Lembaga Pengelola Zakat di Indonesia
Kelembagaan
pengelola zakat di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) periode,
yaitu pra kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru, dan Reformasi.
1.
Pra
Kemerdekaan
Pengelolaan
zakat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proses Islamisasi yang terjadi
pada abad ketujuh masehi. Melalui perantara saudagar, dai dan sufi dari Jazirah
Arab, India dan Persia, Islam mulai menjadi agama yang dianut oleh masyarakat
Indonesia yang sudah berinteraksi dengan mereka. Bermula dari masyarakat
pesisir di wilayah utara Indonesia, Aceh dan terus menyebar menjadi agama
mayoritas di Indonesia. Dengan pendekatan cultural yang sudah ada yaitu Hindu
dan Budha, Islam berkembang di Indonesia. Sehingga sebagian ajaran Islam ada
yang terkontaminasi dengan budaya tersebut. Hal ini juga mempengaruhi
pengamalan ajaran Islam oleh pemeluknya. Ada istilah kaum Islam abangan dan
kaum santri. Kesadaran masyarakat terhadap zakat tidak sejalan dengan kesadaran
terhadap sholat dan puasa. Zakat hanya dimaknai sebagai zakat fitrah pada bulan
Ramadhan dan dikelola secara individu.
Pada
masa penjajahan Belanda, kondisi ini tetap dipertahankan. Melalui pengaruh C.
Snouck Hurgronje dalam “Politik Islam”, Belanda membatasi perkembangan Islam
karena dianggap membahayakan pemerintahan Belanda. Masyarakat Indonesia
dikenalkan dengan pemahaman bahwa Islam adalah ibadah ritual yang terpisah dari
kehidupan. Pemerintah tidak boleh campur tangan dalam masalah keagamaan.
Tak
terkecuali dengan zakat, Belanda juga membuat kebijakan untuk memperlemah
pelaksanaan zakat. Belajar dari pengalaman tentang masyarakat Aceh, Belanda
menganggap zakat adalah diantara faktor yang menyebabkan kesulitan menduduki
Aceh. Masyarakat Aceh menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang
dengan Belanda.
Pemerintah
Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200
tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah, termasuk priyayi
pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. Kebijakan ini dikeluarkan karena
khawatir dengan perkembangan Islam dan upaya untuk memisahkan agama dari urusan
kehidupan. Kebijakan ini mengubah praktek pengelolaan zakat di Indonesia saat
itu. Kesadaran masyarakat untuk berzakat menjadi menurun dan sebagian lagi
menyerahkan zakat mereka ke individu ulama dengan harapan mendapat syafaat dari
Allah Yang Maha Kuasa.
Fenomena
ini terus berlangsung sampai abad ke sembilan belas. Merespon praktek
pengamalan zakat yang tradisional ini, Muhammadiyah mempelopori perubahan
pengelolaan zakat dengan membentuk lembaga amil zakat tersendiri. Lembaga
tersebut khusus mengurusi zakat, infak, sedekah dan wakaf serta menyalurkannya
kepada pihak yang berhak, terutama fakir miskin. Pada masa selanjutnya, pengelolaan
zakat mulai menggerakkan ekonomi dengan membentuk koperasi-koperasi,
pendidikan, kesehatan dan usaha produktif lainnya.
Pada masa pendudukan Jepang,
pemerintah mulai ambil bagian dalam pengelolaan zakat. Hal itu ditandai dengan
dibentuknya MIAI (Majlis ‘Islam Ala Indonesia). Pada tahun 1943, MIAI
membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara
terkoordinasi. Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI sendiri, Windoamiseno dengan
anggota komite yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M.
Kartosuwirjo, Moh. Safei, K. Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto. Gerakan
secara massif pun dilakukan. Upaya-upaya itu rupanya tidak sia-sia, sebab dalam
jangka waktu yang singkat, -hanya beberapa bulan saja-, Baitul Mal telah berhasil
didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu.
Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti
Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang membubarkan MIAI.[1]
2.
