Jual Beli
Buyu’ dari segi
tashrif berasal dari kata ba’ahu (dia menjualnya). Masdarnya bai’atan dan maba’ian. Isim maful-nya mabyu’ atau mabi’ (
sesuatu yang di jual).[1]
Perdagangan atau jual beli secara bahasa berarti al-mubadalah ( Saling
menukar ).[2]
Adapun pengertian jual-beli Menurut arti bahasa adalah menukarkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’ menukarkan harta dengan
harta pada wajah tertentu.[3]
Jual
beli menurut kamus Bahasa Indonesia
adalah persetujuan saling mengikat antara penjual dan pembeli, penjual yakni
pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli adalah sebagai pihak yang membayar
harga yang di jual.[4] Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual,
sedangkan kata beli adalah adanya perbuatan membeli.[5] Dengan
demikian perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu
peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan dipihak yang lain membeli, maka dalam
hal ini terjadilah peristiwa hukum jual beli.
Jual
beli secara garis besar diartikan sebagai proses pemindahan hak milik atau
barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat
tukarnya. Sedangkan menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu
dengan sesuatu (yang lain).
Dari definisi
di atas dapat di pahami inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar
benda ( barang ) yang mempunyai nilai, atas dasar kerelaan antara dua belah
pihak sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang di benarkan oleh syara’
Yang di maksud
dengan ketentuan syara’ adalah jual beli yang di lakukan sesuai dengan
persyaratan, rukun, dan hal-hal yang lain ada kaitanya dengan jual beli, maka
jika syarat dan rukunya tidak di penuhi berati belum sesuai dengan kehendak
syara’.
Yang di maksud
dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang, sedangkan sifat
benda tersebut harus dapat di nilai yakni benda-benda yang berharga dan dapat
di benarkan penggunaanya menurut syara’.
Menurut
ulama’ Hanafiiyyah, jual beli adalah pertukaran harta (benda) dengan harta
berdasarkan cara khusus yang dibolehkan.[6]
Menurut Imam Nawawi jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk
kepemilikan
Menurut
pandangan fuqaha Malikiyah, jual beli dapat di klasifikasikan menjadi dua macam
yaitu jual beli yang berarti khusus dan jual beli yang bersifat khusus. Jual
beli dalam arti umum suatu perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan
kemanfaatan dan kenikmatan. Artinya sesuatu yang bukan manfaat ialah benda yang
di tukarkan adalah berupa dzat ( bentuk ) dan ia berfungsi sebagai objek
penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.[7]
Jual beli dalam
arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang mempunyai kriteria antara
lain, bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan, yang mempunyai daya tarik,
penukarannya bukan emas dan bukan pula perak.[8]
Rukun jual beli ada
3 (tiga), yakni :[9]
a.
Ijab
Kabul (akad)
b.
Orang-orangyang
berakad, penjual dan pembeli
c.
Objek
akad (ma’kud alaih)
Sedangkan
menurut jumhur Ulama, rukun jual beli ada
4 yaitu:
a.
Bay’
(penjual)
b.
Mustari
(pembeli)
c.
Sigat
(ijab dan qabul)
d.
Ma’qud ’alayh (benda atau barang)
Rukun
jual beli yang pertama dan kedua ialah
dua atau beberapa orang yang melakukan akad, adapun syarat-syarat bagi orang
yang melakukan akad adalah:
a.
Balig
(berakal) agar tidak mudah ditipu orang. Tidak sah akad anak kecil, orang gila,
atau orang bodoh sebab mereka buka ahli tasarruf (pandai mengendalikan harta).
Oleh sebab itu, harta benda yang dimilikinya sekalipun tidak boleh diserahkan
kepadanya.[10] Jumhur ulama’
berpendapat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu, harus telah akil
balig dan berakal. Apabila orang yang berakad itu masih mumayyiz, maka akad
jual beli itu tidak sah, sekalipun mendapat izin dari walinya.[11]
b.
