Akad Jual Beli dalam Islam

 Akad Jual Beli dalam Islam
A.    Akad
Perikatan dan perjanjian dalam konteks fiqih mu’amalah dapat di sebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa arab al-‘aqud yang mempunyai arti antara lain:
a.       Mengikat ( al-rabith ) yaitu
Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda.[1]
b.      Sambungan ( al-aqd ), yaitu:
 Sambungan yang memegang ujung itu dan mengikatny.[2]
c.       Janji ( al-‘ahd ) sebagai mana yang telah di jelaskan dalam Al-Qur’an
قُلۡ أَتَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَمۡلِكُ لَكُمۡ ضَرّٗا وَلَا نَفۡعٗاۚ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٧٦
Artinya :    “(bukan demikian) sebenarnya setiap yang menepati janji yang di buatnya dan bertakwa. Maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”( Qs: Al-Maidah ayat 76) [3]

Dari keterangan di atas dapat di simpulkan bahwa pengertian akad paling tidak mencakup:
1)      Perjanjian.
2)      Persetujuan dua buah perjanjian atau lebih.
3)      Perikatan.
Adapun pengertiam akad secara istilah ada beberapa definisi akad, pengertian tersebut ada yang bersifat umun dan bersifat khusus.
1)      Pengertian akad secara umum adalah:
كُّلَّمَاغَزَمَ الْمَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدْرٌ بَارِادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفٍ ام اِحْتِجَاجِ اِلَى اَرَادَيْنِ كَالْبَيْعِ

Artinya: “setiap yang di inginkan manusia untuk mengerjakan, baik keinginan tersebut berasal dari kehendaknya sendiri, misalnya dalam hal wakaf, atau kehendak tersebut timbul dari dua orang, misalnya dalam hal jual beli, ijaroh.”[4]

2)      Pengertian akad secara khusus adalah:
اِرْتِبَاطُ اِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ اَثَرُهُ فِى الْمَحَلِّهِ

Artinya: “perikatan yang di tetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’nyang berdampak pada objeknya.”[5]

