FIQIH kaidah-35
KAIDAH-35
لاينكرالمختلف فيه وانماينكرالمجمع عليه
Hal-hal yang diperselisihkan tidak dapat
diingkari, yang wajib ingkari adalah hal-hal yang sudah disepakati
Kaidah
ini memiliki nilai yang sangat penting , karena berhubungan dengan
reputasi para mujtahid, saat terjadi perbedaan
pendapat yang sangat tajam diantara mereka. Padahal perbedaan adalah hal
yang wajar terjadi dalam kancah dunia keilmuan, khususnya dalam ilmu fiqih. Di
sini, kita tidak boleh memberikan penilaian subyektif atas pendapat mereka, dengan
menilai pendapat salah seorang mujtahid lebih utama, karena kebetulan
pendapatnya sesuai dengan nagan-angan, pemikiran, keinginan, atau kepentingan
kita. Inalah pesan substansial kaidah diatas.
PERGULATAN
KAIDAH DENGAN REALITAS
Ketidakbolehan
mengingkari hal-hal yang masih dipetentangkan (mukhtalafah fih) ini,
karena pada dasarnya pendapat ulama yang berpendapat tentang keharaman sesuatu
tidaklah lebih utama dibanding ulama yang berpendapat halal. Sebagaimana halnya
pendapat al-syafi’I yang menyatakan keharaman arak yang terbuat dari bahan
selain perasan anggur (nabidz), tidak dapat dikatakan lebih ‘utama “,
istimewa, dan sebagainya, dibanding dengan pendapat abu hanifah yang
menghalalkannya. Ketentuan ini (baca; tidak wajib mengingkari hal-hal yang mukhtalaf
fih) berlaku karena pada dasarnya pengingkaran yang wajib dilakukan hanya
dapat dibenarkan pada hal-hal yang telah
disepakati keharamanya (mujma’ ‘alayh)
diantara para ulama. Seperti halnya meminum khamr (arak yang terbuat
dari perasan anggur), sodomi, berbuat zina dan perbuatan dosa lain yang telah
disepakati bahwa hal itu adalah terlarang.
Dengan
demikian, suatu hal yang berupa barang atau perbuatan yang masih
dipertentangkan status hukumnya, halal atau haram, tidak wajib diingkari. Sebab
mungkin saja orang yang melakukan karena ia mengikuti ulama yang berpendapat
halal, seperti yang diungkapkan Ibnu Hajar dalam tuhfal-Muhtaj.
Lain
halnya jika ada seoarang ‘alim melihat orang lain melakukan perbuatan yang
dipertentangkan halal dan haramnya, dan ketika melakukan hal itu, sebenarnya si
pelaku berkeyakinan bahwa apa yang dilakukanya adalah sesuatu yang diharamkan.
Maka bagi orang ‘alim wajib mengingkari perbuatan itu., jika ia mempunyai
anggapan bahwa dalam diri pelaku
sebenarnya meyakini bahwa perbuatan yang dilakukanya adalah haram. Hal ini
berlaku walaupun pendapatnya berbeda dengan keyakinan si pelaku.
Orang
yang belum bertaraf ‘alim (‘amiy) juga wajib mengingkari perbuatan yang
dipertentangkan status hukumnya, ketika ia diberitahu orang lain yang lebih
mengetahui bahwa perbuatan semacam itu haram menurut keyakinan si pelaku.
Sedangkan
ingkar yang dianjurkan (mandub), tidak terbatas pada hal-hal yang
disepakati keharamanya. Jika ingkar yang wajib hanya pada hal-hal yang sepakat
diharamkan, maka untuk ingkar yang sunnah juga berlaku pada hal-hal yang masih
dipertentangkan ulama. Ingkar yang sunnah ini dapat dilakukan atas dasar
menasehati atau menganjurkan orang lain agar melakukan tindakan keluar dari
perbedaan (khuruj al-khilaf).
Lebih
menjelaskan tentang hal diatas, Syeikh Zakaria dalam asna al-mathalib
menyatakan, ingkar jenis ini dianggap sunah hanya ketika tidak sampai
menyebabkan pada khilaf yang
lain. Dan tidak beresiko meninggalkan sunah yang telah baku (tsabitah),
karena pengingkaran dengan dua latarbelakang yang disebutkan ini adalah
tindakan yang sunah dilakukan berdasarkan kesepakatan ulama.
Bagi
orang yang khawatir timbulnya resiko
buruk pada dirinya, jika melakukan pengingkaran. Yang sunah ini, maka ia harus
menggunakan ungkapan yang halus (rifq). Pengingkaran yang sunnah
dilakukan dengan cara yang halus ini juga berlaku jika melakukan pengingkaran
dengan orang awam. Karena dengan metode ini keduanya akan mudah menerima dengan
lapang dada terhadap maksud baik untuk mencegah dan menghilangkan perbuatan munkar.
PENGECUALIAN
(MUSTANAYAT)
Inti
dari hal-hal yang masuk dalam mustanayat ini adalah diwajibkanya
seseorang mengingkari hal-hal yang mukhtalaf fih. Secara umum
pengecualian ini ada tiga:
1. Lemahnya
dalil yang dijadikan pijakan hukum sebuah pendapat.
Maksud dari lemah di sini adalah ketika pendapat
seorang imam menurut mayoritas ulama sangat jauh dari kebenaran. Hingga apabila
seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan menggunakan hukum dari pendapat
yang lemah pengambilan dalilnya, maka putusan hakim itu bisa dibatalkan.
