ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JUAL BELI KAYU GALENDRA
ANALISIS
HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD JUAL BELI KAYU GALENDRA DI DESA SLUKATAN KECAMATAN
MOJOTENGAH KABUPATEN WONOSOBO
Agama,
baik Islam maupun non-Islam, pada esensinya merupakan panduan atau bimbingan
moral (nilai-nilai ideal) bagi perilaku manusia. Panduan moral tersebut pada
garis besarnya bertumpu pada ajaran akidah, aturan hukum (syari’ah) dan budi
pekerti luhur (akhlakul karimah). Tampaklah bahwa antara (Islam) dan ekonomi
terdapat ketersinggungan obyek. Dalam kaitan antara keduanya, Islam berperan
sebagai panduan moral terhadap fungsi produksi, distribusi dan konsumsi.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu mengenai akad jual beli kayu galendra di Desa Slukatan Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo, setelah
diadakan penelitian secara serius dan objektif serta pengumpulan data, dan
selanjutnya juga akan dikolaborasikan dengan hukum Islam, maka diharapkan
nantinya melahirkan sebuah pandangan yang dapat menengahi terhadap persoalan
tersebut.
Maka pada bab ini, penulis akan mengupas tentang bagaimana pandangan
hukum Islam terhadap praktik akad jual
beli kayu galendra, khususnya yang terjadi di Desa Slukatan Kecamatan Mojotengah
Kabupaten Wonosobo, yang nantinya akan menjadi pijakan dalam menetapkan sebuah
kesimpulan dan pada akhirnya juga akan menjadi keputusan dari masalah yang akan
menjadi aspek terpenting pada penyusunan skripsi
ini.
A. Analisis
akad jual beli kayu galendra di Desa Slukatan Kecamatan Mojotengah Kabupaten
Wonosobo
Pelaksanaan
akad pada transaksi jual beli kayu galendra di Desa Slukatan pada umumnya akad jual beli kayu galendra yang terjadi di
Desa Slukatan ini dilakukan dengan cara tradisional. Hal ini sudah menjadi
kebiasaan masyarakat didaerah tersebut. Akad yang terjadi hanya dilakukan
secara lisan antara pihak penjual dan pembeli tidak ada bukti yeng tertulis.
Pembeli juga hanya memperkirakan seberapa banyak kayu galendra
tersebu tidak secara langsung, hanya mengetahui ukuran tanah, dan
memperkira-kirakan besar kayu galendr tersebut, tidak melihat secara langsung
kelokasi kayu galendra yang akan di beli. Penjual juga tidak mengetahui apakah
kayu galendra tersebut banyak yang rusak atau tidak.
Akad jual beli kayu galendra tersebut tidak seperti lazimnya akad
jual beli lainnya yang langsung menimbulkan efek dari terjadinya akad yang
meliputi pembayaran harga dan penyerahan barang. Akan tetapi efek akad jual
beli kayu galendra yang terjadi, melainkan pelaksanaan pengambilan barang sudah di tentukan oleh pembeli, akan
tetapi penebangan kayu galendra tersebut
juga tidak sesuai dengan apa yang telah di tentukan di awal, penebangan kayu
tersebut dalam hal ini pelaksanaan tergantung keinginan pembeli untuk
mengambil barang tersebut.
Secara umum, masyarakat menilai mengenai akad jual beli kayu
galendra di Desa Slukatan tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan, bahkan
menjadi pilihan yang harus dijalani sebagai solusi untuk memperlancar proses
kebutuhan yang lainnya. Akan tetapi, yang menjadi persoalan disini adalah
mengenai waktu penebangannya yang ditangguhkan. Hal itu sangat memberatkan bagi
pihak penjual dan jelas-jelas keluar dari aturan-aturan yang ada karena
mengandung kebathilan,
Pada prakteknya akad jual
beli kayu galendra di Desa Slukatan
ketika orang ingin menjual kayu galendra datang langsung kepada pembeli dan di
situlah terjadi akad antara penjual dan
pembeli. Ketika akad tersebut sudah di jelaskan kapan kayu tersebut akan di
ambil, seperti contoh: Bulan depan kayu tersebut saya ambil, tetapi sesampai
waktu yang di tentukan kayu galendra tersebut belum di ambil bahkan sampai
berbulan-bulan belum di ambil juga, maka dari situlah akad yang sudah di
tentukan di awal tidak sesuai dengan prakteknya.
Dalam KUHPerdata Pasal 1449 di jelaskan perikatan-perikatan yang
dibuat dengan paksaan, kehilafan atau penipuan, menerbitkan suatau tuntunan
untuk membataklkanya.[1]
Dalam KUHPerdata sudah jelas bahwasanya akad yang mengandung unsur kehilafan,
penipuan maka akad tersebut bisa di batalkan selagi orang tersebut masih dalam
keadaan waktu perikatan tersebut di buat. Tetapi di Desa Slukatan tersebut
mengetahui tidak kesesuian akad tersebut ketika sudah berjalanya waktu yang
sudah di tentukan di awal maka jual beli tersebut tidak sah.
