannya.
Alllah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] : 286: “Allah tidak memberati
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” Kecintaan terhadap
seseorang istri dan kecenderungan hati padanya berkanaan dengan QS. An-Nisaa’
[4] : 129: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berbuat adil diantara
istri-istrimu walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…” Rasulullah saw
orang yang paling mengetahui tentang agama dan paling berhasrat melaksanakan
keadilan diantara istri-istrinya, pernah berdo’a: “Ya Allah bagian yang aku
miliki dan janganlah engkau menyalahkan aku dalam hal yang tidak aku miliki.”[19]
Karena beliau lebih mencintai Aisyah daripada istri-istri yang lain. Allah SWT
mengingatkan agar hati dan kecintaan kita tidak terlalu cenderung kepada salah
seorang istri sementara yang lain dilupakan dan ditelantarkan. Apabila seorang
muslim ingin berpoligami sedangkan dia yakin bahwa dirinya tidak mampu
menerapkan keadilan diantara istri-istrinya dalam masalah kebutuhan materi,
maka itu adalah dosa disisi Allah, dan wajib baginya untuk tidak kawin lebih
dari seorang istri.
E. Hikmah
Poligami Rasulullah SAW
Berikut ini akan
kami rinci beberapa nama istri Rasulullah saw :
1. Khadijah
binti Khuwailid
2. Aisyah
binti Abu Bakar
3. Saudah
binti Zum’ah
4. Zainab
binti Jahasyi al-‘Asadiyyah
5. Ummu
salamah binti Abi Umayyah bin al-Mughgirah
6. Hafshah
binti Umar ibnul Khattab
7. Ummu
Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb
8. Juwairiyyah
binti al-Harits al-Khuza’iyyah
9. Shafiyyah
bin Hayyi bin Akhtab
10. Maimunah
binti al-Harits
11. Zainab
binti Khuzaimah ibnul Harits
12. Asma
binti an-Nu’man al-Kindiyyah
13. Umrah
binti Yazid al-Kilabiyyah[20]
Ibnu Hisyam
mengatakan bahwa Rasulullah saw hanya menggauli sebelas orang istrinya. Dua
orang lagi, yaitu Asma binti an-Nu’man al-Kindiyyah dan Umrah binti Yazid
al-Kilabiyyah, beliau kembalikan kepada keluarganya setelah satu-persatu diberi
harta untuk mengobati kesedihannya.[21]
Itulah istri-istri beliau nabi Muhammad saw, yang
keseluruhannya janda kecuali Aisyah r.a. dan yang beliau kawini setelah
bermonogami hingga usia 50 tahun lebih dan selama hidup bersama ibu putra
putrinya Khadijah r.a. Istri pertama dan tercinta beliau. Istri-istri yang
disebut diatas inilah yang seringkali disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu
atau enggan memahami latar belakang pernikahan itu.
Seluruh
perkawinan Rasulullah saw mengandung tujuan yang jelas, diantaranya adalah
untuk mengobati luka hati (menghibur) mereka karena suami mereka terbunuh.
Perkawinan tersebut bertujuan menentramkan hati mereka, tanpa tujuan hanya
semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu sebagaimana sebagaimana yang ditudingkan
oleh sebagian musuh Islam.
1. Hikmah
Pendidikan
Tujuan poligami
Rasulullah adalah untuk mencetak ibu-ibu pendidik yang profesional mengajari
wanita-wanita tentang hukum-hukum agama Islam yang hanif, terutama tentang
hukum yang berkaitan dengan masalah kewanitaan seperti haid, nifas, janabah,
thaharah, dan lain-lain.
2. Hikmah
Syariat
Hikmah syariat
dalam praktek poligami Rasulullah saw bertujuan untuk menghilangkan sebagian
adat jahiliyah, seperti menjadikan anak angkat berkedudukan sama dengan anak
kandung. Orang Arab sebelum Islam sering menjadikan anak angkat yang bukan
darahnya sendiri menjadi anak kandung dalam hukum waris, kawin, talak, dan
lain-lain. Dengan demikian, perkawinan Rasulullah saw menjadi sarana
membatalkan adat dan tradisi orang jahiliyah.
3. Hikmah
Sosial
Perkawinan
Rasulullah dengan sebagian istrinya ditujukan untuk mempererat hubungan sosial
masyarakat satu sam lain berdasarkan perintah Islam, untuk mempererat hubungan
kekeluargaan bangsa Arab, serta untuk menyebarkan dan melancarkan dakwah
islamiyah kedalam lingkungan sosial yang lebih beragam.
4. Hikmah
Politik
Pada hakikatnya, pernikahan seorang anggota keluarga
dengan anggota keluarga tertentu akan membentuk ikatan kekeluargaan yang akan
mendatangkan kasih sayang antara kedua belah pihak. Atas dasar pertimbangan itu,
Rasulullah melakukan pernikahan dengan istri-istri beliau. Beliau menikahi
sebagian istrinya untuk melunakkan hati mereka dalam rangka memperlancar
perjalanan dakwah dan pendirian daulah islamiah.[22]
[1] Siti Musdah Mulia, Islam
Menggugat Poligami, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 45.
[2] Ibid
[3] Al-‘Aqqad, Abbas Mahmud, Al-Mar’ah
fi Al-Qur’an, Dar Al-Hilal, Kairo, 1962.
[4] Dr. Nashruddin Baidan, Tafsir bi Al-Ra’yi “Upaya Penggalian Konsep
Wanita dalam Al-Qur’an” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 98.
[5] Abdul Mujieb, M (Et Al), Kamus Istilah Fiqh,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. Ke-1), hlm. 261.
[6] Ghazaly, Abd Rahman, Fiqh
Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2014, Cet. Ke-6), hml. 129-130.
[7] Undang Undang Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1974 pasal 3 dan 4
[8] [265] Berlaku adil ialah perlakuan yang
adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang
bersifat lahiriyah.
[9] [266] Islam memperbolehkan poligami
dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan
pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini
membatasi poligami sampai empat orang saja.
[10] Q.S. An-Nisaa’ [4] : 3
[11] Al-Tabarsy, Majma’ Al-Bayan, Ji 5-6, Dar Al-Ihya’ Al-Turas
Al-Arabi’, Kairo, 1986.
[12] Al-Thabathaba’I, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qu’ran,
Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Teheran, 1397 H, Jil. VI.
[13] Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsir
Al-Munir fi Al-Aqidah wa Al-Syari’ah wa Al-Manhaj, Dae Fikr Al-Mu’ashir,
Beirut, 1991.
[14] Terjemah singkat Tafsir Ibnu Katsir
jilid 2 Edisi Revisi, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2005), hlm 310-312.
[15] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran volume 2, ( Jakarta:
Lentera Hati, 2002), hlm. 341.
[16] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran volume 2, ( Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 344.
[18] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 7,hlm. 564.
[19] Shahih Muslim, juz 10, hlm. 46.
[20] Sirah Nabi SAW., juz 4, hlm. 324.
[21] Muhammad Ali ash-Shabunni, Sabahat wa Abathil, hlm.19-23.
Muhammad Rasyid Ridha, Haquq an-Nisa’, hlm. 68-74.
[22] DR. Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996). hlm. 98-101
Comments
Post a Comment