FIQIH kaidah ke-15
KAIDAH KE-15
الرخص
لاتناط بالشك
Keringanan
hukum tidak dapat didasarkan pada keraguan
Pada
dasarnya, pemberlakuan dispensasi syariat (rukhshah) bertujuan agar
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada seorang muslim dapat terlaksana
dengan baik. Apabila seorang muslim merasa tidak mampu melaksanakan kewajibanya
karena adanya udzur, seperti sakit atau sedang dalam perjalanan, maka rukhshah
pun dapat diberlakukan dalam keadaan semacam ini. Untuk menentukan apakah
dia sudah berhak mendapat rukhshah atau tidak., maka harus berdasarkan
kemantapan hati, bahwa dirinya memang benar-benar berhak mendapatkan ruskhshah.
Pemberlakuan rukhshah memang harus berdasarkan keyakinan, bukan
keraguan. Keraguan-keraguan yang timbul dalam hati dianggap sebagai penghalang
(mani) pemberlakuan rukhshah, baik pemberlakuan yang berasal dari
diri mukallaf sendiri maupun dari luar dirinya. Karena dengan timbulnya
keraguan, suatu hal tidak dapat dipastikan apakah dia ada atau tidak ada,
apakah boleh dan tidak, atau apakah wajib dan tidak, dsb. Inilah premis dasar
terbangunya kaidah di atas.
PENGERTIAN
SYAK
Dalam kaidah ini terdapat kata syak
(keraguan) yang mengandung banyak penafsiran. Syak dalam pengertian
bahasa berarti keraguan-keraguan secara mutlak, tanpa batas tertentu. Sedangkan
dalam istilah fuqaha, syak adalah keraguan tentang ada atau tiadanya
sesuatau secara seimbang, atau juga dapat berarti keraguan tentang wujud dan
tidak wujudnya sesuatu dengan kadar keunggulan pada salah satu diantara dua
unsur penompangnya.
Secara sederhana, syak dalam
istilah fuqaha tidak membedakan keraguan yang seimbang dan yang tidak seimbang.
Adapun menurut pakar ilmu ushul (ushuliyyin), syak hanya
diartikan sebagai sebuah keraguan yang dialami seseorang dalam keadaan yang
seimbang diantara dua pilihan. Dalam arti syak dapat tergambar pada
orang yang mengalami keraguan antara ia atau tidak, terjadi dan tidak, wujud
dan tidak, sementara hatinya tidak memiliki kecenderungan pada salah satu dari
dua kemungkinan tersebut.
Secara khusus ushuliyyin memaknai
arti keraguan dengan kadar yang tidak sama. Untuk sisi yang dominan mereka
menyebutnya zhan, sementara untuk sisi yang terungguli disebut wahm.
SYAK
DAN WAHM DALAM BAHASA FIQIH
Dalam bab-bab fiqih, sebagian besar syak
dimakanai sebagai keraguan yang seimbang. Syak juga bisa bermakna
keraguan yang diiringi kemantapan pada salah satu diantara dua unsur yang
diragukan. Dengan demikian, syak dalam kitab-kitab fiqh umumnya
mempunyai dua pengertian.
Namun, Ibnu Hajar dalam al-Ubab mengatakan,
fuqaha terkadang membedakan dua jenis keraguan ini. Ibnu Hajar memberikan
contoh; apabila seseorang menyangka (zhanna) bahwa hewan yang
disembelihnya masih mempunyai tanda-tanda kehidupan, maka ia boleh
menyembelihnya. Lain halnya kalau dalam keadaan ragu (syakka) tentang
ada dan tidaknya sisa kehidupan pada hewan tadi, maka ia tidak boleh
menyembelihnya. Dalam contoh ini, sebuah persangkaan yang oleh Ibnu Hajar
dikatakan zhanna ternyata memperbolehkan seseorang melakukan
penyembelihan. Namun jika hanya sebatas keraguan, ia belum dibolehkan melakukan
penyembelihan. Dengan demikian, zhan yang dimaksud di sini adalah zhan yang
mendekati yaqin. Sedangkan syak dalam contoh ini, mungkin dipakai
untuk menunjuk keraguan yang berada dalam posisi rendah atau tharaf marjuh (sisi
yang terungguli). Atau dengan kata lain tidak sampai pada tataran ‘tinggi’ (rajih).
Sedangkan wahm atau tawahhum,
dimaknai sebagai kondisi dimana hati kita berada dalam keadaan ragu dan
tidak mengunggulkan sisi yang terungguli (tharaf marjuh). Bisa pula
diartikan sebagai keraguan yang berposisi rendah, atau antara wujud dan
tidaknya dalam posisi seimbang.
Menurut Umayrah, ketika
mengomentari kitab Minhaj al-Thalibin, wahm dalam kitab ini bukanlah seperti yang
dimaksudkan oleh ushuliyyin (sisi keraguan yang terungguli). Yang
dimaksud dengan wahm adalah seperti yang telah disebutkan di atas. Dan
menurut Qalyubi, yang kurang lebih sama dengan Umayrah, tawahhum adalah
keraguan-keraguan secara mutlak tanpa batas tertentu, yang bisa memasukan keraguan,
walaupun pada sisi yang diunggulkan.
