Garansi dalam persepektif fiqih
Garansi dalam persepektif fiqih
Seiring dengan tuntutan global, dunia perdagangan
semakin gesit untuk mencari pangsa pasar yang strategis, tentunya dengan
formula penawaran produk yang bervariasi salah satunya dengan cara penjualan
dengan sistem garansi (jaminan kerusakan barang) yang semakin bermacam-macam
praktik dan pilihanya. Karena sistem ini disarankan membantu masyarakat dalam
mendapatkan hak dan jaminan konsumen, maka perlu ada kejelasan hukum lebih
lanjut.
A.
BEDAH TAFSIR
Al
qur’an telah menggariskan tatanan interaksi dalam hubungan sosial, terutama
mengenai segala bentuk perjanjian. Allah berfirman dalam QS al-maidah ayat 1: yang artinya:“wahai orang-orang yang beriman, penuhilah
janji-janji (aqad) itu”.
Tafsir ayat diatas menerangkan tentang
keharusan bagi seluruh umat manusia untuk selalu menepati janji dalam setiap
proses negoisasi berbagai hal. Redaksi al-aqd
adalah sinonim dengan al-ahd (janji). Kedua kata tersebut
mempunyai konsekuensi dan esensi yang sama, yakni keduanya mempunyai tanggung
jawab atas apa yang telah disepakati. Ibnu Abi Hatim menjelaskan bahwa ayat
tersebut menceritakan perjanjian Rasulullah dengan Amr bin Hazn ketika beliau
mengutusnya kenegara yaman dalam rangka dakwah. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid dan
yang lainya, ungkapkan al-uqud sama
dengan al-uhud, dengan arti melakukan
transaksi dengan bentuk perjanjian, sumpah dan lain-lain. Dalam pandangan Ali
Bin Abi Thalhah, arti kata al-uhud adalah
selalu konsisten dan loyal terhadap ketentuan syariat. Sedangkan versi Zaid Bin
Aslam, manifestasi aufu bi al-uqd dapat
mencangkup enam hal, perjanjian dengan Allah, akad half (sumpah), akad syirkah (kongsi), akad ba’i (jual beli), akad nikah dan akad yamin.
Dalam kesempatan yang lain, Allah juga
menerangkan tentang riba sebagai sebagai simbol dari praktek transaksi yang
dipastikan akan berdampak buruk serta merugikan. Dalam QS. Al-Baqarah: ayat
275, Allah berfirman tentang kontradiktif antara jual beli dan riba. Yang artinya: “orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan
lantaran (tertekan) penyakit gila. Keadaan yang demikian itu adalah disebabkan
mereka berkata “sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Sebenarnya
riba adalah budaya yang telah lama berlaku dikalangan pemeluk agama selain
Islam, bahkan laranganya juga jelas termaktub dalam kitab-kitab terdahulu.
Meskipun riba terdapat sisi kesamaan dengan shadaqah
dalam cacatan sebagai bentuk pengalihan kepemilikan tanpa kompensasi, namun
hukum yang berlaku berbeda, karena dominannya kontradiktif antara riba dan shadaqah. Riba merupakan prosedur penghimpunan
harta, namun dengan nuansa larangan dari syariat, sedangkan shadaqah
adalah pengalokasian (pengurangan)
harta, tetapi atas anjuaran syariat.
Dijelaskan
juga mengenai dampak negatif maupun positif dari riba dan shadaqah. Meskipun mungkin saja dampak yang terjadi dalam keduanya
merupakan janji balasan di akhirat,
namun mungkin juga hal itu dapat kita lihat realitanya mulai di dunia. Misalkan,
dampak negatif riba di dunia diantaranya:
1.
Kemiskinan
yang sering terjadi, setelah menikmati kemewahan dari harta hasil riba
2.
Perubahan
perilaku dan kejiwaan dari perilaku riba dengan hilangnya perasaan kepedulian
pada sesama serta terkikisnya nilai kejujuran dalam dirinya.
3.
Hilangnya
kepercayaan masyarakat atas mereka yang melakukan praktek riba. Atau yang lebih
parah.
Lebih
parah lagi di akhirat, segala amal kebajikan terutama haji, sedekah, jihad dan
silaturahim, tidak akan diterima. Dan pada akhirnya surga akan sulit diraih.
Dalam shadaqah, nilai positif di
dunia akan terlihat dari beberapa realita, diantaranya:
1.
Hidupnya
akan dijamin sejahtera oleh Allah.
2.
