Al-sunnah sebagai sumber hukum syari'at Islam
Menurut Ibnu al-Qayyim, sunnah rasulullah yang berkaitan dengan
pokok-pokok hukum syari’at berkisar kurang lebih 500 buah hadits, sedangkan
yang berkaitan dengan detil-detil hukum syari’at ada sekitar 4000 buah hadits,
meski demikian, terdapat jauh lebih banyak hadits yang berpotensi sebagai acuan
dasar penetapan hukum, kendati diantara hadits tersebut keberadaanya masih memunculkan kontroversi, sebagaimana kontroversi ulama’ dalam pemakaian
hadits ahad.
Hal ini berbeda
dengan al-Qur’an, yang relatif aman dari kontroversi keberadaan ayat per
ayatnya misalnya. Ayat-ayat al-Qur’an, status keberadaanya haruslah mutawatir, dalam arti
statusnya sebagai Al-Qur’an tidak terbantahkan lagi, karenanya perbedaan
pendapat hukum diantara mujtahid hanya berkisar dari pemahaman dan
interprestasi ayat-ayatnya. Sehingga ruang ijtihad pada ayat-ayat Al-Qur’an
hanyalah diarahkan pada ayat-ayat yang zhanniyy al-dilalah saja.
Karena mayoritas
al-sunnah yang status keberadaanya tidak lebih dari sekedar zhaniyy inilah,
maka sisi argumentatif al-sunnah dalam ramah hukum syari’at berada pada
prioritas kedua setelah Al-Qur’an. Pandangan semacam ini telah menjadi
kesepakatan para ulama’ Islam, kecuali beberapa golongan saja yang mengingkari
al-sunnah sebagai sumber hukum mandiri.
Ada beberapa
argumentasi yang melandasi pemikiran para ulama’ dalam menjadikan al-sunnah
sebagai sumber hukum syari’at, diantaranya dari berbagai ayat Al-Qur’an, ijma’
dan argumentasi rasio. Selain konsensus umat, argumen-argumen ini pertama kali
dicetuskan oleh seorang ulama besar pembela al-sunnah, Imam al-Syafi’i ra. Yang
tertuang dalam dua karya agungnya Al-Umum dan Al-Risalah. Secara
terperinci argumen-argumen tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama,
dalam nash-nash Al-Qur’an allah memerintahkan kita untuk mematuhi Rasul dan mengikuti jejak beliau, serta menjadikan ketaatan kepada Rasul
sebagai suatu bentuk ketaatan kepada-Nya. Allah juga memerintahkan agar penyelesaian
semua persoalan kepada allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan. Kita
tidak diberikan-Nya pilihan selain apa yang telah ditetapkan allah dan Rasul-Nya. Begitu pula, Al-Qur’an menggariskan keharusan beriman pada Rasulullah. Karenya, orang yang wajib dipatuhi, maka ucapan, perbuatan dan persetujuannya menjadi pegangan
dan tuntutan dalam menjalani kehidupan keberagamaan. Dalam berbagai ayat Allah
berfirman:
1.
QS.
An-Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“ hai orang-orang
yang beriman, taatilah allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu
sekalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah Al-Qur’an) dan rasul (al-hadits) jika kamu
benar-benar beriman kepada allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama
bagimu dan lebih baik akibatnya. (QS: An-Nisa’ 59)
2.
QS.
An-Nisa’ 79 yang artinya:
“barang siapa yang mentaati rasul, maka sesungguhnya ia ia telah
mentaati allah”.
3.
QS.
An-Nisa ayat 69 yang artinya:
“dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasulnya, mereka itu
akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi nikmat oleh allah, yaitu para
nabi dan para shadiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih,
dan mereka itulah teman yang sebaik-baikmya.”
4.
QS.
Al-Ahzab ayat 36 yang artinya:
“dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasulnya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.”
5.
QS,An-Nisa’
ayat 64 yang artinya:
”maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikinya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam suatu perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan
yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya.”
6.
QS,
Al-Hasyr ayat 7 yang artinya:
“apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya, maka tinggalkanlah.”
