Metode Periwayatan Hadits
Dalam periwayatan
sebuah hadits terdapat beberapa metode, terkait dengan materi hadits yang
diriwayatkan (matan), atau dengan model penyadaranya (isnad).
Dalam keterkaitanya dengan materi yang diriwayatkan, pada beberapa model periwayatan
yang pada akhirnya timbul kontroversi diantara para ulama’ teoritisi. Dalam hal
ini, selain terdapat implikasi terhadap status validitas hadits, juga tentu
saja berhubungan dengan implikasi linguistik, karena dalam meninjau kandungan
sebuah hukum, tidak bisa dilepaskan dari hal ini. Beberapa model tersebut
diantaranya:
1.
Periwayatan
dengan menggunakan redaksi hadits yang sama persis apa yang didengar oleh
perawinya. Periwayatan semacam ini merupakan model terbaik, karena seorang
periwayat telah memenuhi apa yang diamantkan kepadanya, menuturkan sesuai apa
yang ia dengar. Kemudian terkait hal ini, hadits yang diriwayatkan kadang kala
berupa dialog tanya jawab, sehingga apabila sebuah jawaban tidak akan bisa
dipahami tanpa disertai penuturan pertanyaan, maka harus menyertakan
pertanyaanya, dan sebaliknya, bila jawaban tersebut bisa dipahami tanpa
menyebutkan pertanyaan, maka bebas menyebutkan jawabanya.
2.
Periwayatan
tidak dengan redaksi asli, tetapi dengan redaksi lain yang memiliki kesamaan
makna. Mengenai boleh tidaknya meriwayatkan sebuah hadits dengan model semacam
ini, terdapat delapan versi pendapat di sebuah diantara ulama dalam
permasalahan ini.
a.
Boleh,
bagi seorang perawi yang memiliki pengetahuan tentang makna-makna lafal. Sedangkan
bagi perawi yang tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini, ia tidak
diperkenankan meriwayatkanya secara makna. Pendapat ini, sebagaimana diklaim
oleh Al- Qadli, merupakan konsensus para ulama’. Meski demikian, masih terdapat
perbedaan pandangan mengenai persyaratanya. Diantara mereka ada yang
mensyaratkan harus dengan menggunakan redaksi yang sinonim (muradif)
dengan redaksi asal, seperti kata julus diganti dengan kata qu’ud
atau sebaliknya. Ada pula yang mensyaratkan kesetaraan jelas tidaknya
penunjukan lafal terhadap maknanya. Atau ada juga pensyaratan bahwa redaksi
yang mereka riwayatkan bikan redaksi paten dalam ritual ibadah (ta’abbud bi
lafzhihi) seperti tasyahhud, Istiftah dan lain sebagainya
b.
Tidak
boleh secara mutlak, dengan demikian kewajiban seorang rawi baik yang
memiliki pengetahuan makna-makna lafal maupun bukan adalah meriwayatkan hadits
dengan redaksi yang sama persis dengan apa yang didengar. Pendapat ini, sebagaimana
dikutip Al-Qadli, dilontarkan oleh mayoritas ulama’ salaf dan ahli hadits.
Versi ini, menurut Al-Syaukani, menyalahi tradisi para periwayat hadits sejak
dahulu, dan sangat sulit untuk direalisasikan. Karena, seringkali ditemukan,
sebuah hadits diriwayatkan secara masal dengan redaksi yang berbedad-beda.
c.
Boleh,
bila redaksi hadits tidak memiliki potensi kontroversi penafsiran. Pendapat ini
diungkapkan oleh sebagian ulama’ Syafi’iyyah, dan pendapat terpilih dari Ilkiya
al-Thabari.
d.
Boleh
apabila perawinya tidak hafal redaksi aslinya. Pendapat ini didukung oleh
Al-Marwadi dan Al-Rauyani.
e.
Boleh
apabila redaksinya menggunakan bentuk amar (kalimat perintah) atau nahi
(kalimat larangan). Sehingga bila redaksi hadits berupa kalam khabar (kalimat
berita), maka tidak diperkenankan meriwayatkanya dengan makna.
f.