Beragama
Islam, syarat ini hanya untuk pembeli saja. Bukan untuk penjual, yaitu kalau di
dalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Allah walaupun satu ayat, begitu pula
jika yang dibeli adalah budak yang beragama Islam.[12]
Jual beli yang sah,
adalah jual beli yang di sari’atkan baik hakikat maupun sifatnya dan tidak ada
kaitannya dengan hak orang lain. Sedangkan agar suatu jual beli yang dilakukan
oleh pihak penjual dan pihak pembeli itu sah, maka haruslah dipenuhi
syaratsyarat yaitu.[14]
a.
Tentang
subjeknya
b.
Tentang
objeknya
c.
Tentang
lafaz
Bahwa kedua belah pihak melakukan perjanjian jual beli
tersebut haruslah :
a.
Subyeknya: Berakal agar dia tidak terkicuh orang yang gila atau bodoh,
dengan kehendak sendiri ( bukan di paksa ) atau suka sama suka, keadaan tidak
mubadzir (boros ), baligh.[15]
b.
Obyeknya: barang harus suci apabila barang tersebut itu najis maka tidak
boleh dijadikan uang untuk di belikan, keadaan barang itu dapat di serahkan,
barang tersebut juga di ketahui oleh penjual dan pembeli dengan terang kadar
atau ukuran dan sifat-sifatnya sehingga tidak akan terjadi antara keduanya
kontra.
c.
Akadnya: syarat ini hanya satu sesuai antara ijab dan qobul.
Ijab adalah lafad yang keluar dari penjual atau orang yang posisinya
sama dengan penjual (yang mewakili). Qobul adalah lafad yang keluar dari
pembeli atau orang yang posisinya sama dengan pembeli( yang mewakilkan).[16]
Aspek penting dalam jual beli yang fasid dan batil.
a.
Jual
beli batil
Jual
beli yang batill adalah jual beli yang tidak terpenuhinya rukun dan objeknya,
atau tidak dilegalkan baik hakikat maupun sifatnya. Artinya, pelaku atau objek
transaksi dianggap tidak layak secara hukum untuk melakukan transaksi. Hukum
transaksi ini adalah bahwa agama tidak menganggapnya terjadi dan tidak
menciptakan hak kepemilikan. Jenis-jenis jual beli yang batil.[17]
Jenis-jenis jual beli yang batil adalah:
1)
Jual
beli sesuatu yang tidak ada. Para ulama fiqih sepakat menyatakan jual beli
seperti ini tidak sah atau batil.
2)
Menjual
barang yang tidak boleh diserahkan kepada pembeli, seperti menjual barang yang
hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara. Karena jual beli
tersebut termasuk bay‘ul garar (jual beli tipuan).
3)
Jual
beli yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik ternyata dibalik
itu terdapat unsur penipuan.
4)
Jual
beli benda najis, karena semuanya benda najis tersebut dalam pandangan Islam
adalah najis dan tidak mengandung makna harta, serta tidak mempunyai manfaat.
5)
Jual
beli al-‘urbun, yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian,
pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan kepada
penjual, dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah.
Tetapi pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang telah
diberikan pada penjual menjadi hibah bagi penjual.
6)
Memperjualbelikan
barang yang dimiliki alam yang setiap manusia mempunyai hak atasnya.
b.
Jual beli yang
rusak ( fasik )
Jual
beli yang rusak fasid adalah jual beli yang dilegalkan dari segi hakikatnya
tetapi tidak legal dari sifatnya. Artinya, jual beli ini dilakukan oleh orang
yang layak pada barang yang layak, tetapi mengandung sifat yang tidak
diinginkan oleh syari‘ah, seperti menjual barang yang tidak jelas.
Ketidakjelasannya dapat menciptakan sengketa, seperti menjual satu rumah yang
tidak ditentukan dari beberapa rumah yang ada. Hukum jual beli ini sama halnya
dengan hukum jual beli yang batil.
Diantara
jual beli yang fasid menurut ulama Hanafiyah:
1)
Jual
beli al-majhul (benda atau barangnya secara global tidak
diketahui).
diketahui).