Dalam akad pada dasarnya di titik beratkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak yang di tandai dengan ijab-qobul. Dengan demikian ijab-qobul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridhaan dalam berakad yang di lakukan oleh dua orang atau lebih sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’.[6]
a.       Rukun akad
Rukun akad terdapat berbeda-beda pendapat di kalangan fuqaha.[7] Menurut jumhur fuqoha rukun akad terdiri atas:
1)      Aqid yaitu orang yang berakad, pihak yang berakad ini dapat terdiri dua orang atau lebih pihak yang berakad dalam transaksi jual-beli biasanya terdiri dari dua orang yaitu pihak penjual dan pembeli.
2)      Maudhu’ al-aqd yaitu tujuan pokok dalam melakukan akad, biasanya mempunyai tujuan yang berbeda. Karena itu berbeda dalam bentuk akadnya, maka berbeda pula tujuanya. Dalam akad jual beli  tujuan pokok adalah memindahkan barang dari pihak penjual ke pihak pembeli dengan di bsertai gantinya berupa uang.
3)      Shighat al-aqd adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui dengan perbuatan, isyarat, dan tulisan. yang terdiri dari ijab dan qobul. Pengertian ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seseorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Sedangkan qobul adalah perkataan yang keluar dari perkataan orang lain yang di ucapkan setelah adanya ijab.
Adapun pengertian ijab qobul pada sekarang ini dapat di pahami sebagai bentuk bertukarnya sesuatu dengan yang lain. Adapun hal-hal yang harus di perhatikan dalam Shighat al-aqd ialah:
1)      Shighat al-aqd  harus jelas pengertianya  maka kata-kata dalam ijab dan  qobul harus jelas.
2)      Antara ijab dan qobul harus bersesuian maka tidak boleh antara pihak berijab dan menerima ( qobul ) berbeda lafad.
3)      Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan tanpa ada unsur pemaksaan atau ancaman dari pihak lain.[8]
Sementara itu fuqoha dari kalangan hanafiah berpendapat bahwa rukun jual beli itu hanya berupa ijab dan qobul.
Dengan demikia antara rukun, syarat dan sebab merupakan bagian yang sangat penting bagi suatu akad. Bedanya rukun berupa internal, sedangkan syarat wawasanya selalu di kaitkan ada dan tiadanya.
Sebagai salah satu asas dari akad dalam Islam adalah bahwa dari suatu
perjanjian yang dipegangi adalah pernyataan lahir, bukan kehendak batin. Ijab dan qabul adalah merupakan manifestasi eksternal atau pernyataan lahir dari kehendak batin tersebut, yang mana kehendak batin tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain melainkan melalui manifestasi eksternal berupa kata-kata atau cara lain yang dapat menyatakan kehendak batin tersebut
salahsatu.[9] setiap pembentukan akad mempunyai syarat yang di tentukan syara’ yang wajib di sempurnakan, syarat-syarat terjadi akad ada dua macam:
a.       Syarat-syarat yang bersifat umum yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b.      Syarat-syarat yang bersifat khusus yaitu syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini juga di sebut sebagai tambahan disamping syarat-syarat yang umum.
Syarat-syarat umum yang harus di penuhi dalam berbagai macam akad ialah:
a.       Kedua orang yang melakukan akad cakab bertindak ( ahli ) maka akad orang tidak cakap ( orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan karena boros dan lainya ) akadnya tidak sah.
b.      Yang di jadikan obyek akad dapat menerima hukumnya
c.       Akad itu di izinkan oleh syara’, di lakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukanya, walaupun dia bukan akid yang memiliki barang.
d.      Akad bukan jenis akad yang di larang.
e.       Akad dapat memberikan faedah, maka tidak sah apabila akad rahn di anggap sebagai amanah.
f.       Ijab harus berjalan terus, maka tidak sah apabila ijab tersebut di cabut sebelum adanya qobul.
g.      Ijab dan qobul harus bersambungan, jika seseorang melakukan ijab dan dan berpisah sebelum terjadinya qobul, maka yang demikian di anggap tidak sah.[10]
4.      Macam- macamakad
Adapun yang termasuk macam-macam akad adalah:
a.       Aqad munjiz, yaitu akad yang di laksanakan langsung pada saat selesainya akad. Pernyataan akad yang di ikuti pelak sanaan akad ialah  pernyataan yang tidak di sertai dengan syarat-syarat dan tidak di tentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b.      Akad mu’alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang telah di tentukan dalam akad, seperti penentuan penyerahan barang-barang yang di adakan setelah adanya pembayaran.
c.       Akad mudhaf yaitu akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenahi penangguhan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaanya di tangguhkan hingga waktu di tentukan perkataan tersebut sah di lakukan pada waaktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah di tentukan.[11]
5.      Khiyar
Khiyar adalah hak yang di miliki oleh dua pihak yang berakad untuk memilih antara meneruskan akad,[12] atau membatalkanya dalam khiyar syarat dan khiyar aib, atau hak memilih salah satu dari sejumlah benda dalam khiyar ta’yin.
Dalam jual- beli di perbolehkanya adanya khiyar, meskipun akad yang sempurna adalah akad yang terhindar dari khiyar. Tujuan dari khiyar adalah untuk mehilangkan kelalian atau pihak yang ber akad. Di adakanya khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual-beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.[13]
Adapun khiyar menurut ulama fiqih adalah hak orang yang melakukan transaksi untuk membatalkan transaksi atau meneruskanya adanya alasan syar’i yang membolehkanya atau karena kesepakatan dalam transaksi.[14]
Khiyar ada tiga macam:
a.       Khiyar majlis
Khiyar majlis artinya si pembeli dan penjual boleh memilih antara dua perkara selama keduanya masih tetap di tempat jual-beli, khiyar majlis boleh semua dalam jual-beli
b.      Khiyar ta’yin
Khiyar ta’yin adalah hak yng di miliki oleh pembeli untuk memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis atau setara sifat atau harganya. Khiyar ini hanya berlaku pada akad mu’awadhah al-maliyah yang mengakibatkan perpindahan hak milik, seperti jual beli
c.       Khiyar syarat
Khiyar syarat artinya khiyar itu di jadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual. Saya jual ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dalam tiga hari.
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual-beli terkecuali barang yang di terima di tempat jual-beli.


