Makalah fiqih Jinayah tentang Hirabah

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya, manusia adalah makluk ciptaan tuhan yang
mempunyai berbagai keperluan dalam kehidupannya. Setiap manusia yang ada di
muka bumi ini memiliki fitrah yang telah dianugerahkan oleh Sang Khaliq, Allah
SWT. Hal itu sudah lazim dimiliki oleh manusia sebagai sifat manusiawi, baik
fitrah biologis (makan, minum), fitrah rohaniah (rasa untuk memiliki, kasih
sayang, cinta, bersenang-senang), maupun
fitrah sosiologis (rasa kebersamaan) dan lain sebagainya.
Fitrah manusia tersebut ketika sampai pada puncaknya akan
memberikan dampak negatif ketika tidak dapat diolah dan dikontrol dengan baik.
Manusia yang selalu merasa kekurangan dalam kehidupannya, disamping kurangnya
keimanan dalam dirinya dan fitrahnya pun tidak dapat terkontrol lagi akan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Misalnya fitrah ingin cepat
kaya, dengan cara ia melakukan pencurian, korupsi, penipuan, perampokan dan
lain-lainnya.
Perbuatan-perbuatan tersebut dalam dunia hukum dikategorikan
sebagai perbuatan tindak pidana. Dalam hukum Islam disebut dengan Jinayah.
Setiap tindak pidana pasti memiliki sanksi hukum. Perampokan dalam hukum pidana
Islam termasuk perkara hudud. Akan tetapi, masyarakat mungkin masih belum
mengetahui hal ini khususnya mengenai sanksinya dalam hukum islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis bermaksud
memaparkan berbagai hal, khususnya mengenai perampokan dan jarimahnya sebagai
bahan perbandingan hukum dengan hukum lainnya.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Pengertian Hirabah
2.
bentuk hirabah
3.
Pelaku hirabah dan syarat-syaratnya
4.
Pembuktian untuk jarimah hirabah
5.
Hukuman atau sanksi hirabah
6.
Hikmah memberikan hukuman bagi pelaku hirabah
7.
Hal-hal yang menggugurkan hukuman
8.
Contoh kasus dan analisis
BAB II
PEMBAHASAN
Hirabah disebut juga dengan
perampokan atau dapat juga disebut dengan Qatha’ut
Thariq. Perampokan adalah kejahatan merampas harta dijalan umum dengan
ancaman kekerasan.[1]
Perampokan dapat juga diartikan pengambilan secara terang-terangan dengan
kekerasan. Hanya saja dalam perampokan juga terdapat unsur diam-diam atau
sembunyi-sembunyi jika dinisbahkan kepada penguasa atau petugas keamanan.[2]
Biasanya jarimah hirabah
dilakukan oleh sekelompok orang yang bersenjata tajam atau bersenjata api, yang
melakukan pencegatan lalu lintas baik pada siang ataupun malam hari, yang
kadang-kadang hanya merampas harta benda, kadang-kadang diikuti dengan
pembunuhan terhadap pemiliknya atau mungkin hanya bersifat menakut-nakuti lalu
lintas saja.
Dasar hukum dari Jarimah
hirabah adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 33 sebagai berikut[3]:
“Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan
dimuka bumi, hanyalah (mereka) dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kakinya secara silang, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang
demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia dan di akhirat
mereka beroleh siksaan yang berat”.(Qs.5 Al-Maidah:33)
Ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama mengenai Perampokan /hirabah, yaitu:
a.
Hanafiyah
Artinya; “ Hirabah…adalah ke
luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya
menakut-nakuti orang yang lewat dijalan atau mengambil harta atau membunuh
orang.[4]
b.
Syafi’iyah
Artinya: “ Hirabah… adalah ke luar untuk mengambil
harta atau membunuh atau menakut-nakuti dengan cara kekerasan dengan berpegang
kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan(buntuan).[5]
c.
Imam Malik
Artinya: “ mengambil harta
tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak.[6]
d.
