Naskh dalam Ijma'
Mengenai hakikat naskh
sendiri masih terjadi perbedaan pandangan. Secara etimologi, ia dapat
bararti menghilangkan dan memindah sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
Sedangkan secara terminologi, naskh adalah penghapusan hukum yang berdasarkan
dalil syara’ dengan dalil syara’ yang lain. Naskh merupakan
pembaharuan hukum yang hanya berlaku semasa hidup Rasulullah saw. Yaitu
masa-masa turunya wahyu. Kemudian setelah Rasulullah wafat, naskh tidak lagi terjadi. Dari sini dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa ijma’ yang muncul setelah beliau wafat, tidak bisa
berperan sebagai subyek naskh atas hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan
al-sunnah. Karena tatkala dimensi penunjukan sebuah nash adalah qath’i,
tentu saja ijma’ tidak akan terbentuk dengan sebuah kesepakatan yang
menyalahi ketentuan nash tersebut.
Adapun terjadinya naskh atas ketentuan zakat muallafah
qulubuhum dengan ijma’ yang terjadi pada era Khalifah ‘Umar bin
al-Khaththab ra. Maka hal ini tidak dapat dibenarkan. Karena naskh telah
berakhir seiring dengan wafatnyan Rasullullah saw. Pembatalan bagian zakat sebagian
kategori muallafah qulubuhum pada masa Khalifah ‘Umar bukan meruapakan naskh
dengan ijma’, akan tetapi implementasi pemahaman nash saja. Secara logisnya dapat digambarkan, bahwa
semasa rasulullah masih hidup, Islam belum berkembang pesat, juga bergainning-nya
diantara komunitas lain terbilang lemah, sehingga mu’allafah qulubuhum harus
diberi bagian zakat, guna menguatkan agama Islam. Namun sepeninggal beliau,
Islam telah berkembang pesat dan mempunyai kekuatan, sehingga mu’allafah
qulubuhum tidak perlu lagi diberi bagian zakat.
Begitu pula, ijma’ tidak bisa di-naskh dengan ijma’ baru,
kecuali jika ijma’ tersebut bersandar pada kemaslahatan (mashlahah mursalah),
maka ijma’ semacam ini boleh di-naskh dengan ijma’ yang baru, tatkala
terjadi perubahan kemaslahatan. Seperti ijma’ fuqaha’ sab’ah tentang diperbolehkannya tas’ir
(regulasi harga), setelah terjadi ijma’ yang memutuskan sebaliknya. Kesepakatan
empat imam madzhab tentang larangan persaksian seseorang terhadap saudaranya
atau suami terhadap istrinya, setelah terjadi ijma’ atas ketentuan sebaliknya.
Pendapat yang mengatakan ijma’ tidak dapat di-naskh dengan
ijma’ baru beralasan, bahwasanya kesepakatan yang telah ditetapkan dalam ijma’
adalah dalil yang bersifat qath’i, sehingga tidak boleh diingkari dan
dimunculkan ijma’ kedua yang melanggar garis ketentuan ijma’ pertama. Karena
statusnya qath’i, tentu saja kesepakatan yang tercetus dalam ijma’ kedua
dapat dipastikan salah, karena bertentangan dengan dalil qath’i. Padahal
terjadinya kesalahan dalam kesepakatan yang tercetus dari ijma’ adalah
mustahil, karena al-sunnah telah menjamin
keterpeliharaannya dari salah. Karenanya, sesuatu yang menimbulkan
kemustahilan adalah mustahil pula. Selain itu juga tidak ada satu pun
keterangan dari salah seorang ulama’
yang menyatakan bahwa kesepakatan dari ijma’ bisa bernilai salah.
Sedangkan sebagian ulama’ yang lain berpendapat bahwa ijma’ bisa
di-naskh dengan ijma’ yang baru. Perdebatan ini sebenarnya bermuara pada
ada tidaknya keharusan inqiradl al-ashr (meninggalnya semua mujtahid pelaku
ijma’) sebagai syarat validitas ijma’.
Demikianlah, ulasan panjang tentang naskh dalam ijma’, salah satu
pilar persyari’atan hukum Islam. Barangkali, yang patut untuk digarisbawahi
dari kesekian panjang pemaparan adalah, perlunya sikap moderat dalam menyikapi
dan memposisikan konsep kesepakatan bernilai hujjah ini. Dan, sikap ini tentu
saja muncul dari pengetahuan mendalam tentang seluk beluk naskh ijma’. Tanpa
itu, bisa jadi muncul sikap serampangan dalam berhujjah dengannya, atau bahkan
penolakan secara ekstrem, yang berujung pada vonis kafir. Nau’udzu billahi
mindzalik.
Comments
Post a Comment