B. Pandangan hukum Islam terhadap akadjual beli kayu galendra di Desa Slukatan Kecamatan Mojotengah Kabupaten
Wonosobo
Hukum Islam merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan seseorang
dengan sejenisnya, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, syirkah,
utang piutang, dan hukum perjanjian. Hukum-hukum jenis ini mengatur hubungan
perorangan, masyarakat, hal-hal yang berhubungan dengan harta kekayaan , dan
memelihara hak dan kewajiban masing-masing.[2]
Dalam bidang mu’amalah ini al-Qur’an hanya memberikan prinsip-prinsip
dasar, seperti larangan memakan harta orang lain secara tidak sah dan keharusan
adanya suka sama suka[3],
seperti yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 29,
sebagai berikut:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ
تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ
كَانَ بِكُمْ رَحِيما
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya allah maha penyayang kepadamu”
(Qs. An-Nisa ayat 29).[4]
Islam mengatur umatnya tentang tata cara bertransaksi yang baik
antar sesama. Semua pekerjaan yang dilakukan tidak boleh keluar dari jalur yang
telah ditetapkan, sehingga masing-masing pihak tidak ada yang merasa dirugikan
dan tidak ada yang
merasa menyesal di kemudian hari. Dengan demikian, bertransaksi harus melalui
perjanjian atau yang dikenal dengan akad.
Secara bahasa makna al-‘aqd adalah perikatan, perjanjian,
pertalian, pemufakatan (al-ittifaq). Sedangkan secara istilah definisi akad
adalah
اِرْتِبَاطُ
اِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ اَثَرُهُ فِى الْمَحَلِّهِ
Artinya: “Perikatan
yang di tetapkan dengan ijab-qobul berdasarkan ketentuan syara’nyang berdampak
pada objeknya.”[5]
Maksud dari kalimat “yang sesuai dengan kehendak syari’at adalah
bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap
sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk
melakukan transaksi riba, menipu orang, atau merampok kekayaan orang lain.
Sedangkan maksud dari kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” adalah
terjadinya perpindahan kepemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada
pihak yang lain (yang menyatakan qabul).
Wahbah Az-Zuhayli dalam bukunya Fiqh Islam Wa Adillatuhu
menyatakan bahwa akad yang berkembang dan tersebar dalam terminologi para
fuqaha adalah berhubungnya ucapan salah satu dari dua orang yang berakad dengan
orang lain (pihak kedua) secara syara’ di mana hal itu menimbulkan efeknya
terhadap objeknya.[6]
Berdasarkan pengertian akad di atas, makad jual beli kayu galendra
menggunakan akad mudhaf yaitu akad dimana pelaksanaanya terdapat
syarat-syarat mengenahi penangguhan dalam pelaksanaan akad, pernyataan yang
pelaksanaanya di tangguhkan hingga waktu di tentukan maka perkataan tersebut
sah di lakukan pada waaktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum
tibanya waktu yang telah di tentukan.[7] yakni objek akad tidak langsung diserahkan melainkan masih
di biyarkan terlebih dahulu dengan di tangguhkan, penyerahan atau penerimaan
barang (objek) yang diperjualbelikan.
Menurut imam Hanafi akad mudhaf yang digunakan dalam
penjualan kayu galendra dengan sistem pengambilan
yang di tangguhkan terlebih dahulu di
Desa Slukatan Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo ini masih mengandung akad
gharar yakni dengan menggunakan akad mudhaf, sedangkan dalam jual
beli tidak boleh mepergunakan akad mudhaf tersebut. Disamping itu
akad jual beli tidak menerima penyandaran sama sekali, melainkan selalu
bersifat munjiz yaitu efeknya harus langsung timbul saat itu juga. Apabila
disandarkan pada masa yang akan datang, berarti efeknya tidak langsung timbul
dan itu bertentangan dengan karakter aslinya di dalam syara’.
Disamping syarat-syarat yang berkaitan dengan rukun jual beli yang
telah ditentukan, para ulama’ fiqh juga mengemukakan beberapa syarat lain,
yaitu berkaitan dengan syarat sah jual beli. Para ulama’ fiqh menyatakan bahwa
suatu jual beli baru dianggap sah apabila, jual beli itu terhindar dari cacat,
seperti kriteria barang yang diperjual belikan itu diketahui, baik jenis,
kualitas maupun kuntintasnya, jumlah harga jelas, jual beli itu tidak
mengandung unsur paksaan, unsur tipuan, mudharat, serta adanya syarat-syarat
lain yang membuat jual beli itu rusak.