Mendapat
nilai plus di tengah masyarakat, karena perilakunya yang terpuji.
3.
Doa
kaum dlu’afaa selalu menyertai, serta
terjaminya keamanan harta dari ulah oknum tak bertanggungjawab
B.
URAIAN FIQH HADITS
1.
Prinsip umum transaksi
Dalam
prinsip transaksi, islam menggariskan sebuah prinsip umum tentang kebebasan
individu untuk melakukan hubungan jual beli yang akhirnya digunakan standar
untuk mengatur semua model transaksi dalam syariat. Dalam sebuah hadits nabi yang Artinya:”sesungguhnya transaksi jual beli itu harus
didasari dengan ridla (saling merelakan) dari kedua belah pihak.”
Dari
hadits inilah, mayoritas ketentuan dalam syariat dicetuskan. Mulai dari
diberlakukanya ijab qobul, syarat
rukun dan beberapa ketentuan lain yang pada prinsipnya adalah sebagai
antisipasi “ketidakrelaan” dari masing-masing pihak yang bertransaksi. Dalam
pengertian, hal itu sebagai indikator telah adanya kerelaan dari masing-masing
pihak. Sehingga, wajar hingga jika vonis hukum syariat menetapkan hukum
transaksi tanpa syarat rukun, ucapan serahterima atau tanpa menetapi syarat
adalah tidak syah. Pasalnya, dalam masalah ini kerelaan yang menjadi kunci
utama tidak bisa terwujud, lantaran tidak ada indikasi lahiriah yang
mempresentasikan makna “kerelaan” dalam transaksi tersebut.
2.
Beberapa hal yang lazim terjadi dalam transaksi
A.
Jaminan kerusakan barang
Dalam hal ini yang sering kita
kenal sebagai jaminan yang legal dalam syariat adalah al-khiyar, yakni hak untuk membatalkan ataupun meneruskan sebuah
transaksi. Dalam mayoritas literatur, hak ini biasanya terbagi menjadi tiga
bentuk.
Pertama,
khiyar majelis, yakni hak pilih yang diberikan pada
saat berada di arena transaksi. Berdasarkan sebuah hadits nabi
Artinya; “dua orang yang melakukan transaksi (masing-masing) dari mereka
mempunyai hak memilih selama sebelum berpisah”.
Kedua, khiyar
al-syarth, atau hak pilih yang diminta oleh salah
satu pelaku transaksi dengan bentuk tenggang waktu maksimal tiga hari. Dalam
HR. Baihaqi, disebutkan.
Yang Artinya: “hak khiyar hanya untuk masa tiga hari saja”
Ketiga, khiyar ‘aib, yaitu
hak pilih dikarenakan ada cacatan pada barang. Tedensi penetapan khiyar ini berdasarkan atas kisah
sahabat nabi yang membeli budak, namun kemudian menjumpai kekurangan (‘aib)
pada budak itu. Dan akhirnya dia mengembalikan pada penjual, padahal banyak
manfaat yang sudah didapatkan dari budak itu. Terjadilah protes dari penjual
yang menginginkan ganti rugi kemanfaatan yang diperoleh sahabat tadi. Kemudian
sabda nabi yang Artinya:
“penghasilan adalah sebanding dengan
bahan yang harus ditanggung”.
Dalam
pemahamam, manfaat yang telah diperoleh pembeli sebelum pengembalian barang
adalah menjadi haknya. Dengan alasan, hal itu sebagai imbal balik dari beban
kerusakan yang ditanggung pembeli pada saat barang berada di tanganya.

B.
IKATAN DALAM NEGOISASI
Dalam
transaksi, terkadang muncul kesepakatan maupun permintaan dari salah satu
pihak. Namun yang perlu dipertanyakan adalah legalitas ikatan semacam itu.
Karena dalam transaksi Islam, kebebasan bertransaksi sangatlah dijunjung tinggi. Dengan bukti,
tidak diperkenankanya transaksi dengan dilatarbelakangi intervensi pihak lain
jika hal itu tidak dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan. Berawal dari
sebuah sabda nabi yang Artinya:
sesunngguhnya nabi s.a.w telah melarang
transaksi jual beli yang bertentangan dengan syariat.
Dari
hadits ini muncul pandangan sebagai ulama yang menganggap ikatan dalam setiap
transaksi, terutama berupa syarat dari salah satu pihak adalah tidak benar.