7.
QS.
Al-Imron ayat 31 yang artinya:
“katakanlah, “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya allah mengasihi kamu.”
8.
QS,
An-Nur ayat 63 yang artinya:
“maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya, takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
9.
QS.
An-Nur ayat 62 yang artinya:
“sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin adalah orang-orang
yang beriman kepada allah dan rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama
Rasul dalam suatu urusan yang memerlukan
pertemuan, mereka agar tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meinta izin
kepadanya.”
10.
QS.
Al-A’raf ayat 158 yang artinya:
“maka berimanlah kepada allah dan rasul-Nya, nabi yang ummi yang
beriman kepada allah dan kalimat-kalimatnya (Al-Qur’an), dan ikutilah dia
supaya kamu semua mendapat petunjuk.”
11.
QS.
Al-Imron ayat 163 yang artinya:
“sungguh allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan
mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat allah, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al kitab (al-quran) dan al-hikmah
(sunnah nabi) dan sesungguhnya sebelum (kedatangan nabi) itu mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Keharusan ketaatan
kepada Rasul dan kaitan eratnya dengan keimanan ini dikuatkan pula dengan wasiat
beliau sendiri, sebagaimana terlontar dalam beberapa kesempatan. Saat hajja al-wada’ (haji perpisahan) misalnya, Rasulullah bersabda yang artinya:
“aku meninggalkan dua perkara, apabila
kamu pegangi dua perkara tersebut maka kamu tidak akan sesat selamanya. Yaitu
kitab allah dan sunnah nabinya. (HR. malik)
Kedua, ijma’ sahabat semasa hidup Rasulullah dan sepeninggal beliau atas
kewajiban mengikuti sunnah nabi. Mereka terbiasa mengikuti apa-apa yang
diperintahkan Nabi dan menjahui segala yang beliau larang. Mereka tidak
membedakan antara hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hukum yang muncul
dari Nabi (al-sunnah). Keduanya wajib untuk diikuti.
Jawaban mu’adz
bin Jabbal dapat menjadi gambaran dari kenyataan diatas. Saat ditanya Rasul
tentang apa yang dijadikanya pegangan dalam memutuskan hukum tatkala dalam
Al-Qur’an tidak ditemukan penjelasanya, mu’adz menjawabnya, “dengan sunnah
Rasulullah”. Atau sikap abu bakar dan ‘umar ketika menghadapi kasus-kasus
baru yang tidak ditemukan penjelasanya dalam Al-Qur’an. Demikian pula para
sahabat lainya, serta generasi-generasi setelahnya. Semua ini merupakan alasan
pembenar sisi argumentatif al-sunnah dalam ranah hukum syari’at.
Ketiga, secara rasio dapat dipahami bahwa tatkala allah memerintahkan
Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah dan mengikuti wahyu, sedangkan penyampaian
risalah adalah dengan membacakan Al-Qur’an dan menjelaskan kandungan maknanya,
sementara berbagai argumentasi telah membuktikan adanya sifat keterpeliharaan (ishmah)
Rasul, maka dengan demikian, kongkretasi dari syari’at adalah Al-Qur’an dan
ucapan Rasul. Muhammad taqiyy al-hakim, sebagaimana dikutib wahbah al-zuhaili,
menandaskan bahwa argumentasi ini inti dari dalil pembenar sisi argumentatif
al-sunnah. Pengingkaran terhadap hal ini akan berimbas pada pengingkaran secara
rasional terhadap eksistensi kenabian.
Dari
argumen-argumen diatas, dapat ditarik kepahaman, tatkala dalam Al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang secara literal bermakna mujmal (general) atau muthlaq (inlimit),
yang tidak akan dapat dipahami tanpa adanya penjelasan dari Rasul penyampai
wahyu, baik dari segi perbuatan atau perkataan, maka dengan demikian, segala
sesuatu yang keluar dari Rasul (baca: al-sunnah) juga menjadi sumber legislasi
hukum Islam.
Referensi:
Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo
Kota Kediri “Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam” Cet I th. 2004 hal. 37-41
Comments
Post a Comment