Orde
Lama dan Orde Baru
Pengelolaan
zakat pada masa awal kemerdekaan tidak jauh berbeda dengan masa menjelang
kemerdekaan. Periode ini berada dalam 2 (dua) masa pemerintahan, atau dikenal
dengan orde lama dan orde baru. Pada masa ini, pengelolaan zakat masih dipegang
oleh individu, masjid, lembaga pendidikan yang tidak memiliki aktifitas utama
dalam mengelola zakat. Pemerintah masih memilih tidak campur tangan dengan
masalah agama termasuk zakat. Fase ini berlangsung antara 1968-1991. Pengaruh
pemerintahan Belanda masih dirasakan. Sikap apatisme terhadap pengamalan Islam
masih menjadi kecurigaan dari pemerintah. Sebenarnya pemerintah melalui
Departemen Agama pernah menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968
tentang Pembentukan Badan/Amil Zakat. Tetapi tanpa alasan yang jelas, PMA ini
dicabut sebelum sempat diimplementasikan.
Setelah
tahun 1991, untuk menarik simpati masyarakat untuk keterpilihan pada periode
yang keenam kalinya, pemerintah – pada masa itu – akhirnya mau mengeluarkan
peraturan perundang-undangan meskipun hanya setingkat Surat Keputusan Bersama
No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI
IV tahun 1990. Tetapi tampaknya, keberpihakan tersebut masih dirasa setengah
hati. Hal ini terlihat dari posisi BAZIS sebagai sebuah lembaga swadaya
masyarakat dan bukan sebagai organisasi pemerintah ataupun semi pemerintah.
Fase formalisme tersebut berlangsung dari tahun 1991 – 1998.[2]
3.
Reformasi
Era reformasi tampaknya juga memberi
dampak positif terhadap aktifitas perzakatan di Indonesia. Pemerintah mulai
mengakomodasi pengelolaan zakat. Pemerintah dibawah B.J Habibie dan DPR
mengeluarkan regulasi setingkat undang-undang, yaitu UU No. 38 Tahun 1999.
Dengan lahirnya UU tersebut, zakat sudah tidak lagi dipandang sebagai masalah
intern umat Islam, tetapi sudah menjadi kegiatan pemerintah bidang ekonomi dan
sosial.
Pada pemerintahan selanjutnya,
keberpihakan ini dilanjutkan dengan lahirnya UU No. 17 tahun 2000 tentang
Perpajakan dan Keppres No. No.8 Tahun 2001 tentang pembentukan BAZNAS. Pada
akhir tahun 2001, melalui pemerintahan saat itu, dicanangkan Gerakan Sadar
Zakat Nasional.[3]
Pengelolaan
zakat di Indonesia memiliki dasar hukum UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat, Keputusan Menteri Agama RI No. 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan UU No.
38/1999, dan Keputusan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No.
D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Berdasarkan
UU No. 38/1999, OPZ adalah institusi yang bergerak dalam pengelolaan dana
zakat, infak, dan shadaqah. Pengelolaan zakat meliputi kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan dana zakat. OPZ dapat berbentuk Badan Amil
Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZ adalah OPZ yang didirikan oleh
pemerintah baik tingkat pusat (BAZNAS), provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan
(BAZDA). Hubungan kerja antar tingkatan tersebut bersifat koordinatif,
konsultatif dan informatif. Sedangkan LAZ adalah OPZ yang dibentuk masyarakat,
dikukuhkan, dibina dan dilindungi oleh pemerintah. OPZ tersebut mempunyai tugas
pokok mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan
ketentuan agama. OPZ bertanggung jawab kepada pemerintah sesuai dengan
tingkatannya.
Merespon amanah UU No. 38/1999
tersebut, beberapa pemerintah daerah telah mengeluarkan Perda yang berkaitan
dengan pengelolaan zakat, infak/sedekah, wakaf dan donasi lainnya yang diakui
dalam Islam. Berdasarkan kompilasi yang dilakukan Amelia Fauzia dalam
penelitiannya bersama CSRC UIN Jakarta dan Ford Foundation, pemerintah daerah
yang sudah mengeluarkan Perda tentang zakat dan pengelolaanya sudah berjumlah
27 daerah.[4]
Berikut adalah perda-perda zakat yang dimaksud.
Badan
Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan resmi dan satu-satunya yang
dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001
yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan
sedekah (ZIS) pada tingkat nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat semakin mengukuhkan peran BAZNAS sebagai lembaga yang
berwenang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Dalam UU tersebut,
BAZNAS dinyatakan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.
