Islam dalam Perspektif Sosial
Islam dalam
Perspektif Sosial
I. Pendahuluan
Islam sebagai agama samawi yang datang paling akhir,
berfungsi sebagai petunjuk semua umat manusia, menghilangkan mereka dari
berbagai macam sistem yang gelap zaman jahiliyah, dan menghantarkan mereka
kepada sistem yang terang benderang. Dengan berkembangnya kehidupan manusia yang
semakin kompleks dan dipengaruhi oleh realitas lingkungannya yang berbeda dalam
berbagai masalah, disamping pesamaan juga bisa dilihat dalam masalah yang lain
pula.
Islam sebagai fungsinya harus sesuai dengan segala
perkembangan zaman yang muncul ditengah tengah kehidupan manusia, di mana islam
juga harus bisa memberi dasar dasar wawasan buat masyarakat dalam masalah
masalah yang paling prinsip sekalipun, baik masalah akidah maupun masalah dasar
dasar syariah. Sedangkan manusia dihadapkan pada tugas untuk memahami secara
tepat apa yang diberikan oleh islam, dan manusia di haruskan untuk menjabarkan
dalam kehidupan nyata, ajaran islam islam harus dapat di serap dalam kehidupan
manusia sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamiin.
Dalam hal ini kami mencoba memahami islam tersebut
yang berkembang di tengah tengah masyarakat yang selalu berubah dan berkembang.
Karena masyarakat tidak mungkin dicegah dari perubahan perubahannya dengan
membawa wawasan dan aspirasi, tetapi islam tidak mungkin lepas dari kehidupan
manusia, hal ini menuntut pemikiran yang terus menerus dan berkesinambungan`
II. Pembahasan
Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi
masalah-masalah sosial kemasyarakatan, hendaknya diperhatikan dua dimensinya:
Pertama: dimensi tekstual, artinya
doktrin-doktrin atau nash-nash yang diberikan oleh Islam kepada umatnya melalui
ayat Alquran atau sunnah rasul, juga petunjuk-petunjuk para sahabat nabi dan ulama
melalui karya-karya ilmiah mereka.
Kedua: dimensi kontekstual artinya
yang menyangkut kondisi dan situasi ummat yang menyangkut fenomena sosial yang
dipengaruhi oleh tuntutan waktu dan tempat sehingga menampilkan citra tertentu
terpa Islam.
Dalam kajian Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan
nilai ,tentunya kita semua setuju bahwa memang Islam telah diletakkan konsep
dan doktrin yang memberikan rahmatan lil ‘alamin. Namun sejarah umat Islam kerap
mencatat fenomena sosial yang dialami komunitas ini sebagai kebalikan atau
paling tidak penyimpangan berat dari konsep dasar kemasyarakatan Islam.
Di sini menunjukkan, suatu nilai-nilai normatif itu
pada saat tertentu harus berbenturan dengan realitas sosial yang dipengaruhi
oleh macam-macam tuntutan akan mengalami bahaya distorsi.
Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif,
begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia,
baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial. Hal ini dapat diuraikan
sebagai berikut:[1]
a.
Konsep
kesamaan (al-sawiyyah):
Yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya.
Terjadinya stratifikasi sosial maupun perjenjangan lainnya itu terbentuk karena
proses lain. Satu-satunya perbedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah
ketakwaan.
Konsep ini secara sosiologis membongkar pandangan
feodalisme, baik feodalisme religius, feodalisme kapitalis atau feodalisme
aristokratis. Berapa macam pengkotakan sosial yang seharusnya tumbang dalam
pandangan konsep ini?
b.
Konsep
keadilan (al-‘adālah)
Konsep ini membongkar budaya nepotisme dan
sikap korup baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan kewajiban, bahkan dalam
praktek keagamaan.
Adil termasuk dalam menghadapi masalah keluarga
seperti tercantum dalam QS. al-An’ām (6: 152)
وَلَا تَقۡرَبُواْ مَالَ ٱلۡيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ حَتَّىٰ يَبۡلُغَ أَشُدَّهُ ۥۖ وَأَوۡفُواْ ٱلۡڪَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ وَإِذَا قُلۡتُمۡ فَٱعۡدِلُواْ وَلَوۡ ڪَانَ ذَا قُرۡبَىٰۖ وَبِعَهۡدِ ٱللَّهِ أَوۡفُواْۚ ذَٲلِڪُمۡ وَصَّٮٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ) ١٥٢ (
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih bermanfa’at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat [mu] [1], dan penuhilah janji Allah
[2]. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, (152)
Kebencian kepada suatu kelompok
tidak boleh mengganggu sikap yang adil kepada mereka seperti terkandung dalam QS.
al-Mā’idah (5: 8).
