fiqih kaidah-34



http://rumahsantry.blogspot.co.id/2017/03/fiqih-kaidah-34.html

KAIDAH-34
الاشتغال بغيرالمقصوداعراض عن المقصود
Melakukan aktifitas selain yang dimaksud berarti “berpaling” darinya

Berpaling dari orang lain adalah bahasa tubuh yang menunjukan rasa tidak suka, acuh tak acuh, antipasti, dan sebagainya. Dalam tataran hukum formal, “berpaling” dalam tanda kutip dapat berupa ketidaksiagapan seseorang dalam menyikapi masalah yang sedang ia hadapi. Begitu ia tidak mengambil sikap yang seharusnya ia lakukan, ia sudah dianggap “berpaling” dari apa yang sebenarnya menjadi tujuan awalnya. Yang dimaksud “berpaling” disini adalah tidak menghiraukan apa yang sebenarnya menjadi tujuan awal pekerjaanya. Dengan tidak adanya kesigapan dan tidak hirau, dalam tatanan hukum (de jure), ia telah dianggap tidak memperdulikan apa yang seharusnya menjadi haknya.
IMPLIKASI AKIDAH
            Dengan memahami esensi akidah ini, kita akan mengerti bahwa seorang yang bersumpah: “ demi allah, saya tidak akan menetap dalam rumah ini”, secara eksplisit kata-kata ini akan dianggap bahasa tingkah laku yang menunjukan keinginanya untuk segera keluar dari rumah. Dengan demikian, ketika dia tidak segera keluar, dia dianggap telah “berpaling” (i’radl) dari apa yang dimaksud dalam sumpahnya. Dan dengan itu pula, ia dianggap sebagai orang yang melanggar sumpah, ketika ia berada dalam rumah pada saat ia  bersumpah.
            Contoh kasus yang masih berada dalam naungan  kaidah ini juga terdapat dalam aqad syuf’ah (jawa; ngejoki rego), yang dilakukan pada sebidang tanah yang dimiliki oleh dua orang, untuk kemudian salah satunya menjual separuh tanah yang menjadi bagianya kepada orang lain tanpa sepengetahuan rekan lamanya (syarik qadim), padahal rekan lamanya itu lebih berhak membelinya daripada orang lain.
            Setelah syarik qadim mengetahui penjualan tersebut, dia diperbolehkan memilikinya  dengan mengganti harga jual tanah kepada pihak pembeli (syarik hadits), namun dengan cacatan tidak ada penundaan proses penggantian harga tersebut (fawran). Artinnya, ketika si syarik qadim sudah bertemu dengan pihak pembeli, maka ia harus segera menyampaikan maksudnya untuk melakukan syuf’ah. Dengan demikian, jika syarik qadim berkata kepada pembeli (syarik hadits);” apakah yang kamu beli itu murah?, “maka perkataanya ini menyebabkan hilangnya hak syuf’ah yang ia miliki. Dengan perkataan ini dia dianggap “berpaling” dari tujuan semula untuk melakukan akad syuf’ah,karena ia tidak bersegera menyampaikan maksudnya melakukan akad syuf’ah.
            Contoh lainya adalah orang yang menemukan barang-barang yang dinilai kurang berharga (muhaqqarat), seperti remukan roti. Setelah orang tersebut menemukanya, kemudian ia “berpaling” dan tidak mengambilnya. Nah, bagaimanakah jika ada orang lain yang mengambil remukan roti itu. Jika menilik substansi kaidah ini, maka orang pertama yang “berpaling” itu haknya menjadi gugur, dan orang kedua boleh mengambilnya remukan roti tersebut.
            Contoh lain, seperti barang yang tidak dinilai sebagai harta benda dalam pandangan fiqh, seperti seseorang yang membuang arak. Apabila kemudian ada orang lain  yang mengambilnya dan setelah beberapa waktu arak itu berubah menjadi cuka; barang yang dalam pandangan syariat mempunyai nilai nominal harga dan berstatus terhormat, maka orang pertama yang telah membuang arak ini tidak berhak mengambil kembali arak yang telah  berubah menjadi cuka ini. Haknya menjadi gugur akibat pembuangan yang ia lakukan.
BATASAN “BERPALING”
            Secara cerdas, al-Zarkasy membagi i’radl ini menurut tinjauan jenis kepemilikan. Menurutnya, jika status kepemilikan seseorang adalah kepemilikan yang menetap (lazim), maka kepemilikan ini tidak gugur disebabkan “berpaling”. Seperti halnya ucapan salah satu diantara dua orang anak yang memiliki hak warisan; “ Aku tidak akan mengambil bagianku”, maka ke-berpaling-an semacam ini tidak menggugurkan hak warisannya. Sebab apa yang seharusnya ia warisi merupakan hal yang bersifat tetap (lazim). Kecuali jika ia berkeinginan untuk menggugurkan haknya, dan yang ingin dimilikinya adalah warisan berupa uang, maka harus ada serahterima antara dirinya dan orang yang akan menggantiakan posisinya sebagai penerima warisan; tidak hanya ungkapan bahwa ia tidak akan mengambilnya, seperti yang terjadi dalam kasus ini. Jika yang dimilikinya berupa hutang, maka harus ada proses pembebasan hutang (ibra’); tidak hanya sekedar ungkapan bahwa ia tidak akan ditagih, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
            Jika dicermati dengan seksama, contoh yang diajukan al-Zarkasy di muka agaknya merupakan pengecualian (mustatsnayat) dari kaidah yang sedang kita kaji saat ini. sebab didalamnya tidak terjadi pengguguran hak walaupun pemiliknya “berpaling”. Wallahu a’lam.   

terimaksih sudah membaca artikel saya tentang  fiqih kaidah-34. semoga bermanfaat untuk anda

referensi;
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005 "FORMULASI NALAR FIQIH Telaah Kaidah fiqh Konseptual"Cet I th. 2005 hal. 315-317

Comments

Popular posts from this blog

Ilmu Tawarikh An-Nuzul

Syarat-syarat al-Syufqah