Golongan Zhahiriyah
Artinya: “ perampok adalah
orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat,
serta melakukan perusakan di muka bumi.[7]
Bentuk-bentuk Tindak Pidana
perampokan ada 4 macam, yaitu[8]:
1.
Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan,
kemudian pelaku hanya melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan tanpa
membunuh.
2.
Keluar untuk mengambil harta secara kekerasa, kemudian
ia mengambil harta tanpa membunuh.
3.
Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan,
kemudian ia melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta.
4.
Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan,
kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan.
Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat
bentuk tindak pidana perampokan tersenut maka ia dianggao sebagai perampok
selagi ia keluar dengan tujuan mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi,
apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak
melakukan intimidasi dan tidak mengambil harta serta tidak melakukan pembunuhan
maka ia tidak dianggap perampok, walaupun perbuatannya itu tetap tidak
dibenarkan dan termasuk maksiat yang dikenakan hukuman ta’zir.
2.3.Pelaku Perampokan dan Syarat-syaratnya
Syarat umum
bagi pelaku perampokan untuk mendapatkan hukuman had adalah harus Mukallaf,
sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud : Dari aisyah ra ia berkata :”Telah bersabda
Rasululloh saw.: Dihapuskan ketentuan dari tiga hal: dari orang yang tidur
sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh dan dari anak kecil
sampai ia dewasa.”(Hadits riwayat Ahmad, abu Daud, Nasa’I, Ibn Majah dan Hakim)[9].
Mengenai
pelaku jarimah hirabah, para ulama berbeda pendapat. Menurut pendapat
Hanafiyah, pelaku hirabah adalah setiap orang yang melakukan secara langsung
atau tidak langsung perbuatan tersebut[10].dengan
demikian menurut hanafiyah adalah orang yang ikut terjun secara langsung dalam
mengambil harta, membunuh atau mengintimidasi termasuk pelaku perampokan.
Demikian pula orang yang ikut memberikan bantuan, baik dengan cara
permufakatan, suruhan maupun pertolongan, juga termasuk pelaku perampokan[11].
Pendapat tersebut disepakati oelh imam Malik, Imam Ahmad, dan Zhahiriyah. Akan tetapi
Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku perampokan adalah
orang yang secara langsung melakukan perampokan, Walaupun ia hadir ditempat
kejadian , tidak dianggap sebagai pelaku perampokan, melainkan hanya sebagai
pembantu yang diancam dengan hukuman Ta’zir[12].
Imam Abu
Hanifah juga mensyaratkan pelaku hirabah harus laki-laki dan tidak boleh
perempuan. Dengan demikian, apabila diantara peserta pelaku hirabah terdapat
seorang perempuan maka ia tidak dikenakan hukuman had. Akan tetapi Imam
Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak pidana ini
sama statusnya[13].
Dengan demikian, perempuan yang ikut serta dalam melakukan perampokan tetap
harus dikenakan hukuman had. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Zhahiriyah
dan Syi’ah Zaidiyah, perempuan yang turut serta melakukan perampokan tetap
harus dikenakan hukuman. Dengan demikian, mereka tidak membedakan antara pelaku
laki-laki dan perempuan seperti halnya
dalam jarimah hudud yang lain[14].
Untuk para
pelaku hirabah adalah dapat dilakukan kelompok ataupun perorangan yang memiliki
kemampuan untuk melakukannya. Untuk menunjukan kemampuan ini, Imam Abu Hanifah
dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus memiliki dan
menggunakan senjata atau alat lain yang disamakan dengan senjata, melainkan
cukup berpegang kepada kekuatan dan kemampuan fisik. Bahkan Imam Malik
mencukupkan dengan digunakannya tipu daya, taktik atau strategi tanpa
penggunaan kekuatan atau dalam keadaan tertentu dengan emnggunakan anggota
badan seperti tangan dan kaki.