2)
Jual
beli yang dikaitkan dengan syarat penundaan penyerahan
barang.[18]
barang.[18]
3)
Menjual
barang yang gaib yang tidak dapat dihadirkan pada saat
jual beli berlangsung, sehingga tidap dapat dilihat oleh pembeli.
jual beli berlangsung, sehingga tidap dapat dilihat oleh pembeli.
4)
Jual
beli yang dilakukan oleh orang buta.
5)
Barter
dengan barang yang diharamkan, umpamanya menjadikan barang-barang yang
diharamkan sebagai harga.
6)
Jual
beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan
khamar, apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa pembeli
itu adalah produsen khamar.
khamar, apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa pembeli
itu adalah produsen khamar.
4.
Hikmah jual
beli
Allah
SWT mensyari’atkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan
dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya. Karena semua manusia secara pribadi mempunyai
kebutuhan berupa sandang, pangan dan yang lain-lainnya.
Tak seorang
pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu ia dituntut berhubungan
dengan lainnya. Dalam hubungan ini tak ada satu hal pun yang lebih sempurna
dari pertukaran; dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian
ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhan
masingmasing.[19]
Transaksi jual
beli merupakan aktifitas yang di bolehkan dalam Islam baik di sebutkan dalam al- Qur’an, al- Hadist maupun Ijma’
ulama. Adaapun dasar hukum jual beli adalah Sebagaimana di sebutkan dalam
firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 198
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ
أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ …
Artinya : “Tidak ada dosa
bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari tuhanmu.” ( Qs:
Al-Baqarah ayat 198 )[20]
… وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ
وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ…
Artinya : “Padahal Allah telah meng halalkan jual beli
dan mengharamkan riba” ( Qs: Al-Baqarah ayat 275 )[21]
Dalam surat
An-Nisa:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu sesungguhnya allah maha penyayang kepadamu” (Qs. An-Nisa ayat 29)[22]
Ayat tersebut
menerangkan kode etika bagai orang mukmin dalam memenuhi hidupnya yaitu
menghindari cara yang tidak benar dan tidak di benarkan oleh syara’ dan
sebaliknya. Di wajibkam menggunakan cara yang benar menurut agama, dalam hal
ini ketentuan jual beli menurut hukum Islam, ketentuan ini memiliki ciri khas
atas dasar saling suka sama suka.[23]
a.
Dalil dari
as-Sunah
عَنْ رِفَاعَةَ
بِنْ رَافِعٍ رَضِى الله عنه أنّ النبى صلى الله عليه وسلم سُئِلَ : ايٌّ
الْكَسْبِ ؟ قال عَمَلَ الرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكٌلُّ بَيْعِ مَبْرُوُرٍ. روه
البزار وصحّحه الحا كم.
Artinya: Dari Rifa’ah
bin rafi’ bahwasanya nabi Saw di tanya: Apa pencarian yang lebih baik? Nabi
menjawab: pekerjaan seseorang dengan tanganya dan tiap-tiap jual beli yang
bersih. ( Diriwayatkan oleh Bazzar dan di sahkan oleh hakim)[24]
Dari keterangan
hadist di atas bahwasanya jual beli sangat lah di perbolehkan oleh Rosulullah
Saw yaitu melakukan jual beli yang bersih tidak mengandung unsur-unsur penipuan
dan dan perselisihan antara keduanya. Jadi melakukan jual beli harus saling meridhoi.
Rosulullah Saw bersabda:
وَاِنَّمَا
الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ ( رواه وابن ماجه )
Artinya: “ Jual beli
harus di pastikan saling meridai” ( Hr.
Ibnu Majjah )[25]
b.
Dalil dari
Ijmak
Para ulama
telah sepakat mengenahi kebolehan akad jual beli. Ijma’ ini memberikan hikmah
bahwa kebutuhan manusia berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam kepemilikan
orang lain, dan kepemilikan sesuatu itu tidak akan di berikan dengan begitu
saja, namun harus ada kompensasi sebagai imbal baliknya. Sehingga dengan di
syariatkan jual beli tersebut merupakan salah satu cara untuk merealisasikan
keinginan dan kebutuhan manusia karena pada dasarnya, manusia tidak akan dapat
hidup sendiri tanpa berhubungan dan bantuan orang lain.[26]
c.