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٲمِينَ لِلَّهِ شُہَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّڪُمۡ شَنَـَٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ) ٨(
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan [kebenaran] karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (8)
Keadilan ini pun harus dilakukan
dalam mengatur hukum perdata; seperti yang tercantum dalam QS. al-Baqarah (2: 282):
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ۬ مُّسَمًّ۬ى فَٱڪۡتُبُوهُۚ وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ ڪَاتِبُۢ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَلَا يَأۡبَ كَاتِبٌ أَن يَكۡتُبَ ڪَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُۚ فَلۡيَڪۡتُبۡ وَلۡيُمۡلِلِ ٱلَّذِى عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُ ۥ وَلَا يَبۡخَسۡ مِنۡهُ شَيۡـًٔ۬اۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيۡهِ ٱلۡحَقُّ سَفِيهًا أَوۡ ضَعِيفًا أَوۡ لَا يَسۡتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلۡيُمۡلِلۡ وَلِيُّهُ ۥ بِٱلۡعَدۡلِۚ وَٱسۡتَشۡہِدُواْ شَہِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِڪُمۡۖ فَإِن لَّمۡ يَكُونَا رَجُلَيۡنِ فَرَجُلٌ۬ وَٱمۡرَأَتَانِ مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّہَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحۡدَٮٰهُمَا فَتُذَڪِّرَ إِحۡدَٮٰهُمَا ٱلۡأُخۡرَىٰۚ وَلَا يَأۡبَ ٱلشُّہَدَآءُ إِذَا مَا دُعُواْۚ وَلَا تَسۡـَٔمُوٓاْ أَن تَكۡتُبُوهُ صَغِيرًا أَوۡ ڪَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦۚ ذَٲلِكُمۡ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقۡوَمُ لِلشَّہَـٰدَةِ وَأَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَرۡتَابُوٓاْۖ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَـٰرَةً حَاضِرَةً۬ تُدِيرُونَهَا بَيۡنَڪُمۡ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَلَّا تَكۡتُبُوهَاۗ وَأَشۡهِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ۬ وَلَا شَهِيدٌ۬ۚ وَإِن تَفۡعَلُواْ فَإِنَّهُ ۥ فُسُوقُۢ بِڪُمۡۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ وَيُعَلِّمُڪُمُ ٱللَّهُۗ وَٱللَّهُ بِڪُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمٌ۬) ٢٨٢(
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah [1] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakan [apa yang akan ditulis itu], dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
[keadaannya] atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya
mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki di antaramu]. Jika tak ada dua orang lelaki, maka [boleh]
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan [memberi keterangan] apabila mereka dipanggil; dan
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak [menimbulkan] keraguanmu,
[Tulislah mu’amalahmu itu], kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, [jika] kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan [yang demikian], maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (282)
Juga dalam masalah pemerintahan
secara luas, antara lain tercantum dalam QS. al-Nisā’ (4: 58):
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَـٰنَـٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦۤۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرً۬ا) ٥٨(
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (58)
Bahkan sikap adil ini, lebih
diprioritaskan daripada al-iḥsān, seperti tercantum dalam QS. al-Naḥl (16: 90):
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِيتَآىِٕ ذِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنڪَرِ وَٱلۡبَغۡىِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّڪُمۡ تَذَكَّرُونَ) ٩٠(
Sesungguhnya Allah menyuruh [kamu] berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran. (90)
Keresahan sosial dan sejarah
peradaban manusia hampir selalu bermuara pada “rasa diperlakukan tidak adil”.
Dan masalah ini lebih rawan daripada rasa kurang makmur, keadilan tersebut menyangkut
keadilan manusia dan harga diri.
c.
Konsep
kebebasan/kemerdekaan (al-ḥurriyyah)
Konsep ini memandang semua manusia pada hakekatnya
hanya hamba tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia.
