Syarat dan Macam-macam Wakaf
Untuk
sahnya suatu wakaf diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Wakaf
harus dilakukan secara tunai, tanpa digantungkan kepada akan terjadinya suatu
peristiwa di masa yang akan datang, sebab pertnyataan wakaf berakibat lepasnya
hak milik seketika setelah wakaf menyatakan
berwakaf. Selain itu dapat diartikan memindahkan hak milik pada waktu terjadi
wakaf itu.
Berbeda halnya dengan wakaf yang
digantungkan kepada kematian wakif. Kasus
ini menurut Ahmad Azhar Basyir, berlaku hukum wasiat. Wakaf baru dipandang
terjadi setelah wakif meninggal dunia
dan hanya dapat dilaksnakan dalam batas sepertiga harta peninggalan. Bila mana
wasiat wakaf itu ternyata melebihi sepertiga harta peninggalan, kelebihan dari
sepertiga harta itu dapat dilakasanakan bila mendapatkan izin ahli waris. Bila semua
ahli waris mengizinkan, dapat dilaksanakan semuanya, namun bila semua ahli
tidak mengizinkan selebihnya sepertiga harta peninggalan menjadi batal, dan bila
ada yang mengizinkan dan ada yang tidak, hanya dapat dilaksanakan dalam batas
bagian mereka yang mengizinkan saja.
2. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya hendaklah wakaf itu disebutkan dengna terang
kepada siapa diwakafkan. Apabila seseorang mewakafkan harta miliknya tanpa
menyebutkan tujuan sama sama sekali, maka wakaf dipandang tidak sah. Misalnya “saya
mewakafkan tanah sawah ini” tanpa menyebutkan kepada siapa tanah sawah itu
diwakafkan, menjadi tidak sah hukumnya. Walaupun begitu, apabila wakif menyerahkan wakafnya kepada suatu
badan hukum, maka badan hukum itu, dapat dipandang sebagai mauquf. Dengan demikian penggunaan harta wakaf tersebut diserahkan
kepada badan hukum yang berwenang mengurusnya.
3. Wakaf
merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh khiyar. Artinya tidak boleh membatalkan atau melangsungkan wakaf
yang telah dinyatakan sebab pernyataan wakaf berlaku tunai dan untuk selamanya.
Selain syarat umum wakaf tersebut, menurut hukum islam ditentukan pula syarat khusus yang harus dipenuhi
oleh orang yang memberikan wakaf dan harta yang diwakafkan, syarat itu adalah:
a. Ada
yang berhak menerima wakaf itu bersifat perseorangan
b. Ada
pula yang berhak menerima wakaf bersifat kolektif/umum, seperti badan-badan sosial
Islam.
Adapun
macam-macam Wakaf sebagai berikut:
1. Wakaf
khairi
Wakaf khairi ialah
wakaf yang sejak semula ditunjukan untuk kepentingan umum, tidak dikhususkan
untuk orang yang-orang tertentu. Definisi ini berdasarkan hadis Umar bin
Khattab tentang wakaf. Hadis tersebut menerangkan bahwa wakaf Umar tersebut
berkepentingan umum, meskipun disebutkan juga tujuan untuk anak kerabatnya. Oleh
karena itu titik tekan agar sanak kerabat Umar jangan sampai tidak turut serta
menikmati hasil harta wakaf dipandang sudah dicakup oleh kata “kepentingan umum”.
Hal ini karena makna “untuk kepentingan umum” itu sebenarnya sudah mencakup siapapun
yang termasuk dalam golongan fakir miskin, baik itu keluarga Umar ataupun bukan
sanak kerabatnya.
2. Wakaf
ahli
Wakaf ahli atau wakaf
keluarga ialah wakaf yang ditunjukan pada orang-orang tertentu seorang atau
lebih, baik keluarga wakif atau
bukan. Wakaf ahli ini dapat dijumpai misalnya wakaf kepada kyai yang
sehari-harinya bertugas mengajar santri-santrinya di pondok pesantren. Atas dasar
kepentingan islam secara umum, maka kyai sebagai penanggung jawab memperoleh
wakaf tanah petanian sari seseorang, kitab-kibat untuk seseorang yang mampu
menggunkannya, kemudian diteruskan kepada cucu-cucunya dan seterusnya.
Wakaf semacam itu dianggap sah, dan yang berhak
menikamati harta wakaf itu adalah mereka yang telah ditunjuk dalam pernyataan
wakaf tersebut. Persoalan yang mungkin timbul adalah apabila anak turun wakif
tidak ada lagi yang mampu menjadi kyai atau tidak ada yang mampu mempergunakan
kitab-kitab wakaf tersebut.
Bila terjadi hal tersebut, dikembalikan kepada adanya
syarat bahwa wakaf tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, dengan demikian
meskipun anak turunan wakif yang
menjadi tujuan wakaf tidak ada lagi yang mampu menjadi kyai atau tidak mampu
mempergunakan kitab-kitab, maka harta wakaf tersebut tetap menjadi harta wakaf
yang dipergunakan keluarga wakif yang
lebih jauh atau dipergunakan untuk kepentingan umu.
Dari pengalaman praktik wakaf ahli, terutama yang berupa
tanah pertanian, setelah melampaui waktu dari generasi ke generasi menjadi
kesulitan melaksanakan sesuai dengan tujuan wakaf semula.
Menghadapi
kenyataan semacam itu di beberapa negara yang dalam persoalan mengurus
perwakafan telah memiliki sejarah panjang, lembaga wakaf ahli itu diadakan
peninjauan kembali. Hasilnya adalah pertimbangan penghapusan lembaga wakaf
ahli. Mesir misalnya, menghapuskan lembaga wakaf ahli dengan Undang-undang (qonun) No. 247 Tahun 1953. Sebelum itu
suriah telah melakukan hal sama pula.
referensi:
DR. Abdul Ghafur Anshori, S.H, M.H."Hukun dan Praktik Perwakafan di Indonesia " (yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005) hal 31-33
referensi:
DR. Abdul Ghafur Anshori, S.H, M.H."Hukun dan Praktik Perwakafan di Indonesia " (yogyakarta: Nuansa Aksara, 2005) hal 31-33
Comments
Post a Comment