d.      Khiyar ‘aibi
Khiyar ‘aibi artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang di belinya, apa bila terdapat pada barang yang di beli itu cacat yang mengurangi barang tersebut atau mengurang harganya.[15]
Hak khiyar aib ini berlaku semenjak pihak pembeli mengetahui adanya cacat setelah berlangsungnya akad. Adapu mengenai batasan waktu untuk menuntut pembatalan akad terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqoha. Menurut fuqoha hanafiah dan hanabilah, batas waktu berlakunya secara trakhir, artinya yang dirugikan tidak harus menuntut pembatalan akad ketika dia mengetahui cacat tersebut. Namung menurut fuqoha Malikiah dan syafi’iah batas waktunya berlaku secara seketika, artinya hak khiyar secepat mungkin, jika dia mengulur-ulur waktu tanpa memberikan alasan.[16]
e.       Khiyar ru’yah ( melihat )
Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah telah terjadi perubahan.
Konsep khiyar ini di sampikan oleh fiqoha hanafiah, Malikiah, Hanabilahdalam kasus jual beli yang ghaib ( tidak ada di tempat ). Sedangkan menurut syafi’iah khiyar  ru’yah ini tidak sah.

f.       Khiyar naqd ( pembayaran )
Khiyar naqd ( pembayaran ) terjadi apabila dua pihak melakukan jual beli dengan ketemtuan jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau pihak pembeli tidak menyerahkan barang dalam batasan waktu tertentu.
Khiyar dalam jual-beli mempunyai hikmah-hikmah yang kusus sebagaimana yang di jelaskan Ahlul-Ilmi sebagai berikui:
a.       Mengurangi efek gangguan dalam transaksi sejak dini karena barang dagangan tidak di ketahui secara sempurna, adanya ketidakkejelasan, adanya unsur penipuan, atau adanya unsur lain yang dapat mengakibatkan kerugian bagai orang yang melakukan bertransaksi.
b.      Membersihkan unsur suka sama suka dari noda-noda. Hal ini sebagai saran antisifasi adanya kerugian bagai orang yanag bertransaksi.
c.       Kepuasan dengan mempertimbangkan secara seksama mengenai kebaikan sesuatu baginya, dan bermanfaat bagai kebutuhanya. Demikian ini agar orang yang melakukan transaksi mendapatkan kemaslahatan yang di inginkan.
Bagai penjual mendapat kesepakatan untuk bermusyawarah kepada orang terpercaya mengenai harga yang sesuai dengan barang dagangan sehingga tidak terjadi penipuan dan kerugian.
6.      Berakhirnya akad
Berakhirnya akad dapat di sebabkan karena fasakh, kematian atau karena tidak adanya pihak lain dalam hal akad.
a.       Berakhirnya akad karena fasakh. Hal-hal yang yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad dalah fasakh karena rusak, yaitu jika suatu akad berlangsung secara fasid
b.      Berakhirnya akad karena kematian. Kematian menjadi penyebab berakhirnya akad meskipun para ulama berbeda pebdapat tentang masalah ini.
c.       Berakhirnya akad karena tidak adanya izin pihal lain. Akad akan berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang tidak mengizinkan atau meninggal dunia sebelim dia memberikan izin.




[1] Hendi suhendi, Fiqh Mu’amalah dan hukum kebendaan dalam islam ( Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986 ) hal. 44
[2] Ibid.,
[3] Qs: Al-Maidah ayat 76
[4] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Waa Adhilatuh, juz 4 ( Damaskus: Dar al-Fikr al- Mu’ashirah, 1988 ), hal 2917
[5] Ibid, hal. 2918
[6] Qomarul Huda. Fiqh Muamalah,cet 1, ( jogjakarta: teras jogjakarta.2011), Hal. 27
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Waa Adhilatuh,, hal. 2930
[8] Qomarul Huda. Fiqh Muamalah. Hal.29
[9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.75
[10] Qomarul Huda. Fiqh Muamalah. Hal. 32
[11] Ibid hal 33
[12] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Waa Adhilatuh, juz 5 hal 2917
[13] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar dkk, Eksiklopedi. Fiqh Muamalah dalam pandangan Empat Madzhab ( Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2004), hal 269
[14] Ibid., hal. 123
[15] Syeh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari’ah Islam hal 270
[16] Qomarul Huda. Fiqh Muamalah. Hal. 45-46

Comments

Popular posts from this blog

fiqih kaidah-34

Ilmu Tawarikh An-Nuzul

Syarat-syarat al-Syufqah