HAKIKAT
SYAK
Dalam pandangan Ibnu Hajar, untuk
menanamkan sebuah keraguan sebagai syak atau tidak, haruslah ada faktor
yang menuntut kearah itu (al-muqtadli). Dengan demikian, apabila ada
keraguan yang dialami seseorang tanpa ada sebab yang mengantarkanya, maka hal
itu tidak dapat dinamakan syak. Demikian juga orang yang tidak ingat
sama sekali terhadap peristiwa yang pernah ia lakukan, hal ini tidak dapat
dikategorikan sebagai syak. Mengutip dari al-Ghazali dalam al-ihya,
syak adalah sebutan bagi dua keyakinan (I’tiqad) yang bertolak
belakang (mutaqabilayn) dan berasal dari latar belakang (sabab)
yang berbeda. Al-Ghazali kemudian
mengkritik fuqaha yang tidak membedakan antara orang yang tidak tahu (la
yadri) dengan orang yang ragu (syakka). Dalam artikulasinya, al-Ghazali
mencontohkan seseorang yang ditanya tentang shalat dzuhur yang dilakukanya
sepuluh tahun yang lalu, apakah berjumlah tiga atau empat rekaat? Dia jelas
tidak dapat memberi jawaban pasti, walaupun masih terbuka kemungkinan untuk
mengingat sekedarnya saja. Jika kemudian ia menjawab bahwa shalatnya empat
rekaat, maka jawaban ini tentu tidak didasarkan pada keyakinan yang sebenarnya;
ia masih ragu, karena ada kemungkinan tiga rekaat. Kemungkinan pelaksanaan tiga
rekaat ini, menurut al-Ghazali, tidak dapat dinamakan syak. Karena
tidak ada (sabab) yang mengantarkanya pada keyakinan (i’tiqad)
bahwa yang dia lakukan adalah tiga rekaat.
STUDI
KASUS
Apabila seorang
musafir telah mengusap muzah sebagai alternatif pengganti membasuh kaki
selama dua hari, kemudian pada hari ketiga dalam dirinya timbul keraguan,
apakah masa pakai basuhan muzah sudah habis atau belum. Dalam kondisi
seperti ini, dia tidak diperbolehkan mengerjakan rukhshah. Artinya, ia
harus melepas muzah-nya dan membasuh kedua kakinya secara bersuci.
Selama keraguan ini masih menyelimuti dirinya, maka pemberlakuan rukhshah yang
berupa kebolehan mengusap muzah sebagai
ganti membasuh kaki tidak diperkenankan lagi baginya. Namun ketika keraguan
sudah tidak ada, ia diperkenankan membasuh muzah kembali.
PENGECUALIAN
1.
Seseorang yang
akan melakukan perjalanan dan masih ragu apakah perjalananya mencapai dua marhalah
atau tidak, lalu ditengah perjalanan ia berusaha memastikan bahwa
perjalananya telah mencapai dua marhalah berdasarkan indikasi tertentu (qarinah),
maka ditempat yang telah mencapai dua marhalah ini, ia diperbolehkan
melakukan qashar dan jama’ shalat. Keraguan yang dialami pada
saat ia akan melakukan perjalanan, tidak mempengaruhi rukhshah yang
diberikan kepadanya. Lain halnya jika ternyata perjalananya belum mencapai dua marhalah,
ia tidak diperbolehkan untuk mengqashar shalat.
2.
seorang makmum yang
masih meragukan niat imam, apakah ia niat mengqashar shalat atau tidak?
Maka shalat makmum tetap sah dan diperbolehkan mengqashar shalat secara
berjama’ah. Artinya, dalam hati makmum berniat hendak shalat qashar, jika
imam juga shalat qashar. Tapi bila imam melaksanakan shalat secara
sempurna, maka ia juga akan melaksanakan secara sempurna. Shalat yang dilakukan
dengan niat masih menggantungkan ini, menurut salah satu pendapat (al-ashah),
tetap sah. Dan jika ternyata imam shalat secara sempurna. Sebab niat makmum
telah sesuai dengan kenyataan yang terjadi (nafs al-amr). Sementara
pendapat kedua menyatakan bahwa, si makmum tidak boleh mengqashar shalatnya,
Karena ia tidak memiliki kemantapan niat. Namun pendapat kedua ini dijawab oleh
pendapat pertama, bahwa keraguan yang ada pada kasus ini masih mendapat
toleransi. Wallahu A’lam
terimakasih sudah membaca artikel saya yang tentang fiqih kaidah ke-15. semoga bermanfaat untuk anda.
referensi:
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005
"FORMULASI NALAR FIQIH Telaah Kaidah fiqh Konseptual"Cet I th.
2005 hal. 315-317
Comments
Post a Comment