Hukum Gadai, ‘Ariyah, Dhaman
Rahn Menurut bahasa berarti tertahan.
Menurut istilah berarti memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang
dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak
sanggup melunasi hutangnya. Atau menjadikan sesuatu benda sebagai jaminan
(Borg) utang dan dapat dijual jika yang menggadaikannya tak membayarnya[1].
Menurut Imam Abu Zakariya
Al-Anshori dalam kitabnya Fathul Wahhab Rahn adalah menjadikan benda yang
bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari
(harga) benda itu apabila utang tidak dibayar[2].
Jadi benda tersebut
fungsinya sebagai jaminan saja dan barang tersebut harus berada pada Murtahin
(yang menerima gadaian) sebagai barang amanat, akan tetapi biaya pemeliharaan
tetap menjadi tanggungan Rahin (yang digadaikan). Maka barang gadaian tidak
boleh diambil manfa’atnya oleh siapapun[3]. Baik
oelh pemiliknya karena barangnya pada murtahin, maupun oleh murtahin Karen
statusnya merupakan barang amanat padanya. Kecuali atas kompromi antara kedua
belah pihak, boleh saja dipergunakan oleh siapapun. Hukumnya boleh. Itu atas
Dasar Firman Allah SWT yang Artinya “….Gadai
yang diterimakan”.
Gadai hukumnya Boleh (jaiz)
menurut Al-Kitab, as-sunnah, dan ijma’[4].
Menurut QS.Al qur’an surat Al Baqarah ayat: 283 yang Artinya: “jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh penggadai). Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya)
dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya”[5].
Sedangkan menurut Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a, yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi kepada
seorang yahudi di madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang
yahudi”.
Ijma ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai. Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab
Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian
saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
B. Rukun Gadai
1.
Orang
yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
2.
Orang
yang menerima barang gadai (murtahin)
3.
Barang
yang dijadikan jaminan(borg/marhun).
4.
Akad(ijab
dan qobul)
5.
Adanya
hutang yang dimiliki oleh penggadai.
C. Syarat Rahn
1.
Sehat
fikirannya
3.
Barang
yang digadaikan telah ada di waktu gadai
4.
Barang
gadai bisa diserahkan/dipegang oleh penggadai.
Namun, Imam Syafi’I mengatakan bahwa syarat syah Rahn
adalah harus ada jaminan yang berkriteria jelas dalam serah terima[6].
Sedangkan Maliki mensyaratkan bahwa gadai wajib dengan akad dan setelah akad,
orang yang menggadaikan wajib menyerahkan barang jaminan kepada yang menerima
gadai[7].
D. Berakhirnya Rahn
Menurut sayyid Sabiq. Hak gadai akan berakhir jika[8]:
1.
Rahin( yang menggadaikan barang)
telah melunasi semua kewajibannya kepada
Murtahin (yang menerima gadai)
2.
Rukun dan syarat Rahn tidak
terpenuhi.
3.
Baik rahin maupun Murtahin
atau salah satunya ingkar dari ketentuan syara’ dan akad yang telah disepakati
oleh keduaya.
2. Pengertian
‘Ariyah
‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal
kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar
zat barang itu dapat dikembalikan.
Sedangkan
Menurut Ittifaq ‘ariyah adalah sunnah, dan orang yang member pinjaman uang
tidak boleh menagih uangnya, sebagain atau seluruhnya sebelum jatuh tempo.Tiap-tiap
yang mungkin diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zat barang itu, boleh
dipinjam atau dipinjamkan. Firman Allah swt:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran.”(Al-Maidah:2)
Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam.
Firman Allah Swt: “Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”(al-Ma’un:
7).
Dalam surat tersebut telah diterangkan beberapa perkara yang tidak baik, diantaranya hubungan bertetangga yang hendak pinjam-meminjam.
Sabda Rasulullah saw: “pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar.”(riwayat Abu Daud dan Tirmizi yang dinilai hadis hasan).
Dalam surat tersebut telah diterangkan beberapa perkara yang tidak baik, diantaranya hubungan bertetangga yang hendak pinjam-meminjam.
Sabda Rasulullah saw: “pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar.”(riwayat Abu Daud dan Tirmizi yang dinilai hadis hasan).
A. Dasar Hukum ‘ariyah[9]
1. Alqur’an
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” Dan di (Q.S Al-Maidah: 2) yang Artinya: “orang-orang yang lalai
terhadap sholatnya (5), yang berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”
2.