Sedangkan
persyaratan harta yang diambil dalam jarimah hirabah adalah :
1.
barang atau harta yang diambil harus
tersimpan
2.
milik orang lain
3.
tidak ada subhat
4.
memenuhi Nisab
Hanya saja syarat
nishab ini masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat,
dalam jarimah hirabah tidak disyaratkan nishab untuk barang yang diambil.
Pendapat ini diikuti oleh sebagian fuqaha Syafi’iyah. Imam Ahmad dan Syiah Zaydiyah berpendapat bahwa dalam
jarimah hirabah juga berlaku nishab dalam harta yang diambil oleh semua pelaku
secara keseluruhan dan tidak memperhitungkan perolehan perorangan. Dengan
demikian, meskipun pemabagian harta untuk masing-masing peserta (pelaku) tidak
mencapai nishab, semua pelaku tetap harus dikenakan hukuman Had. Imam Abu
Hanifah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa perhitungan nishab bukan
secara keseluruhan pelaku, melainkan secara perseorangan. Dengan demikian,
apabila harta yang diterima oleh masing-masing peserta itu tidak tidak mencapai
nishab maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had sebagai pengambil
harta. Hanya saja dalam hal ini perlu diingat adanya perbedaan pendapat antara
hanafiyah da Syafi’iyah mengenai pelaku jarimah hirabah sebagaimana telah
dikemukakan dalam uraian yang lalu.
Persyaratan lain untuk dapat
dikenakannya hukuman had dalam jarimah hirabah ini adalah menyangkut tempat
dilakukannya jarimah hirabah[15].
Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1.
jarimah perampokan harus terjadi di
negeri islam. Dikemukakan oleh hanafiyah. Dengan demikian, apabila jarimah
hirabah(perampokan) terjadi di luar negeri islam (dar al-harb) maka pelaku tersebut tidak dikenakan hukuman had. Akan
tetapi jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan
Zhahiriyah tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian menurut jumhur, pelaku
tersebut tetap dikenakan hukuman had, baik jarimah hirabah terjadi di negeri
islam maupun di luar negeri islam.
2.
Perampokan harus terjadi di luar
kota, jauh dari kemanan. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah. Akan tetapi
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah
tidak mensyaratkan hal ini. Dengan demikian, menurut mereka (jumhur),
perampokan yang terjadi di dalam kota dan di luar kota hukumnya sama, yaitu bahwasannya
pelaku tetap harus dikenakan hukuman had.
3.
Malikiyah dan Syafi’iyah
mensyaratkan adanya kesulitan atau keadilan kendala untuk meminta pertolongan.
Sulitnya pertolongan tersebut mungkin karena peristiwanya terjadi di luar kota,
lemahnya petugas keamanan atau karena upaya penghadangan oleh para perampok
atau karena korban tidak mau meminta pertolongan kepada pihak keamanan, karena
berbagai pertimbangan. Dengan demikian apabila upaya dan kemungkinan
pertolongan mudah dilakukan maka para pelaku tidak dikenakan hukuman.
Ada pula
persyaratan yang berkaitan dengan korban. Para ulama sepakat, bahwa orang yang
menjadi korban perampokan adalah orang yang ma’shum
ad-dam, yaitu orang yang dijamin keselamatan jiwa dan hartanya oleh
islam.orang tersebut adalah orang muslim atau dzimmi.. orang islam dijamin
karena keislamannya, sedangkan kafir dzimmi dijamin berdasarkan perjanjian
keamanan. Orang kafir musta’mam (Mu’ahad)
sebenarnya juga termasuk orang yang mendapatkan jaminan, tetapi karena
jaminannya itu tidak mutlak maka hukuman had terhadap pelaku perampokan atas musta’mam ini masih diperselisihkan oleh
para fuqaha. Menurut hanafiyah perampokan terhadap musta’mam tidak dikenakan
hukuman had.
Jarimah
hirabah dapat dibuktikan dengan dua macam alat bukti, yaitu:
1.