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa masyarakat Desa Slukatan
melakukan transaksi jual beli kayu galendra yang masih tertanam tanpa langsung
ditebang terlebih dahulu, melainkan penebangannya masih disandarkan pada waktu
yang akan datang dan waktu penebangannya tergantung kehendak pembeli.
Secara umum, masyarakat menilai mengenai akad jual beli kayu
galendra di Desa Slukatan tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan, bahkan
menjadi pilihan yang harus dijalani sebagai solusi untuk memperlancar proses
kebutuhan yang lainnya. Akan tetapi, yang menjadi persoalan disini adalah
mengenai waktu penebangannya yang ditangguhkan. Hal itu sangat memberatkan bagi
pihak penjual dan jelas-jelas keluar dari aturan-aturan yang ada karena
mengandung kebathilan, sehingga akan berdampak pada aspek sosial dan aspek
ekonomi.
Jika kesepakatan bersama harus dicapai, maka yang paling harus
diperhatikan adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan di dalam Islam, tidak
serta merta melakukan kegiatan perekonomian semaunya sendiri.
Karena untuk masalah mu’amalah itu sudah diatur oleh Allah dan
sebenarnya harta itu adalah cobaan (fitnah) yang dapat membawa seseorang ke
jurang neraka sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat at-Taghaabun ayat
15:
إِنَّمَآ
أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥
Artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu),
dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. ( QS. at- Taggabun:15 )[8]
Praktek jual beli kayu galendra ini dalam pandangan hukum Islam
dikenal dengan istilah akad bay‘ul mudhaf yaitu jual beli yang penyerahannya
barang disandarkan pada waktu yang akan datang, dalam hal ini menurut Imam Hanafi harus diserahkan saat transaksi,
karena transaksi itu timbal balik pemilikan dan kepemilikan, serah terima.
Penundaan serah terima hanya menafikan keharusan penyerahan saat transaksi, hal
ini sama saja merubah tuntutan dan tujuan transaksi yang berakibat pada
rusaknya jual beli.
Disamping itu bay‘ul mudhaf merupakan salah satu jual beli
gharar. Sedang transaksi apapun dalam Islam tidak boleh mengandung unsur gharar
baik dari segi shigat jual beli maupun objek jual beli. Seperti larangan Nabi
Muhammad SAW:
وعَنْ
َاَبِى هُرَيْرَةَ رَضِى الله عَنْهُ : نَهَى رسو ل الله صلى الله عليه وسلم عَنْ
بَيْعِ الحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الغَرَرِ. زواه مسلم
Artinya : Dari Abu Hurairah RA. Berkata: Rasulallah SAW. Melarang jual
beli dengan cara melempar batu dan jual beli gharar (belum jelas harga, barang,
waktu dan tempatnya. (HR. Muslim)[9]
Selain itu dari segi rukun dan syarat jual beli kurang
diperhatikan. Adapun rukun jual beli ada tiga yakni aqid (penjual dan pembeli),
ma’qud alaih (obyek akad), shigat (lafadz ijab qabul). Kemudian dilihat dari
segi syarat jual beli yakni aqid (penjual dan pembeli) yang dalam hal ini dua
atau beberapa orang melakukan akad, adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan
rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama bagi orang yang melakukan akad
ialah Baligh atau berakal, praktek akad jual beli kayu galendra di Desa Slukatan
sudah mengetahui pihak yang melakukan ijab dan qabul sudah baligh, akan tetapi
dalam prakteknya pihak yang satu dengan yang lain hanya mementingkan
kepentingan individu. Pembeli mementingkan keuntungan yang diperoleh sedangkan
penjual mementingkan kebutuhan yang segera terpenuhi, yang kedua yakni shigat
dan ma’qud alaih (obyek akad), obyek akad meliputi barang yang ada dalam akad
adalah suci, dapat dimanfaatkan secara syar’i, mampu menyerahkan barang yang
dijual, mempunyai kuasa terhadap barang yang akan dijual, mengetahui barang
yang dijual baik zat, jumlah, dan sifat, kemudian dari segi sighat sudah
memenuhi persyaratan dalam hal ini praktek jual beli kayu galendra di Desa Slukatan sudah memenuhi persyaratan
jual beli.
Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa, dengan adanya praktek akad
jual beli kayu galendra berakibat pada
ruginya penjual dan sebaliknya pembeli sangat diuntungkan. Penjual kehilangan
hak atas tanah yang dimiliki, ia bisa mengelola tanah miliknya kembali setelah kayu
yang tumbuh diatasnya sudah ditebang.