Boleh
apabila redaksi hadits merupakan redaksi yang muhkan (penunjuk maknanya
lugas). Apabila menggunakan redaksi yang mujmal (general) atau mustarak
(polisemi), maka tidak diperbolehkan.
g.
Bila
redaksi hadits terangkai dalam susunan kata yang tidak bisa dipahami kalangan
awam kecuali dengan menampilknya secara persis, maka tidak diperbolehkan
meriwayatkanya secara maknawi.
h.
Boleh
apabila dimaksudkan untuk keperluan penyampaian fatwa atau berargumentasi dalam
forum ilmiah. Apabila untuk sekedar periwayatan, maka tidak diperbolehkan.
3.
Periwayatan
dengan membuang sebagian redaksi hadits (elipsis). Dalam konteks ini, apabila
redaksi yang terbuang memiliki keterkaitan secara lafzhiyyah atau ma’nawiyyah
dengan redaksi yang ditampilkan, maka tidak diperbolehkan. Pendapat ini,
sebagaimana diungkapkan oleh Syafi’y al-Hindi dan Ibn Al-Anbari secara bulat
dengan disepakati para ulama’. Wujud dari keterkaitan lafzhiyyah adalah
sebagaimana istitsna’ (ekspresi) kalimat bersyarat (conditional
setense), ghayah (limit), dan sifat. Keterkaitan ma’nawiyyah seperti
makna khash dan amm, muqayyad
dan muthlaq, mubayyan dan mujmal, atau nasikh dan mansukh.
4.
Periwayatan
dengan penambahan pada materi hadits (mudraj). Dalam hal ini, apabila
kata tambahan berfungsi sebagai interprestasi dan penjelasan latar belakang
kemunculan hadits atau makna kandungan hadits, tambahan tersebut dari dirinya
sendiri, sehingga orang lain mengetahui bahwa kata-kata tersebut bukan bagian
dari hadits. Al-Mawardi dan Al-Rauyani memilah, bagi perawi kalangan sahabat
boleh memberikan tambahan sebagai penjelas latar belakang kemunculan hadits,
sedang bagi perawi selain shahabat, hanya boleh memberikan penambahan kata
sekedar sebagai penjelas secara literal.
Selain empat model periwayatan terkait dengan materi hadits
sebagaimana dipaparkan diatas, masih ada beberapa model lagi yang karena katerbatasan
ruang, maka tidak dicantumkan pembahasanya.
Demikianlah, secara umum tidak ada keraguan lagi bahwa al-sunnah
merupakan salah satu sumber hukum syariat. Bila ditilik dari sudut penurutan
logika, posisi al-sunnah berada pada urutan kedua setelah Al-Qur’an, karena
penerimaan terhadap al-sunnah baru bisa dihasilkan setelah penerimaan akan
kebenaran Al-Qur’an. Namun, al-sunnah justru memegang peran amat penting dalam
pembentukan konsep legislasi syari’at. Hal ini karena tatkala Rasul mendapat
mandat sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an, maka kosekwensi logisnya,
al-sunnah sebagai sesuatu yang muncul dari diri utusan Allah itu pun berfungsi
sebagai penjelas Al-Qur’an. “Al-Qur’an lebih membutuhkan pada al-sunnah
daripda kebutuhan al-sunnah akan Al-Quran”, demikian diungkapkan Al-Auza’i.
Karenanya, sangat naif bila seorang muslim mengesampingkan keberadaan al-sunnah
sebagai sendi-sendi pokok ajaran Islam yang menuntunya menuju pada pencerahan
pemikiran dan perbuatan. Dan, sama naifnya pula bila al-sunnah sebagai tuntunan
hidup, tidak secara optimal menjadi porsi dari penekunan bidang keilmuan para
pelanjut mujtahid perawis Nabi saw. Wallahu a’lam.
Referensi:
Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri “Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam” Cet I th. 2004 hal. 72-74
Comments
Post a Comment