Dengan
sanksi
Seperti
halnya jarimah-jarimah yang lain, untuk jarimah hirabah saksi merupakan alat
bukti yang kuat. Seperti jarimah pencurian, saksi jarimah hirabah ini minimal
dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat-syarat persaksian. Saksi
tersebut dapat diambil dari para korban dan bisa juga dari orang-orang yang
ikut terlibat dalam tindak pidana perampokan tersebut. Apabilasaksi laki-laki
ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan
atau empat orang saksi perempuan.
2.
Dengan
pengakuan/pembuktian
Pengakuan
seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat bukti. Persyaratan untuk
pengakuan ini sama dengan persyaratan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur
ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan
tetapi, menurut Hanabillah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus dinyatakan
minimal dua kali.[16]
Hukuman/
sanksi hirabah menurut Imama Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan Imam ahmad
berbeda-beda sesuai dengan perbuatannya masing-masing, hal ini karena mereka
mengacu pada QS.Al-Maidah:33.
1.
Hukuman untuk menakut-nakuti
Hukuman
untuk jenis tindak pidana perampokan yang hanya menakut-nakuti adalah
pengasingan, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam ahmad.
Menurut Imam Syafi’i dan Syiah Zaidah, hukumannya adalah ta’dzir atau
pengasingan karena kedua jenis hukuman ini dianggap sama[17].
Menurut Malikiyah, pengertian pengasingan (An-Nafyu) adalah dipenjarakan di tempat
lain, bukan di tempat terjadinya jarimah perampokan[18].
Hanafiyah mengartikan pengasingan dengan dipenjarakan, tetapi tidak mesti di
luar daerah terjadinya perampokan[19].
Pendapat yang rajih dalam madzhab Syafi’I mengartikan pengasingan dengan
penahanan, baik di daerah sendiri, tetapi lebih utama di daerah lain. Imam
Ahmad berpendapat bahwa pengertian pengasingan adalah pengusiran pelaku dari
daerahnya, dan ia tidak diperbolehkan untuk kembali, sampai ia jelas telah
bertobat. untuk lamanya penahanan menurut Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam
Syafi’I tidak terbatas, artinya tidak ada batasan tertentu, sampai pelaku
perampokan sampai benar-benar bertaubat dan tingkah lakunya menjadi baik.
2.
Hukuman untuk mengambil harta tanpa
membunuh
Hukuman
untuk jenis tindak pidana ini adalah potong tangan kaki secara silang menurut
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan Syiah Zaidiyah, mereka
beralasan dengan demikian karena berpedoman pada firman Allah dalam QS.
Al-Maidah:33 atau dipotong tangan.
3.
Hukuman untuk membunuh tanpa
mengambil harta
Apabila
pelaku perampokan hanya membunuh korban tanpa mengambil hartanya maka menurut
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan satu riwayat dan Imam ahmad, hukumannya
adalah dibunuh (hukuman Mati) sebagai hukuman had tanpa disalib. Sementara
menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan salah satu pendapat Syi’ah
Zaidiyah disamping hukuman mati, pelaku juga harus disalib.
4.
Hukum membunuh dan mengambil dan
mengambil harta
Apabila
pelaku perampokan membunuh dan mengambil hartanya menurut Imam Syafi’I, Imam
Ahmad, Syi’ah Zaidiyah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad dari kelompok
Hanafiyah, hukumannya adalah dibunuh(hukuman mati) dan disalib, tanpa dipotong
tangan dan kaki. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa dalam kasus ini,
hakim diperbolehkan untuk memilih salah satu dari tiga alternative hukuman:
pertama, potong tangan dan kaki, kemudian dibunuh atau disalib. Kedua, dibunuh
tanpa disalib dan tanpa potong tangan dan kaki dan ketiga. Disalib kemudian
dibunuh.
2.6.Hikmah Hukuman Had
Hikmah
hukuman had bagi perampok mutlak untuk ditegakkan, sebab
perampokan merupakan kejahatan besar yang sangat membahayakan serta mengganggu keamanan
dan ketertiban masyarakat[20].