Untuk menggarap tanah sendiri penjual kayu harus menunggu
ditebangnya kayu yang telah diperjualbelikan. Tidak ada hak bagi penjual untuk
menebang kayu tetapi mempunyai hak untuk mengambil daunya untuk mengambil
daunya sebagai pakan ternak kambing tersebut, sedangkan yang memiliki hak penuh
kayu tersebut adalah pembeli. Penjual yang sekaligus pemilik tanah tidak
berkuasa terhadap tanah miliknya, hal ini dimungkinkan adanya reaksi negatif
sebagai akibat dari adanya jual beli yang memberatkan satu pihak. Yang jelas
ketika kebutuhan hidup sehari-hari telah menuntut untuk segera dipenuhi,
sementara tidak ada lagi sumber pendapatan selain dari hasil tani, tentunya
dengan banyak cara mereka lakukan. Kalau yang mereka lakukan masih tidak keluar
dari garis-garis Allah, hal itu tidak dipermasalahkan. Tetapi hal-hal yang
sangat tidak diinginkan itu juga akan menjadi solusi bagi mereka untuk keluar
dari kesengsaraan. Misalnya, mencuri, merampok, korupsi dan tindak kejahatan
yang lain yang kesemuanya itu merupakan larangan dari agama Islam.
Hal ini terjadi karena adanya perampasan hak-hak dari orang-orang
yang berjiwa kapitalis. Mereka hanya mementingkan ekonomi mereka sendiri tanpa
memikirkan saudaranya yang merasa diinjak-injak dan dirampas haknya. Nabi Muhammad
SAW Bersabda:
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنِ
اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ،
وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا
يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ» .(روه مسلم)
Artinya: Dari Abi Umamah. Sesungguhnya Rasulallah SAW, bersabda “barang
siapa yang mengambil haknya seorang muslim dengan tangannya, maka Allah
mewajibkan akan orang itu masuk kedalam neraka dan mengharamkannya masuk
kedalam su rga.Sahabat bertanya “jika yang diambil itu sedikit ya Rasulallah?
Nabi menjawab “sekalipun barang itu hanyalah sepotong tongkat dari kayu arak”(HR.Muslim)[10]
Melihat latar belakang hadis diatas, bahwa merampas hak seseorang
tanpa seikhlas pemiliknya itu dilarang oleh Nabi. Jika dikaitkan dengan akad
jual beli kayu galendra dengan sistem penebangan di biarkan terlebih dahulu,
sudah jelas tidak boleh atau dilarang. Sebab, mereka para penjual kayu itu
tidak dapat menggunakan haknya secara maksimal karena sebagian haknya masih
ditunggaki oleh para pembeli. Hal ini dapat diambil pelajaran tentang keharaman
mengeksploitasi dan diskriminasi terhadap orang lain, yang jelas-jelas tidak
diperbolehkan dalam Islam, dalam hadist disebutkan:
قَالَتْ
عَائِشَةُ: يَا أَبَا سَلَمَةَ اجْتَنِبِ الْأَرْضَ فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ ظَلَمَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ (رواه
احمد)
Artinya: Wahai Abu Salamah!, jauhilah tanah tersebut! karena,
Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: 'Barang siapa yang
berbuat zhalim sejengkal tanah saja maka pada hari kiamat akan dibebankan tujuh
bumi kepadanya'” (HR. Ahmad)[11]
Dari hadist-hadist di atas, akan semakin jelas kepada kita
mengenai memindahtangankan hak orang lain tidak seizinnya atau dengan cara
dzalim itu angat dilarang dan diharamkan dalam Islam. Dalam salah satu
pandangan hadist tadi menerangkan terhadap orang yang melakukan hal tersebut
hingga Allah mewajibkan masuk neraka dan mengharamkan masuk surga. Betapa luar biasanya
Allah memurka perlakuan yang dzalim dan diskriminatif itu.
referensi:
[1] Subekti dan Tjitrosudibio,
Kitab Undang-Undan Perdata (
Jakarta : Prandnya Paramita, 2009 ), hal 364
[2] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh , Ed. 1 .
cet 5 ( Jakarta: Kencana, 2011 ), hal. 333
[3] Qomarul huda. Fiqh Muamalah,cet 1,( jogjakarta:
teras jogjakarta.2011), hal. 45
[4] Qs. An- Nisa (29): 4
[5] Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Waa Adhilatuh, juz 4 ( Damaskus: Dar
al-Fikr al- Mu’ashirah, 1988 ), hal 2918
[6] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 51
[7] Ibid hal 33
[8] QS. at- Taggabun (15):
[9] Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz
al Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya
At-Turats Al-'Arabi, t.t), hadits nomor 1513, juz 3, hal. 1513.
[10] Ibid,
hadits nomor 137, juz 1, hal. 122.
[11] Abu
‘Abdillah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad, (Beirut:
Muassasah Ar-Risalah, 2001), hadits 26223, juz 43, hal. 281.
Comments
Post a Comment