Makalah Fiqih tentang Akad

 makalah tentang akad
BAB  I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan keduanya yang lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.

1.2.       Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui lebih rinci tentang teori akad seperti apa.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1.            PengertianAkad
Akad (al-‘Aqd) dalam bahasa Arab berarti: pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Atau diartikan sebagai sambungan atau janji[1]. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan . sedangkan menurut pendapat dari Syafi’iyah, malikiyah dan Hanabilah yaitu Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan dan gadai[2]. Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh fuqahâ’ (para pakar fikih).
Sedangkan pengertian khusus dari akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan” syara’ yang berdampak pada objeknya. Atau dapat juga diartikan sebagai pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.[3]
Dengan demikian, ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat islam.
2.2.            RukunAkad
Ulama selain Hanafiyah berpendapat bahwa akad memiliki tiga rukun, yaitu[4] :
1.      Dua pihak atau lebih yang saling terikat dengan akad (’aqid)
Yaitu dua orang atau lebih yang secara langsung terlibat dalam perjanjian. Kedua belah pihak dipersyaratkan harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mengikuti proses perjanjian, sehingga perjanjian atau akad tersebut dianggap sah. Kemampuan tersebut terbukti dengan beberapa hal:
a.       Kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk. Yakni apabila pihak-pihak tersebut sudah berakal lagi baligh dan tidak dalam keadaan tercekal. Orang yang tercekal karena dianggap idiot atau bangkrut total, tidak sah melakukan perjanjian.
b.      Pilihan. Tidak sah akad yang dilakukan orang dibawah paksaan, kalau paksaan itu terbukti. Misalnya orang yang berhutang dan butuh pengalihan hutangnya, atau orang yang bangkrut, lalu dipaksa untuk menjual barangnya untuk menutupi hutangnya.
c.       Akad itu dianggap berlaku (jadi total) bila tidak memiliki pengandaian yang disebut khiyar (hak pilih). Seperti khiyar syarath (hak pilih menetapkan persyaratan), khiyar ar-ru’yah (hak pilih dalam melihat) dan sejenisnya
2.      Sesuatu yang diakadkan (ma’qud alaih)
Yakni barang yang dijual dalam akad jual beli, atau sesuatu yang disewakan dalam akad sewa dan sejenisnya. Dalam hal itu juga ada beberapa persyaratan sehingga akad tersebut dianggap sah, yakni sebagai berikut:
a.       Barang tersebut harus suci atau meskipun terkena najis bisa dibersihkan. Oleh sebab itu, akad usaha ini tidak bisa diberlakukan pada benda najis secara dzati, sepserti bangkai. Atau benda yang terkena najis namun tidak mungkin bisa dihilangkan najisnya, seperti cuka, susu dan benda cair sejenis yang terkena najis, namun kalau mungkin dibersihkan, boleh-boleh saja.
b.      Barang tersebut harus bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan. Karena fungsi legal dari satu komoditi menjadi dasar nilai dan harga komoditi tersebut. Segala komoditi yang tidak berguna seperti barang-barang rongsokan yang tidak dapat dimanfaatkan atau bermanfaat tetapi untuk hal-hal yang diharamkan, seperti minuman keras dan sejenisnya, semuanya itu tidak dapat diperjualbelikan.
c.       Komoditi harus bisa diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak ada, atau ada tapi tidak bisa diserahterimakan, karena yang demikian itu termasuk menyamarkan harga dan itu dilarang
d.      Barang yang dijual harus merupakan milik sempurna dari orang yang melakukan penjualan. Barang yang tidak bisa dimiliki tidak sah diperjualbelikan.
e.       Harus diketahui wujudnya oleh orang yang melakukan akad jual beli bila merupakan barang-barang yang dijual langsung, dan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya apabila barang-barang itu berada dalam kepemilikan namun tidak berada dilokasi transaksi. Bila barang-barang itu dijual langsung, harus diketahui wujudnya seperti mobil tertentu atau rumah tertentu dan sejenisnya. Namun kalau barang-barang itu hanya dalam kepemilikan seperti jual beli sekarang ini dalam akad jual beli as-Salam, dimana seseorang pelanggan membeli barang yang diberi gambaran dan dalam kepemilikan penjual, maka disyaratkan harus diketahui ukuran, jenis dan kriterianya, berdasarkan sabda Nabi: ”barangsiapa yang melakukan jual beli as-Salam hendaknya ia memesannya dalam satu takaran atau timbangan serta dalam batas waktu yang jelas.”
c.    Shighat, yaitu ijab dan qabul
Definisi ijab dan qabul menurut ulama Hanafiyah. ijab adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan qabul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukan keridhaan atas ucapan orang yang pertama.
Pendapat lain secara umum, ijab adalah ucapan dari orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual beli), sedangkan qabul adalah pernyataan dari penerima barang.
Para ulama telah sepakat bahwa akad itu sudah dianggap sah dengan adanya pengucapan lafal perjanjian tersebut. Namun mereka berbeda pendapat apakah perjanjian itu sah dengan sekedar adanya serah terima barang, yakni seorang penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uang bayarannya tanpa adanya ucapan dari salah seorang diantara mereka berdua. Kenyataan pada zaman modern sekarang, transaksi bisa dilakukan dengan perangkat komputer dengan tanpa adanya ucapan dari salah seorang. Pendapat yang benar menurut mayoritas ulama adalah bahwa jual beli semacam itu sah berdasarkan hal-hal berikut:
a.       Hakikat dari jual beli yang disyariatkan adalah menukar harta dengan harta dengan dasar kerelaan hati dari kedua belah pihak, tidak ada ketentuan syar’i tentang harusnya lafal tertentu. Sehingga semuanya dikembalikan kepada adat istiadat.