Seperti halnya ketika murtahin (orang yang menerima gadai) berhubungan
badan dengan budak wanita (‘amat) yang digadaikan. Maka pelaku harus
didera.
2. Dalam
pengadilan, yang dijadikan sandaran adalah pendapat yang dijadikan pedoman
seorang hakim (mazhab al-hakim), disebutkan bahwa tentang halal atau
tidaknya suatu perbuatan berdasarkan apa yang diyakini si pelaku, namun dalam
masalah peradilan adalah sebaliknya; yang dijadikan pedoman adalah apa yang dianut
si hakim. Dengan demikian, jika ada seorang penganut hanafi yang meminum nabidz
(perasan kurma) yang meyakini kehalalnya, dihadapkan pada seorang hakim
yang bermazhab Syafi’I yang meyakini keharamanya, maka ia tetap dapat dijatuhi
hukuman. Namun dalam hal ini ada batasan khusus yang disampaikan oleh Ibnu
Qosim, bahwa apabila ada seorang yang melakukan pelanggaran, maka seorang qadli
atau mufti tidak dibolehkan berselisih paham dengan pelaku dalam
hal-hal yang tidak bertentangan dengan nash, ijma’, atau qiyas
jail.
Dalam
contoh ini, banyak ulam yang
me-musykil-kan ketentuan bahwa apa yang dilakukan hakim ini sebagai tindakan
yang dilakukan dalam kerangka had zina, padahal ada ketentuan
ketidakjelasan (syubhat), baik dalam perbuatan itu sendiri, syubhat pada
diri pelaku, ataupun syubhat dalam pendapat madzhab tiga faktor yang
dapat mencegah diterapkanya had. Sementara mereka
tidak mengakomodasi madzhab yang dianut hakim sebagai pertimbangan dalam had
zina pada akhirnya akan dapat mencegah pelaksanaan had. Seakan tidak
ada konsistensi dari ulama, semestinya madzhab yang dianut hakim dalam masalah
ini juga dijadikan pertimabangan agar had tidak dilakukan hakim. Namun kemusykilan
ini terjawab oleh ungkapan syeikh yasin; dalil tidak diharamkanya nabidz adalah
lemah, sedangkan syubhat tentang dalil yang ada dalam had zina adalah
kuat. Padahal seperti telah kita ketahui, batas kuat tidaknya syubhat bukan
terletak pada realitas perbedaan yang terjadi, namun lebih didasarkan pada
kuatnya dalil (madrak) yang digunakan, sebagaimana yang diungkapkan oleh
al-rawyani dan didukung oleh beberapa ulama yang lain.
3.
Jika perkara
yang diingkari berhubungan dengan hak seorang suami atau istrinya. Sang suami
berhak mengingkari suatu hal yang sebenarnya merupkan hal-hal yang dipetentangkan
(mukhtalaf fih), yang semula tidak boleh untuk diingkari. Namun karena
ia mempunyai hak terhadap istrinya, maka ia dibolehkan mengingkari. Seperti
halnya seorang suami yang bermadzhab Syafi’i dimana madzhab ini mengharamkan nabidz,
melihat istrinya yang bermadzhab hanafi meminumnya, maka ia berhak (tidak
wajib) mengingkarinya. Baik nabidz tersebut memabukan atau tidak.
CATATAN AKHIR
Sebagai penutup pembahasan kita
kali ini, kiranya perlu diketahui tentang syarat-syarat ingkar yang wajib maupun
yang sunah. Yakni, ingkar yang dilakukan tidak mendatangkan fitnah ataupun mudharat.
Apabila diyakini atau praduga kuat bahwa mengingkaran yang dilakukan akan
memantik timbulnya fitnah, maka hukum mengingkari tidak wajib dan juga tidak
sunah, bahkan bisa berubah menjadi haram. Tindakan yang patut dilakukan
hanyalah tidak mendatangi tempat yang didalamnya terdapat kemungkaran. Ia wajib
terus berada dirumah dan dilarang keluar kecuali karena kebutuhn mendesak (dlarurat).
Satu catatan lagi, baginya tidak
diwajibkan berpindah tempat, kecuali jika tetap bertahan maka akan
mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, dan dengan berpindah tempat akan
menjadikan orang yang melakukan perbuatan munkar akan menerima nasihatnya. Jika
tidak ada asumsi kuat (zhan) ajakanya ditanggapi, baik ada prasangka
kuat atau ragu (syak) bahwa ajakanya tidak ditanggapi, maka ia tidak
diwajibkan melakukan pengingkaran.
Terakhir, jika tindakan
pengingkaran sudah berstatus tidak wajib, sementara ia tidak khawatir akan
timbulnya fitnah (bahaya), maka disunahkan melakukan pengingkaran sebagai syiar
Islam. Wallahu a’lam.
Terimakasih sudah membaca artikel
saya tentang fiqih kaidah-35. Semoga bermanfaat.
Referensi:
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005 "FORMULASI NALAR FIQIH Telaah Kaidah fiqh Konseptual"Cet I th. 2005 hal. 315-317
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005 "FORMULASI NALAR FIQIH Telaah Kaidah fiqh Konseptual"Cet I th. 2005 hal. 315-317
Comments
Post a Comment