Ulama Sebagai Pemimpin
Ulama
Sebagai pemimpin
Ulama sebagai pemimpin- Pasca runtuhnya imperium Islam
diturki pada tahun 1924 M., tema kepemimpinan versi Islam seakan menjadi tabu
untuk dibicarakan. Dan karena keadaan yang sama sakali tidak mendukung wujudnya
perintahan Islami, akhirnya tema kepemimpinan Islam tidak populer lagi. Suara
umat islam sama sekali tidak terdengar dalam dunia internasional. Musthafa
kamal attarturk dengan cargon nasionalismenya telah menghancurkan sendi-sendi
kekhalifahan islam terakhir didunia. Ketiadaan pemimipin tunggal umat islam
yang bisa disebut khalifah bukanlah karena tidak ada orang yang
mempunyai kemampuan dalan hal itu. Andaikan tidak ada imam ataupun dzu
syawkah pun, sebenarnya teori hukum islam telah memproyeksikan
poenggatinya. Islam tidak pernah membiarkan umatnya tanpa ada pemimpin yang
membimbingnya
Tataran pemerintah yang ideal,
sebenarnnya sudah terkonsep secara jelas dan rapi dalam syari’at islam. Sarana
yang diperlukan dalam membentuk sebuah pemerintahan yang islamipun sudah dijelaskan secara sempurna
dan kemudian dijabarkan dalam tataran teknis oleh para ulama’. Mulai siapakah
yang layak yang menjadi pemimpin dunia
islam, kewajiban apa saja yang harus dilaksanakan pada rakyat terhadap
pemimpinya, tata cara penyaluran aspirasi rakyat pada pemimpin, pengaturan
angkatan bersenjata dan perang, infrastrukuktur dan sebagainya, yang semuanya
telah diatur secara lengkap dalam bingkai fardlu kifayah.
Dalam kitabnya fatawiy al-Asykhar, al-Samhudi mengatakan,
apabila suatu ketika terjadi ketiadaan imam (pemimpin besar umat Islam),
ataupun dzu syawkah, maka hal-hal yang berhubungan kepentingan umat
Islam sepenuhnya diserahkan pada ulama’. Dalam keadaan semacam ini, merekalah
yang menjadi pemimpin umat Islam. Dengan demikian dalam hal apapun umat Islam
harus merujuk kepada mereka.
Apabila diantara ulama sulit untuk
mencapai kata sepakat tentang figur ulama yang layak menjadi pemimpin mereka,
maka ulama ynag paling luas ilmunya lah yang berhak menjadi pemimpin umat
Islam. Dan jika masing-masing ulama mempunyai keluasam ilmu yang sama, maka
harus diadakan pemilihan denga cara
diundi (qar’ah).
Proses pemilihan pemimpin dari figur
ulama sebagai pengganti imam dan dzu syawkah dan ketaatan padanya ini
semata-mata hanya pada pribadi masing-masing rakyat (wilayah khashshah).
Artinya, secara umum rakyat tetap diperintahkan taat pada ulama yang lain yang
kebetulan tidak dipilih menjadi pemimpin, disamping taat pada ulama yang
menjadi pemimpin.
Al-Samhudi menyatakan, ulama’ yang
sudah diangkat menjadi pemimpin umat islam ini juga mempunyai hak untuk
memberikan sanksi pada orang yang melanggar hukum semisal dengan takzir, dan
hukum lainya. Karena, pada dasarnya dalam keadaan semacam ini kita diwajibkan
taat pada ulama, termasuk dalam hukuman yang telah diputuskanya. Dan
melanggarnya akan berkonsekuwensi mendapatkan hukuman yang diputuskan ulama’
pemimpin dan pemimpin ulama’ ini.
Pada permulaanya, konsep hukum Islam
dalam bidang hukum muncul pertama kali dilatarbelakangi adanya kewajiban
terhadap penegakan hukum, demi tercapainya keadilan secara menyeluruh.
Penegakan hukum dalam Islam masuk dalam hal-hal yang bersifat fardlu kifayah
. artinya penegakan hukum harus terlaksana oleh siapapun manusianya,
asalkan mampu dan layak untuk menduduki jabatan hukum. Seseorang yangg duduk
dalam jabatan hukum ini haruslah mendapatkan pengesahan dari seorang imam, atau
orang yang menggantikan dan mendapatkan izin resmi dari imam. Dan apabila tidak
ada imam, yang kemudian berhak mengangkat adalah seluruh anggota ahl al-hall
wa al-‘aqd (sekelompok orang yang berwenang dalam pengangkatan dan
pemecatan jabatan publik), atau hanya ditetapkan oleh sebagian dari anggota
lembaga ini dengan catatan disetujui oleh anggota yang lain. Pengangkatan
terhadap ahl al-hall wa al-‘aqd
dalam satu kawasan (iqlim) hukumnya wajib bagi seorang imam dan apabila
tidak ada, maka yang berhak mengangkat adalah orang yang mempunyai wibawa
dimata masyarakat walaupun dia tidak punya perangkat sebagaimana lazimnya
pemerintah yang sah, seperti tentara, alat perang dan sebagainya.
Dalam bidang hukum, apabila sorang imam
mengangkat sulthan atau seseorang yang
mempunyai otoritas kekuasaan mengangkat seseorang yang sebenarnya tidak
layak untuk menduduki jabatan yudisial ini, seperti halnya orang yang masih
dalam taraf taqlid dan bodoh, atau mengangkat orang yang fasik, padahal
ia mengetahui tentang kefasikanya, maka apa yang diputuskan pejabat hukum yang
diangkat ini tidak sah.
Namun, seperti yang telah
diterangkan dalam kaidah kubra ke empat dalam sub kaidah al- dlarurat
tubihu al-mahzhurat pada contoh ketiga, dalam keadaan darurat orang yang
layak untuk menduduki posisi strategis ini, tidaklah harus orang yang mumpuni,
berkapasitas mujtahid, ahli fatwa, adil dan sebagainya.
referensi:
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005 "FORMULASI NALAR
FIQIH Telaah Kaidah fiqh Konseptual"Cet I th. 2005 hal.
84-86
Comments
Post a Comment