b.      Tidak terbukti adanya ijab qabul secara lisan dalam nash-nash syariat. Kalau itu merupakan syarat, pasti sudah ada nash yang menjelaskan.
c.       Umat manusia telah terbiasa melakukan jual beli dipasar-pasar mereka dengan melakukan serah terima barang saja (tanpa pengucapan lafal akad) diberbagai negeri dan tempat, tanpa pernah diingkari ajaran syariat. Sehingga itu sudah menjadi ijma.
Yang dimaksudkan unsure-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad.yaitu[5]:
1.      Shighad Akad.
Adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui dengan ucapan, isyarat dan tulisan. Sighad tersebut biasa disebut dengan Ijab dan Qabul.
2.      Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan perbuatan yang menunjukkan saling meridhai, misalnya penjual memberikan barang dan pembeli memberikan uang.
3.      Akad dengan isyarat
Bagi orang yang mampu bicara tidak dibenarkan akad dengan isyarat, melainkan harus menggunakan lisan atau tulisan. Adapun mereka yang tidak dapat berbicara, boleh menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus dianjurkan menggunakan tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak sejak lahir, maka ia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.
4.      Akad dengan tulisan
Dibolehkan dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu bicara ataupun tidak dengan isyarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh keduanya. Sebab tulisan sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah adalah “Tulisan adalah Perintah”.
2.4.            Syarat-syarat Ijab Qabul
1.      Syarat-syarat Ijab Qabul
a.       Ijab dan qabul harus jelas. Maksudnya adalah dapat dipahami oelh pihak yang melangsungkan akad. Namun, tidak disyaratkan menggunakan bentuk tertentu.
b.      Antara ijab dan qabul harus sesuai.
c.        Antara ijab dan qabul harus bersambung dan berada ditempat yang sama jika kedua pihak hadir atau berada ditempat yang sudah diketahui oleh keduanya.
2.      Tempat Akad
Tempat bertransaksi antara  dua pihak yang sedang akad.dengan kata lain bersatunya ucapan ditempat yang sama.
3.      Akad yang tiadk memerlukan persambungan tempat
Semua iajb qabul harus berada dalam satu tempat, baik kedua pihak hadir dalam temat yang sama atau berada pada tempat yang berbeda, tetapi dimaklumi kedua pihak. Akan tetapi ada tiga akad yang tidak memerlukan persyaratan tersebut, yaitu wasiat yang harus dilakukan setelah orang yang berwasiat meninggal, penitipan keturunan keluarga dengan cara berwasiat kepada orang lain untuk memelihara keturunannya setelah ia meninggal, perwakilan(seperti perwakilan kepada orang yang tidak ada ditempat yang mewakilkan).
4.      Pembtalan ijab
a.       Pengucap ijab menarik pernyataanya sebelum qabul
b.      Adanya penolakan dari salah satu akad
c.       Berakhirnya tempat akad, yakni kedua pihak yang akad berpisah
d.      Pengucap ijab tidak menguasai lagi hidupnya, seperti meninggal, gila dan lain-lain sebelum adanya qabul.
e.       Rusaknya sesuatu yang sedang dijadikan akad, seperti butanya hewan yang akan dijual atau terlupasnya kulit anggur dan lain-lain.[6]
2.5.            Syarat-syarat Akad
1.      Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Juka tidak memenuhi syarat tersebut, maka syarat tersebut akan batal. Syarat ini terbagi atas dua bagian yaitu Umum( syarat-syarat yang harus ada pada setiap akad), Khusus (yang harus ada pada sebagian akad dan tidak disyaratkan pada bagian lainnya).
2.      Syarat syah akad segala sesuatu yang disyaratkan syara’ untuk menjamin dampak keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi akad tersebut rusak.
3.      Syarat pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan aka dada dua syarat, yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktifitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam berTasharuf sesuai dengan ketetapan syara’, baik secara asli, yakni dilakukan oleh dirinya maupun sebaagai penggantian(menjadi wakil seseorang).
4.      Syarat kepastian hukum
Dasar dalam akad adalah kepastian. Diantara syarat kepastian hukum dalam jual beli terhindarnya dari beberapa khiyar jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib dan lain-lain. Jika syarat kepastian hukum tampak maka akad batal atau dikembalikan.
2.6.            Tujuan akad
Tujuan akad merupakan pilar terbangunnya sebuah akad, sehingga dengan adanya akad yang dilakukan tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu, tujuan merupakan hal yang penting karena ini akan berpengaruh terhadap implikasi tertentu. Tujuan akad akan berbeda untuk masing-masing akan yang berbeda. Untuk akad jual beli, tujuan akadnya adalah pindahnya kepemilikan barang kepada pembeli dengan adanya penyerahan harga jual. Dalam akad ijarah (sewa-menyewa), tujuannya adalah pemindahan kepemilikan nilai manfaat barang dengan adanya upah sewa. Motif yang dimiliki oleh seorang tidak berpengaruh terhadap bangunan akad[8]. Akad akan tetap sah sepanjang motif yang bertentangan dengan syara’ tidak diungkapkan secara verbal dalam prosesi akad[9]. Misalnya, seseorang menyewa sebuah gedung atau rumah, akad sewa tetap sah dan penyewa berhak untuk memiliki nilai manfaat sewa serta berkewajiban untuk membayar upah. Walaupun mungkin, ia memiliki motif akan menggunakan gedung atau rumah tersebut untuk memproduksi narkoba.
Dengan demikian, motif dengan tujuan sangatlah berbeda karena motif tidak bisa membatalkan akad. Kalau melihat contoh di atas, maka secara dzahir akad tersebut tetap sah tanpa melihat yang tidak sesuai dengan syara’. Motif seperti ini dihukumi makruh tahrim karena adanya motif yang tidak sesuai dengan syara’.  Dari penjelasan mengenai rukun dan syarat akad di atas. Maka bisa dipahami bahwa rukun dan syarat akad merupakan unsur yang penting dalam pembentukan sebuah akad. Oleh karena itu, ulama merumuskan hal tersebut dalam rangka untuk mempermudah pihak yang akad dalam menyelesaikan perselisihan yang akan muncul dikemudian hari.