Dalil dari
Qiyas
Bahwasanya
semua syari’at Allah SWT yang berlaku mengandung nilai filosofis ( hikmah ) dan
rahasia-rahasia tertentu yang tidak di ragukan oleh siapapun. Jika
maumemperhatikan, kita akan menemukan banyak sekalili nilai filosofis di balik
pembiolehan bai’. Di antaranya adalah sebagai media sarana bagai umat manusia
untuk memenuhi kebutuhan seperti makan, sandang, dan lain sebagainya. Kita
tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa orang lain. Ini semua akan dapat
terlealisasi dengan cara tukar menukar harta dan kebutuhan hidup lainya dengan
orang lain, dan saling memberi dan menerima antara sesama manusia sehingga
kebutuhan dapat terpenuhi.[27]
Demikian pula
bagai umat Islam jangan ragu melakukan transaksi jual beli karena sudah banyak
urian dan keterangan di atas baik keterangan Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, dan
Qiyas, yang menegaskan bahwa semua jual beli itu sangat di perbolehkan.
[1] Abdullah bin Muhammad
Ath-Thayyar dkk, Eksiklopedi Hukum Islam Dalam Pandangan 4 Madzhab. , cet
ke 2 ( yogyakarta: Maktabah Al- Hanif. 2004 ) hal 1
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah,
juz 3 ( Semarang: Toha Putra t.t ) hal 126
[3] Aliy As’ad, terjemah Fathul
Mu’in jilid 2 ( Kudus: Menara Kudus
tt ) hal 158
[4] Peter
Salim dan Yanny Salim, Kamus Bahasa
Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Medern
English Press, 1991), hal. 623
[5] Chairuman
Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994),hal
33.
[6] Rachmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2000) ,hal 7.
[7] Hendi suhendi. Fiqh
muamalahdan hukum kebendaan dalam islam (jakarta: raja grafindo jakarta,
2002) hal 150
[8] Ibid, hal 151
[9] Hendi
Suhendi, Fiqih Muamalah, hal 70
[10] Ibnu
Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka
Tarbiyah Baru,
2000), hal. 28.
2000), hal. 28.
[11] Ali
Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta : PT Raja.
Grafindo
Persada, 2003), hal. 119
Persada, 2003), hal. 119
[12] Ibnu
Mas’ud, Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i. Hal 28
[13] Mustafa
Kamal, dkk, Fikih Islam, (Bandung : Mizan, 1991),hal. 356
[14] Chairuman
Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam,(Jakarta: Sinar Grafika,
1994),hal 35-37.
[15] Syeh Mahmud Syaltut, Akidah
dan Syari’ah Islam. hal 263
[16]Miftahul Khoiri, Ensiklopedi
Fiqih Muamalah dalam Pandangan Empat Madzhab. Hal 18
[17] Wahbah
Az-Zuhayli , Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ,(Bandung : Remaja Rosdakarya
Offet, 1995),hal 95.
[18] Wahbah
Az-Zuhayli, Fiqih Islam, hal 141
[19] Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah,, hal. 45-46
[20] Qs: al-Baqarah (2): 198
[21] Qs: al-Baqarah ayat (2):275
[22] QS. An- Nisa (29): 4
[23] Qomarul Huda. Fiqh Muamalah.
Hal. 45
[24] Al-Hafisz
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram,( Surabaya: Darul abidin, tt ) hal: 158
[25] Ibnu Majah Abu
‘Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Quzwiniy, Sunan Ibn Majah, (Kairo: Dar
Ihya’ Al-Kutub Al-Arabiyyah, t.th), juz 2, hal. 737.
[26] Abdullah bin Muhammad
Ath-Thayyar dkk, Ensikopedi Fiqh Muamalah. Hal 5
[27] Ibid. Hal 5
Comments
Post a Comment