Dengan
demikian, BAZNAS bersama Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawal pengelolaan
zakat yang berasaskan: syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum,
terintegrasi dan akuntabilitas. BAZNAS menjalankan empat fungsi, yaitu:
1.
Perencanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat,
2.
Pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat,
3.
Pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, dan
4.
Pelaporan
dan pertanggung jawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Untuk
terlaksananya tugas dan fungsi tersebut, maka BAZNAS memiliki kewenangan antara
lain :
1.
Menghimpun,
mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat.
2.
Memberikan
rekomendasi dalam pembentukan BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota, dan LAZ
3.
Meminta
laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan
lainnya kepada BAZNAS Provinsi dan LAZ.
Visi : “MenjadiBadan Zakat Nasional yang
Amanah, Transparan dan Profesional.”
Misi :
- Meningkatkan kesadaran umat untuk berzakat
melalui amil zakat.
- Meningkatkan penghimpunan dan
pendayagunaan zakat nasional sesuai dengan ketentuan syariah dan prinsip
manajemen modern.
- Menumbuh kembangkan pengelola/amil zakat
yang amanah, transparan, profesional, dan terintegrasi.
- Mewujudkan pusat data zakat nasional.
- Memaksimalkan peran zakat dalam
menanggulangi kemiskinan di Indonesia melalui sinergi dan koordinasi
dengan lembaga terkait.
Pembentukan
BAZ merupakan hak otoritatif pemerintah, sehingga hanya pemerintah yang berhak
membentuk BAZ, baik untuk tingkat nasional sampai tingkat kecamatan. Semua
tingkatan tersebut memiliki hubungan kerja yang bersifat koordinatif,
konsultatif, dan informatif. Badan Amil Zakat dibentuk sesuai dengan tingkatan
wilayahnya masing-masing yaitu:
Ø Nasional dibentuk oleh Presiden atas usul Menteri,
Ø Daerah Propinsi dibentuk oleh gubernur atas usul kepala kantor
wilayah departemen agama propinsi,
Ø Daerah Kabupaten atau daerah kota dibentuk oleh Bupati atau Wali
Kota atas usul kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota,
Zakat yang
sudah dikumpulkan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat (BAZ)
haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan mustahiq, sebagaimana
digambarkan daam Al-quran surat At-taubah ayat 60, karena itu LAZ harus
dikelola dengan amanah dan jujur, transparan dan professional. Harta yang
terkumpul dari pengumpulan zakat disalurkan langsung untuk kepentingan
mustahiq, baik yan bersifat konsumtif maupun yang bersifat produktif. Dalam
kaitan penyaluran zakat secara produktif, maka LAZ dan BAZ yang amanah,
terpercaya dan professional diperbolehkan membangun perusahaan, pabrik dan
lainnya dari uang zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya diberikan
kepada para mustahiq dalam jumlah yang relatif besar, sehingga terpenuhi
kebutuhan mereka dengan lebih leluasa.
BAZ
dan LAZ merupakan badan lembaga yang terpercaya, penyaluran zakat melalui amil
zakat adalah salah satu cara yang efisiensi dan efektifitas, karena baik LAZ
maupun BAZ lebih mengetahui dimana saja daerah-daerah kemiskinan yang lebih
membutuhkan, siapa-siapa saja yang harus diprioritaskan dalam memperoleh
bantuan dana zakat, termasuk berapa besar bantuan yang pantas mereka peroleh
untuk mengurangi kesulitan dan penderitaan mereka.
Dengan sistem inilah, penyaluran dan
pendistribusian zakat oleh amil zakat dapat lebih merata Pada zaman Khulafaur
Rasyidin, pelaksanaan zakat bukan sekedar amal karikatif (kedermawanan) tetapi
juga merupakan kewajiban yang bersifat otoritatif (ibari), karena zakat
tidaklah seperti puasa, shalat dan ibadah haji yang pelaksanaannya diserahkan
sepenuhnya kepada individu masing-masing, tetapi juga disertai keterlibatan
aktif pemerintah melalui para petugasnya (amil zakat) yang amanah, jujur,
terbuka dan profesional. Maka sebaliknya, jika pelaksanaan zakat langsung
diserahkan kepada setiap muzakki, maka nasib dan hak orang-orang miskin
terhadap orang-orang kaya tidak akan memperoleh jaminan yang pasti, baik
jaminan ekonomi maupun hukum.[5]
1.