2.7.            Pembagian Akad
1.      Berdasarkan ketentuan syara’
a.      Akad shahih
Akad yang memenuhi unsure dan syarat yang telah ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah ulama hanafiyahakad shahih adalah akad akad yang memenuhi ketentuan syariat pada asalnya dan sifatnya.
b.      Akad tidak shahih
Akad tidak shahih adalah akad yang tidak memenuhi unsure dan syaratnya. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain hanafiyah menetapakn bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dan batal.
Menurut ulama hanafiyah akad batal adlah akad yang tidak memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan, seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad seperti gila dan lain-lain. Adapun akad fasid adalah akad yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara’, seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan peercekcokan.
2.      Berdasarkan penamaanya
a.       Akad yang telah dinamai syara’ . seperti jual beli, hibah, gadai dan lain-lain.
b.      Akad yang belum dinamai syara’, tetapi disesuaikan dengan perkembangan jaman.
3.      Berdasarkan maksud dan tuuan
a.       Kepemilikan
b.      Menghilangkan kepemilikan
c.       Kemutlakan, yaitu seorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
d.      Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktifitas, seperti orang gila
e.       Penjagaan
4.      Berdasarkan zatnya
a.       Benda yang berwujud
b.      Benda yang tidak berwujud
2.8.            Sifat Akad
1.      Akad tanpa syarat
Akad ini akad yang diucapkan seseorang tanpa member batasan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat.
2.      Akad bersyarat
Akad ang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu. Yaitu apabila syarat atau kaitan itu tidak ada, akad pun tidak terjadi baik dikaitkan dengan qujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaannya.
3.      Syarat idhafah
Maknanya adalah menyandarkan kepada suatu masa yang akan datang. contohnya “saya menjadikan anda sebagai wail saya mulai awal tahun depan.[7]



BAB III
PENUTUP


3.1              KESIMPULAN
Terlepas dari semua penjelasan di atas, maka penulis di sini dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa teori akad merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikaji dalam rangka merespon perkembangan ekonomi dan bisnis syari’ah dewasa ini khususnya bagi para akademisi dan pemerhati ekonomi dan bisnis Islam. Karena akad tersebut menentukan sah dan tidaknya transaksi yang dilakukan. Selain itu, perlu diperhatikan juga adalah implikasi hukum terhadap para pihak yang melakukan transaksi setelah akad tersebut terbentuk. Oleh karena itu, para pihak yang sedang berakad hendaknya memperhatikan asas-asas akad yang telah dijelaskan di atas. Sehingga transaksi yang dilakukan benar-benar bermanfaat terhadap para pihak yang berakad dan sesuai dengan maqashid syariah. Jadi, antara aktivitas atau transaksi ekonomi dan bisnis dengan maqashid syariah tidak bisa dipisahkan, keduanya saling terkait satu sama lain.

referensi:


[1] Prof.DR.H.Rachmat Syafei,MA.. Fiqih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia, 2001)hal.43
[2] Ibid., hal.44
[3] Ibid., hal 44
[4] Ibid., 45
[5] Ibid.46
[6] Ibid.51
[7] Ibid., hal 64

Comments

Popular posts from this blog

fiqih kaidah-34

Ilmu Tawarikh An-Nuzul

Syarat-syarat al-Syufqah