Namun, sebagian yang lain menganggap hal itu sah saja terjadi dalam sebuah
transaksi. Mereka memandang, masih banyak reverensi hadits lain yang
menyebutkan praktek berbeda yang dilakukan oleh nabi dan seharusnya hal ini
tidak menganggu kebebasan bertransaksi. Pendapat ini dilontarkan mayoritas
ulama Hanabillah, terutama dari ibnu taimiyah dan Ibn Qayyim, dengan mendasari
argumenya sebuah hadits tentang transaksi Nabi kepada jabir. Yang Artinya:
“sesungguhnya beliau nabi saw pernah
membelui seekor unta pada Sahabat Jabir bin Abdullah dalam suatu perjalanan,
dan beliau menyaratkan pada Jabir untuk menungganginya dan membawakan barangnya
diatas unta tersebut menuju Madinah”.
Mereka
mengatakan asal, dari semua ikatan (syarat) adalah diperbolehkan, baik dalam
transaksi berbentuk pertukaran harta (al-muawadlah
al-maliyah ), pelayanan(al-‘uqud
al-tabarru’at) dan bebagai bentuk
jaminan secara umum (al-tautsiqaat)
maupun khusus (al-ta’miniyat) seperti
dengan sejenis asuransi dan lain sebagainya. Dengan satu catatan, harus
berdampak positif pada kedua pihak. Legitimasi syarat yang disebutkan dalam
transaksi ini akan memberikan konsekuensi, pelaku transaksi mempunyai wewenang
membatalkan (faskh) transaksi jika
salah satu pihak tidak mampu memenuhi syarat yang telah telah dijanjikan.
Mereka hanya menyepakati dua macam ikatan (syarat) yang tidak diperkenankan,
yakni, syarat yang menyalahi prinsip dasar transaksi dan syarat yang dilarang
syariat atau berseberangan dengan hukum allah dan rasuln-NYA. Versi lain
menyebutkan pemilahan dalam ikatan (syarat) yang terjadi dalam sebuah
transaksi. Mereka bertendensi dari hadits tentang pembatalan syarat oleh Nabi
sewaktu ‘Aisyah menginginkan untuk membeli budak yang bernama Barirah. Dari
hadits ini mereka mengambil kesimpulan bahwa transaksi semacam itu tetap sah.
Rumusan akhir fiqh
melakukan transaksi dengan akad jual beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita pada umumnya, bisa saja dilakukan dengan mudah yakni tidak perlu repot-repot mengucapkan ijab qobul sebagaimana yang sering disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Karena dalam transaksi jual beli, pada intinya hanya diharuskan ada unsur Sali9ng merelakan (‘an taradlin ). Maka sah hukumnya praktek seperti, membeli rokok, kopi, dan lain-lain yang terkadang tidak disertai ungkapan apapun. Transaksi model seperti ini disebut dengan ba’imu’athah (take and give)
seringkali kita temukan model transaksi yang disertai dengan jaminan garansi, terutama pada barang-barang jenis elektro. Garansi ditawarkan produsen untuk menunjang efektivitas pemasaran produk pabrik dengan standar target konsumen yang terjangkau. Ini menjadi fenomena yang menarik dalam kancah persaingan global. Pangsa pasar merangsang tuntunan tersendiri bagi produsen untuk lebih mengoptimalkan tawaran garansi dengan tingkat efektivitas yang relatif tinggi. Hal tersebut berakibat banyaknya model garansi dengan identifikasi format yang berbeda-beda. Garansi secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Produk-produk sederhana
Untuk menawarkan produk jenis ini, produsen berani menjamin dengan penggantian barang secara optimal.
b. Produk menengah ke atas
Jaminann yang ada dalam produk-produk ini sangat bervariasi, ada jaminan perbaikan (service), penggantian suku cadang dan ada juga yang berani menawarkan tanggungjawab fasilitas selama masa reparasi, seperti peminjaman mobil. Pada umumnya mereka tetap memberikan ketentuan-ketentuan seperti waktu, batas pemakaian dan lain-lain.
Untuk menyikapi persoalan diatas, literatur fiqih kita berbicara dari berbagai sudut pandang, diantaranya;
1. Garansi adalah sebuah fasilitas yang btercantum dalam pembelian suatu produk (al-Syartth fi al-ba’i).
2. Garansi secara lazim adalah jaminan dengan beberapa batas ketentuan, diantaranya, batasan waktu (al-muddah), pelayan (al-amal). Dan jaminan tersebut masih berlaku, seandainya kepemilikan barang berpindah kepada orang lain.
