fiqih kaidah-34
KAIDAH-34
الاشتغال
بغيرالمقصوداعراض عن المقصود
Melakukan aktifitas selain yang dimaksud berarti “berpaling”
darinya
Berpaling dari orang lain adalah bahasa tubuh yang menunjukan rasa
tidak suka, acuh tak acuh, antipasti, dan sebagainya. Dalam tataran hukum
formal, “berpaling” dalam tanda kutip dapat berupa ketidaksiagapan seseorang
dalam menyikapi masalah yang sedang ia hadapi. Begitu ia tidak mengambil sikap
yang seharusnya ia lakukan, ia sudah dianggap “berpaling” dari apa yang
sebenarnya menjadi tujuan awalnya. Yang dimaksud “berpaling” disini adalah
tidak menghiraukan apa yang sebenarnya menjadi tujuan awal pekerjaanya. Dengan
tidak adanya kesigapan dan tidak hirau, dalam tatanan hukum (de jure),
ia telah dianggap tidak memperdulikan apa yang seharusnya menjadi haknya.
IMPLIKASI AKIDAH
Dengan memahami
esensi akidah ini, kita akan mengerti bahwa seorang yang bersumpah: “ demi
allah, saya tidak akan menetap dalam rumah ini”, secara eksplisit kata-kata ini
akan dianggap bahasa tingkah laku yang menunjukan keinginanya untuk segera
keluar dari rumah. Dengan demikian, ketika dia tidak segera keluar, dia
dianggap telah “berpaling” (i’radl) dari apa yang dimaksud dalam
sumpahnya. Dan dengan itu pula, ia dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah, ketika ia berada dalam rumah pada saat ia bersumpah.
Contoh kasus yang
masih berada dalam naungan kaidah ini
juga terdapat dalam aqad syuf’ah (jawa; ngejoki rego), yang dilakukan
pada sebidang tanah yang dimiliki oleh dua orang, untuk kemudian salah satunya menjual
separuh tanah yang menjadi bagianya kepada orang lain tanpa sepengetahuan rekan
lamanya (syarik qadim), padahal rekan lamanya itu lebih berhak
membelinya daripada orang lain.
Setelah syarik
qadim mengetahui penjualan tersebut, dia diperbolehkan memilikinya dengan mengganti harga jual tanah kepada
pihak pembeli (syarik hadits), namun dengan cacatan tidak ada penundaan
proses penggantian harga tersebut (fawran). Artinnya, ketika si syarik
qadim sudah bertemu dengan pihak pembeli, maka ia harus segera menyampaikan
maksudnya untuk melakukan syuf’ah. Dengan demikian, jika syarik qadim
berkata kepada pembeli (syarik hadits);” apakah yang kamu beli itu
murah?, “maka perkataanya ini menyebabkan hilangnya hak syuf’ah yang ia
miliki. Dengan perkataan ini dia dianggap “berpaling” dari tujuan semula untuk
melakukan akad syuf’ah,karena ia tidak bersegera menyampaikan maksudnya
melakukan akad syuf’ah.
Contoh lainya
adalah orang yang menemukan barang-barang yang dinilai kurang berharga (muhaqqarat),
seperti remukan roti. Setelah orang tersebut menemukanya, kemudian ia
“berpaling” dan tidak mengambilnya. Nah, bagaimanakah jika ada orang lain yang
mengambil remukan roti itu. Jika menilik substansi kaidah ini, maka orang
pertama yang “berpaling” itu haknya menjadi gugur, dan orang kedua boleh
mengambilnya remukan roti tersebut.
Contoh lain,
seperti barang yang tidak dinilai sebagai harta benda dalam pandangan fiqh,
seperti seseorang yang membuang arak. Apabila kemudian ada orang lain yang mengambilnya dan setelah beberapa waktu
arak itu berubah menjadi cuka; barang yang dalam pandangan syariat mempunyai
nilai nominal harga dan berstatus terhormat, maka orang pertama yang telah
membuang arak ini tidak berhak mengambil kembali arak yang telah berubah menjadi cuka ini. Haknya menjadi
gugur akibat pembuangan yang ia lakukan.
BATASAN “BERPALING”
Secara cerdas,
al-Zarkasy membagi i’radl ini menurut tinjauan jenis kepemilikan.
Menurutnya, jika status kepemilikan seseorang adalah kepemilikan yang menetap (lazim),
maka kepemilikan ini tidak gugur disebabkan “berpaling”. Seperti halnya ucapan
salah satu diantara dua orang anak yang memiliki hak warisan; “ Aku tidak akan
mengambil bagianku”, maka ke-berpaling-an semacam ini tidak menggugurkan hak
warisannya. Sebab apa yang seharusnya ia warisi merupakan hal yang bersifat
tetap (lazim). Kecuali jika ia berkeinginan untuk menggugurkan haknya,
dan yang ingin dimilikinya adalah warisan berupa uang, maka harus ada
serahterima antara dirinya dan orang yang akan menggantiakan posisinya sebagai
penerima warisan; tidak hanya ungkapan bahwa ia tidak akan mengambilnya,
seperti yang terjadi dalam kasus ini. Jika yang dimilikinya berupa hutang, maka
harus ada proses pembebasan hutang (ibra’); tidak hanya sekedar ungkapan
bahwa ia tidak akan ditagih, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Jika dicermati
dengan seksama, contoh yang diajukan al-Zarkasy di muka agaknya merupakan
pengecualian (mustatsnayat) dari kaidah yang sedang kita kaji saat ini.
sebab didalamnya tidak terjadi pengguguran hak walaupun pemiliknya “berpaling”.
Wallahu a’lam.
terimaksih sudah membaca artikel saya tentang fiqih kaidah-34. semoga bermanfaat untuk anda
referensi;
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005 "FORMULASI NALAR FIQIH Telaah Kaidah fiqh Konseptual"Cet I th. 2005 hal. 315-317
Comments
Post a Comment