Al-Hadits
“Bahwasanya
Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin Umaiyah,
lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari
padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang
dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.
Rasullah
SAW bersabda “Dan Allah selalu menolong hamba-Nya,
selama ia menolong saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)
Dan dari Riwayat Abu Daud dan At-tirmidzi artinya : “Ariyah
(barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
Sedangkan
menurut Hadits Riwayat Al-bukhari artinya : “Siapa yang meminjam harta seseorang
dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang
meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).
B. Rukun ‘Ariyah
a) Mu’ir (peminjam)
b) Musta’ir (yang meminjamkan)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)
d)
Shigat (ijab dan qabul)
1)
Mu’ir
berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak
berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah
baligh, sedangkan ulama lainnya menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan
adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan
anak kecil dan bukan orang bodoh.
2) Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam
berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti
halnya dalam hibah
3) Barang (mu’ar) dapat dimanfaatkan
tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa
ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan
tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,binatang dan
lain-lain.
D.
Berakhirnya
‘Ariyah
1.
Pemberi
pinjaman meminta agar pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena akad peminjaman
tidaklah mengikat, sehingga ia berakhir dengan pembatalan (fasakh).
2.
Peminjam
mengembalikan barang yang dia pinjam.
3.
Salah
satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan diri.
4.
Kematian
salah satu pihak pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.
5.
Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan
harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad karena kedunguan (safah).
6.
Al- Hajr yang disebabkan kebangkrutan
pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan kebangkrutannya, maka dia tidak boleh
mengabaikan manfaat dari harta bendanya dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk
kepentingan para pemberi utangnya.
3. Pengertian Dhaman
Dhoman ialah
jaminan atas beban seseorang yang menjadi kewajibannya/bebannya[10].dhaman
atau jaminan itu mengenai jaminan urusan yang menyangkut pribadi seseorang. seperti
makanannya, pakaiannya dan biaya keluarganya atau yang menyangkut kepada orang
lain. Seperti jaminan jaminan untuk membayar utang seseorang atau sebagainya
atau jaminan untuk menyampaikan tugas seseorang seperti menyampaikan amanat
orang lain kepadanya yang harus disampaikan kepada seseorang lagi. Dalam
pandangan Fiqih Hukumnya Sunnah, dengan catatan mampu serta dapat terjamin dari
amarah pihak yang memiliki hak piutang tersebut[11].
Sabda nabi :”barang siapa mati
meninggalkan utang, akulah yang membayarnya”.
A.
Rukum Dhaman
1.
Ada orang yang menjaminnya(Dhomin)
2.
Ada orang yang
dijaminnya(Madhmun-lah)
3.
Ada utang atau beban yang akan
ditanggungnya(dijaminnya)
4.
Ada barang untuk menjaminnya
5.
Ada ijab qabulcatau ikrar saja dari
yang menjamin.
B.
Objek Dhaman
1.
Beban sepeti piutang atau biaya yang
sudah positif
2.
Beban yang belum positif, seperti
menjamin dengan uang untuk membeli sesuatu.
Dhaman
diperbolehkan hanya bagi persoalan yang bertalian dengan urusan manusia lagi.
Seperti melaksanakan zakat, ongkos sekolah, denda dan sebagainya[12].
Dhaman tidak diperbolehkan bagi urusan ibadah seperti shalat, puasa, dzikir dan
sebagainya dan hukuman badan seperti penjara sebab yang demikian itu mengandung
maksud melatih orang yang bersangkutan atau yang merupakan perbuatan kebaktian
kepada Allah yang wajib dikerjakan oleh setiap hamba-Nya. Sabda Rasululloh SAW:
“ tiada tanggungan bagi hukuman”.
[1] H.Moh.Anwar. Fiqih Islam.Bandung.PT
Al-Ma’rif. Hal. 55
[2] Muhammad Sholikul Hadi. Pegadaian
Syari’ah. Jakarta.SALEMBA DINIYAH. Hal.51
[3] Ibid. 56
[4] Muhammad Sholikul Hadi..hal.51
[5] Ibid. hal. 52
[6] Muhammad Sholikul Hadi..hal.53
[7] Ibid, hal. 53
[8] Ibid. hal 53
[9] Ach. Fiqih kontekstual. Jakarta.
PT.Pertja. hal. 88
[10] H.Moh.Anwar.. Hal. 67
[11][13]
Team kajian ilmiah Ahla
Shuffah103. Kamus Fiqih. Jawa Timur. LIRBOYO Press. Hal261
[12] Ibid., hal. 68
Comments
Post a Comment