Berangkat dari konsep ini, maka manusia dalam
pandangan Islam, mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi dalam memilih wilayah
hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agama pun tidak bisa dipaksa, seperti
dalam QS. al-Baqarah (2: 256):
لَآ
إِكۡرَاهَ فِى ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَىِّۚ فَمَن
يَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ
ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٥٦(
Tidak ada paksaan untuk [memasuki] agama [Islam];
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [5] dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (256)
Dan juga terdapat pada QS. Yunus (99):
وَلَوۡ
شَآءَ رَبُّكَ لَأَمَنَ مَن فِى ٱلۡأَرۡضِ ڪُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ
تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ (٩٩(
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu [hendak] memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (99)
Apalagi dalam masalah pengelompokan
politik dan organisasi sosial. boleh saja orang yang dianjurkan mengikuti suatu
kelompok sosial maupun kelompok keagamaan, namun tidak dengan paksaan, sebab
pada hakikatnya memaksa itu hanya wewenang tuhan.
Jika kita mengamati dari sisi kesejarahan, ternyata
kita kerap kali menemukan hal-hal yang berbeda dengan konsep dasar tersebut.
Masalahnya, kerap kali kepentingan politik, ekonomi, dan lain-lainnya
memaksakan agama sebagai justifikasi kepentingan tersebut. Sehingga Islam
menampilkan diri dalam versi pucat dan kurang cerah lagi, Islam kehilangan
wajah aslinya yang tampil pada permukaan sebenarnya adalah wajah
kepentingan-kepentingan tersebut.
Karena adanya pencampuradukan pemahaman orang tentang
realitas kebenaran, dan persepsi manusiawi tentang kebenaran tersebut, sering
orang memandang Islam, seperti apa yang dilakukan oleh umatnya, pada sewaktu-waktu
atau pada suatu tempat.
Mungkin orang melihat Islam itu identik dengan arab
saudi, mungkin orang menyamakan kebenaran Islam dengan pengakuan benarnya
seorang tokoh karismatik. Bahkan mungkin orang menganggap etika orang Islam itu
sama dengan teroris dan pembajak.
Untuk mengembalikan citra Islam agama yang rahmatan lil
‘alamin memang memerlukan
suatu pemikiran yang serius dan rasional. Isu “tajdid” (pembaharuan) yang
selama ini terdengar memang bersumber dari[2]:
Pertama: keprihatinan
teologis karna banyaknya penyimpangan konsepsional dan doktrinal dari Islam
itu sendiri, di tengah-tengah munculnya berbagai interest/kepentingan dan
kemauan-kemauan.
Kedua: keprihatinan struktural, karna realitas sosial Islam jauh diluar
idealisme Islam sendiri. Permusuhan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan
menggejala dalam kehidupan umat Islam. Mana yang namanya rahmatan lil ’alamin?
Ketiga: keterpesonaan pengaruh mitos modernisasi barat yang
terlanjur menjadi kebudayaan masa kini dengan segala akibat dan kebobrokannya.
Tapi masih menjadi idola orang, karna yang lain belum mampu membuktikan
kelebihannya.
Untuk memberi warna yang lebih cerah kepada Islam
sebagai agama rahmatan lil
’alamin, memang
tidak cukup dengan semangat ortodoksi saja, namun juga ada semangat ortopraksi,
yang mampu membawa Islam menjawab kebutuhan nyata yang dihadapi umat manusia
masa sekarang. Islam harus dapat landing ditengah-tengah kebutuhan hidup
manusia modern masa kini dan mendatang. Dan Islam memiliki potensi untuk itu,
tinggal manusia muslimnya ditantang kemampuannya untuk menerjemahkan Islam
dengan segala nilainya agar tetap rahmatan lil
’alamin.
III. Kesimpulan
Jadi untuk mewujudkan islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin
membutuhkan konsep konsep atau teori teori sebagai penunjang dalam keberagaman beragama
sehingga terciptalah islam sebagai agama pembawa rahmat dan kedamaian bagi
seluruh alam. Rasulullah telah memberikan teladan bersikap adil dalam
memperlakukan sesama umat beragama maupun yang berbeda agama.
Dengan demikian semoga tulisan
ini bisa sedikit berkontribusi dalam menjawab tantangan tantangan beragama yang
semakin sulit di negeri ini.
terimakasih sudah membaca artikel saya tentang Islam dalam persektif sosial, semoga bermanfaat untuk anda.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Muhammad Tholhah. 2005. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta: Lantabora Press.
Taher, Tarmizi, 2004, Pluralisme Islam Harmonisasi
Beragam. Jakarta: Karsa Rezeki.
Fanani, Ahmad Fuad, 2004, Islam Maszhab Kritis
Menggagas Keberagaman Liberatif. Jakarta: Kompas
[1] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam
perspektif Sosiokultural, Lantabora Press Jakarta, 2005, hal. 142
[2] Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam
perspektif Sosiokultural, Lantabora Press Jakarta, 2005, hal. 149
Comments
Post a Comment