Dari beberapa persepektif ini dapat kita katakan bahwa garansi adalah sah menurut sebagian ulama hanafiyah dan hambaliyah. Namun tentunya kita masih terbentur dengan persyaratan taqlid yang begitu ketat. Meskipun ada sebagian ulama memberikan ruang gerak yang sangat leluasa, akan tetapi seyogyanya kita konsisten dengan kejujuran intelektual kita, seperti disinggung al-Ghazali dalam sebuah maqalah-nya (dan mintakan hatimu untuk berfatwa) Akhirnya, demi kemaslahatan umat solusi dalam model garansi, sebaiknya pembaca mengkategorikanya sebagai sekedar al-wa’du (kesediaan produsen untuk memberikan pelayanan kepada pembeli). Atau juga bisa dianggap sebagai al-nadzar (kesanggupan produsen untuk memberikan kepuasan kepada konsumen).
Rumusan akhir fiqh
melakukan transaksi dengan akad jual beli yang biasa dilakukan oleh masyarakat kita pada umumnya, bisa saja dilakukan dengan mudah yakni tidak perlu repot-repot mengucapkan ijab qobul sebagaimana yang sering disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Karena dalam transaksi jual beli, pada intinya hanya diharuskan ada unsur Sali9ng merelakan (‘an taradlin ). Maka sah hukumnya praktek seperti, membeli rokok, kopi, dan lain-lain yang terkadang tidak disertai ungkapan apapun. Transaksi model seperti ini disebut dengan ba’imu’athah (take and give)
seringkali kita temukan model transaksi yang disertai dengan jaminan garansi, terutama pada barang-barang jenis elektro. Garansi ditawarkan produsen untuk menunjang efektivitas pemasaran produk pabrik dengan standar target konsumen yang terjangkau. Ini menjadi fenomena yang menarik dalam kancah persaingan global. Pangsa pasar merangsang tuntunan tersendiri bagi produsen untuk lebih mengoptimalkan tawaran garansi dengan tingkat efektivitas yang relatif tinggi. Hal tersebut berakibat banyaknya model garansi dengan identifikasi format yang berbeda-beda. Garansi secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Produk-produk sederhana
Untuk menawarkan produk jenis ini, produsen berani menjamin dengan penggantian barang secara optimal.
b. Produk menengah ke atas
Jaminann yang ada dalam produk-produk ini sangat bervariasi, ada jaminan perbaikan (service), penggantian suku cadang dan ada juga yang berani menawarkan tanggungjawab fasilitas selama masa reparasi, seperti peminjaman mobil. Pada umumnya mereka tetap memberikan ketentuan-ketentuan seperti waktu, batas pemakaian dan lain-lain.
Untuk menyikapi persoalan diatas, literatur fiqih kita berbicara dari berbagai sudut pandang, diantaranya;
1. Garansi adalah sebuah fasilitas yang btercantum dalam pembelian suatu produk (al-Syartth fi al-ba’i).
2. Garansi secara lazim adalah jaminan dengan beberapa batas ketentuan, diantaranya, batasan waktu (al-muddah), pelayan (al-amal). Dan jaminan tersebut masih berlaku, seandainya kepemilikan barang berpindah kepada orang lain.
Dari beberapa persepektif ini dapat kita katakan bahwa garansi adalah sah menurut sebagian ulama hanafiyah dan hambaliyah. Namun tentunya kita masih terbentur dengan persyaratan taqlid yang begitu ketat. Meskipun ada sebagian ulama memberikan ruang gerak yang sangat leluasa, akan tetapi seyogyanya kita konsisten dengan kejujuran intelektual kita, seperti disinggung al-Ghazali dalam sebuah maqalah-nya (dan mintakan hatimu untuk berfatwa) Akhirnya, demi kemaslahatan umat solusi dalam model garansi, sebaiknya pembaca mengkategorikanya sebagai sekedar al-wa’du (kesediaan produsen untuk memberikan pelayanan kepada pembeli). Atau juga bisa dianggap sebagai al-nadzar (kesanggupan produsen untuk memberikan kepuasan kepada konsumen).
Terimakasih
sudah membaca artikel saya tentang Garansi dalam persepektif fiqih. Semoga bermanfaat untuk anda
Referesensi:
Team
Pembukuan Manhaji PURNA SISWA 2003 MHM Lirboyo Kota Kediri dkk “paradigma
riqih masail konstektualisasi hasil batsul masail”Cet.III th. 2005. Hal.
117-124
Comments
Post a Comment