Perampok biasanya sudah mempunyai niat untuk melakukan tindakan pencurian dan
pembunuhan sekaligus dalam satu waktu. Dengan demikian perampokan merupakan
tindak pidana yang lebih besar dari pada pencurian dab pembunuhan, perampokan
lebih jahat daripada pencurian karena di samping merampas harta kekayaan dan
rizki orang lain yang didapatkan dengan susah payah juga dilakukan dengan
kekuatan untuk melukai bahkan membunuh pemilik harta. Dengan demikian perampok
pada dasarnya kufur terhadap nikmat Allah, karena diberi kenikamatan yang
besar, yaitu kekuatan dan kesehatan,. Tetapi, kemudian tidak disyukuri bahkan
digunakan tidak pada tempatnya. Karena bahaya perampokan tersebut. Syari’
member hukuman yang berat dan bertingkat-tingkat kepada perampok sesuai bentuk
perampokan yang dilakukannya.
2.7.Contoh Kasus danAnalisis
1.
Analisis
Gambar 1.1
·
Mahasiswa
Penodong Ditangkap
Dalam kasus
ini, jika terjadi di negara yang menganut hukum islam, kasus tersebut termasuk
dalam tindakan pidana perampokan (Hirabah) dengan jenis hukuman mengambil harta
tanpa membunuh. Maka, hukumannya adalah dipotong tangan dan kaki dengan
bersilang dan apabila kasus tersebut terjadi di Indonesia.
2.
Analisis
gambar 1.2
·
Jaket
Terlacak, 10 Perampok di Tangkap
Pada kasus
ini, hukuman bagi perampok yang menembak korban dikenai hukuman, yaitu :
a.
Hukuman mati ( dibunuh) atau disalib
tanpa dipotong tangan dan kaki apabila korban yang ditembak oleh perampok
meninggal dunia.
b.
Hukuman dipotong tangan dan kaki
dengan bersilang apabila korban perampokan yang ditembak tidak meninggal dunia
dan apabila kasus ini ada di Indonesia. Maka pelaku perampokan di kenai
hukuman.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Perampokan atau hirabah adalah salah satu bentuk
tindak pidana sangat merugikan orang lain karena sama saja tidak mensyukuri
nikmat yang telah Allah berikan, merampas hak-hak orang lain yang berstatus
sebagai korban perampokan, hukuman bagi pelaku hirabah ini sesuai dengan tingkatan
kejahatannya, apabila pelaku perampokan hanya mengambil harta dan membunuh,
maka ia dihukum potong tangan dan kaki dengan bersilang. Apabila pelaku
perampokan membunuh dan mengambil harta maka ia dihukum mati dan atau tanpa
disalib jika pelaku perampokan membunuh korban dan mengambil harta,, maka ia
dihukum mati dan disalib dan jika pelaku perampokan hanya menakut-nakuti maka
ia dihukum dengan diasingkan atau penjara.
referensi:
[1] KH Ahmad Azhar Basyir,MA, Ikhtisar
Fiqih Jinayat(hukum Pidana Islam) Yogyakarta,UN Press Yogyakarta,hal.39
[2] Drs Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana
Islam,Jakarta,Sinar Grafika,hal.93
[3] Drs. Makhrus Munajat,M.Hum, Hukum
Pidana Islam di Indonesia,Yogyakarta,TERAS,hal.153
[4] Ibid.hal.94
[5] Ibid, hal. 94
[6] Ibid.,hal.94
[7] Ibid.,hal.94
[8] Drs.H.ahmad Wardi Muslich…hal.95
[9] Ibid.,hal.97
[10] Ibid.,hal.96
[11] Ibid., hal.96
[12] Ibid., hal 96
[13] Ibid., hal. 97
[14] Ibid., hal.97
[15] Ibid.,hal.98
[16] Ibid., hal.99
[17] Ibid.,hal.101
[18] Ibid., hal.101
[19] Ibid.,hal.101
[20] Drs.Makhrus Munajat, M.Hum,Hukum
Pidana ……..hal.155
Comments
Post a Comment