Badan
Amil Zakat Nasional
a.
Badan
Amil Zakat Nasional terdiri atas dewan pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan
Pelaksana.
b.
Badan
Pelaksana terdiri atas seorang ketua umum, seorang sekretaris umum, dua orang
sekretaris, seorang bendahara, divisi pengumpulan, divisi pendistribusian,
divisi pendayagunaan dan divisi pengmbangan yang bekerja secara profesional dan
full time.
c.
Dewan
pertimabangan terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang
sekretaris, seorang wakil sekretaris dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang
anggota.
d.
Komisi
Pengawas terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris,
seorang wakil sekretaris, dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang anggota.
1)
Badan
Amil Zakat Propinsi
a.
Badan
amil zakat Propinsi terdiri atas dewan pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan
Pelaksana.
b.
Badan
Pelaksana terdiri atas seorang ketua umum, seorang sekretaris umum, dua orang
sekretaris, seorang bendahara, divisi pengumpulan, divisi pendistribusian,
divisi pendayagunaan dan divisi pengmbangan yang bekerja secara profesional dan
full time.
c.
Dewan
pertimabangan terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang
sekretaris, seorang wakil sekretaris dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang
anggota.
d.
Komisi
Pengawas terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris,
seorang wakil sekretaris, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang anggota.
2)
Badan
Amil Zakat Kabupaten/Kota
a.
Badan
amil zakat Kabupaten/Kota terdiri atas dewan pertimbangan, Komisi Pengawas dan
Badan Pelaksana.
b.
Badan
Pelaksana terdiri atas seorang ketua umum, seorang sekretaris umum, dua orang
sekretaris, seorang bendahara, divisi pengumpulan, divisi pendistribusian,
divisi pendayagunaan dan divisi pengmbangan yang bekerja secara profesional dan
full time.
c.
Dewan
pertimabangan terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang
sekretaris, seorang wakil sekretaris dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang
anggota.
d.
Komisi
Pengawas terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris,
seorang wakil sekretaris, dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anggota.
3)
Badan
Amil Zakat Kecamatan
a.
Badan
amil zakat Kecamatan terdiri atas dewan pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan
Pelaksana.
b.
Badan
Pelaksana terdiri atas seorang ketua umum, seorang sekretaris umum, dua orang
sekretaris, seorang bendahara, divisi pengumpulan, divisi pendistribusian,
divisi pendayagunaan dan divisi pengmbangan yang bekerja secara profesional dan
full time.
c.
Dewan
pertimabangan terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang
sekretaris, seorang wakil sekretaris dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang
anggota.
d.
Komisi
Pengawas terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris,
seorang wakil sekretaris, dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anggota.
E.
Sanksi
Pengelolaan Zakat
Bagi amil zakat
yang melakukan pelanggaran berkaitan dengan tugas-tugas dari lembaga zakat,
maka dapat dikenai sanksi sebagai berikut :
1.
Sanksi Administratif Pasal 36
(1) Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23 ayat (1),
Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
2.
Ketentuan
Pidana
·
Pasal
39 “Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan
pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
·
Pasal
40 “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
·
Pasal
41 “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
·
Pasal
42
(1)Tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 merupakan pelanggaran.
[1] Lihat lebih lanjut. Moch. Arif Budiman. “ Melacak Praktik
Pengelolaan Zakat Di Indonesia Pada Masa Pra-Kemerdekaan,” Jurnal Khazanah (IAIN Antasari,
Banjarmasin), Vol. IV, No. 01, Januari-Februari 2005, hlm. 4-12.
[2] Moch. Arif Budiman. “Transformasi Bentuk Kelembagaan Pengelola Zakat
di Indonesia (Perspektif Legislasi),” Jurnal Intekna (Politeknik
Negeri Banjarmasin), Tahun VI, No. 1, Mei 2006, hlm. 2-4.
[3] Ibid, hlm. 4-5.
[4] Amelia Fauzia, “Thesis
Attachments” disampaikan dalam acara Workshop Methods On Projection And
Estimation Of Zakat Potentials In Indonesia” Hotel Bumi Wiyata, Depok At
Wednesday, July 20, 2011
[5] Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Comments
Post a Comment