Hukum Leasing Syariah

 Hukum Leasing Syariah

Sewa guna usaha atau leasing bukan merupakan fenomena baru, namun di negara-negara  berkembang, inisiatif menawarkan  leasing bagi usaha kecil dan mikro masih sangat jarang. Hal ini sangat mengejutkan mengingat  leasing memiliki manfaat besar atas kredit. Manfaat yang paling penting adalah bahwa pengusaha dapat memulai peralatan sebelum mereka benar-benar memilikinya. Artinya, selama periode pembayaran angsuran  leasing, pengusaha telah dapat merealisasikan pendapatan ekstra melalui penggunaan peralatan tersebut. Manfaat lain adalah bahwa  leasing tidak menetapkan (atau sangat sedikit) persyaratan agunan. Ini adalah fitur yang akan membuka pintu bagi banyak pengusaha sukses yang potensial yang melihat aplikasi pinjaman mereka ditolak hanya karena tidak memiliki agunan.
Selain itu manfaat lainnya adalah risiko pengalihan dana, risiko yang paling nyata bagi lembaga keuangan mikro dapat dicegah dalam leasing, mengingat pendanaan yang langsung diberikan untuk membeli peralatan tanpa pernah melalui tangan lessee. Adalah benar bahwa skema  leasing memerlukan sistem baru dan latihan khusus untuk staf. Usaha ekstra ini yang diperlukan untuk  leasing dapat mengarahkan lembaga keuangan pada pertanyaan  apakah mereka dapat menawarkan leasing pada suatu basis yang sehat. Ketidak-pastian tentang basis legal untuk leasing, seperti halnya seputar perpajakan, dapat juga mengecilkan hati lembaga keuangan dari mengembangkan suatu produk leasing. Pedoman ini mencoba untuk menyajikan kepada pembaca dengan gambaran yang lengkap tentang pro dan kontra  leasing untuk usaha kecil dan mikro, mencakup risiko-risiko untuk lembaga keuangan itu.[1]
Leasing berasal dari bahasa inggris yaitu lease yang memeiliki arti menyewa, dalam bahasa Indonesia leasing sering di istilahkan dengan sewa guna usaha. Secara khusus leasing adalah suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu. Secara umum leasing artinya Equinpment Funding, yaitu pembiayaan peralatan barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.[2]
Menurut keputusan bersama Menteri Keuangan, Meneteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor Kep. 122/MK/TV/74, Nomor 32/M/SK/2174, Nomor 30/Kpb/1/74 Tanggal 7 januari 1974,  Leasing adalah setiap kegiatan pembiyaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati.[3]
Sewa guna usaha syari’ah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi maupun tanpa hak opsi yang akan digunakan oleh penyewa selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran dimana menggunakan prinsip ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik. Sewa guna usaha syari’ah diatur di dalam:
1.      Peraturan Ketua Badan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Per-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
2.      Peraturan Ketua Badan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Per-04/BL/2007 tentang Akad-akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
3.      Surat Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor B-323/DSN-MUI/XI/2007 tanggal 29 November 2007 tentang Pernyataan DSN-MUI atas Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
4.      Fatwa DSN No:09/DSN-MUI/IV/2000 tentang IJARAH (Berisi tentang Rukun dan Syarat Ijarah, Ketentuan Objek Ijarah, Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah).
5.      Fatwa DSN No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-TAMLIK (Berisi tentang Rukun dan Syarat akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik, Ketentuan, dan Hal-hal yang dilakukan jika terjadi perselisihan).
Menurut Keputusan Menteri keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tanggal 21 November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha  (Leasing),  leasing adalah kegiatan pembiyaan barang modal baik secara leasing dengan hak opsi (finance lease) maupun leasing tanpa hak opsi atau sewa guna usaha (operating lease) untuk digunakan oleh  lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Yang dimaksud finance lease adalah kegiatan  leasing dimana  lessee pada akhir kontrak mempunyai opsi untuk membeli objek  leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sedangkan yang dimaksud dengan operating lease adalah kegiatan leasing dimana lessee pada akhir kontrak tidak memiliki hak opsi untuk membeli objek leasing.
a.       Sewa
Ijarah dalam pembiayaan leasing adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, antara perusahaan pembiyaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang tersebut.
b.      Sewa diakhiri dengan beli
Ijarah Muntahiyah bi at-Tamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai hak opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
Rukun dan Syarat Sewa Guna Usaha
1)      Kedua belah pihak yang berakad telah baligh dan berakal.
2)      Kedua belah pihak sepakat dan rela untuk melakukan akad leasing.
3)      Manfaat objek akad diketahui dua pihak secara sempurna.
4)      Objek akad dapat diserahkan, dipergunakan dan tidak cacat.
5)      Objek akad dihalalkan oleh syara’.
6)      Objek akad sesuatu yang biasa disewakan, seperti mobil, motor, rumah dan lain-lain.
7)      Upah atau sewa dalam akad harus jelas tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.
Leasing terdapat dua kategori yaitu:
1.      Operating Lease yaitu suatu proses menyewa suatu barang hanya untuk mendapatkan manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis operating lease sama dengan konsep ijarah di dalam syariah islam.
2.      Financial Lease yaitu suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Jika dimana akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap menjadi milik pemberi sewa atau perusahaan leasing. Akadnya dianggap sebagai akad sewa. Sedangkan jika pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi angsurannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Intinya dalam financial lease tersebut terdapat dua proses akad sewa dan akad beli.[4] Dimana selain membayar sewa yang ditetapkan, pada akhirnya masa kontrak pembiayaan, lesse akan membeli barang-barang modal tersebut berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.[5]
D.    Pihak yang Terlibat Pembiayaan Leasing
Dari skema tersebut dapat diketahui bahwa transaksi leasing terdiri dari pihak-pihak sebagai berikut:
1.      Lessor
Adalah perusahaan leasing yang membiayai keinginan nasabahnya untuk memperoleh barang-barang modal. Pihak perusahaan yang menyewakan barang sebagai pemberi sewa, lessor tidak diharuskan memiliki barang yang disewakan.
2.      Lesse
Merupakan nasabah yang mengajukan permohonan leasing kepada lessor untuk memperoleh barang modal yang diinginkan. Pihak pengguna barang yang diwajibkan membayar sewa disertai dengan hak opsi untuk membeli atau memperpanjang leasing.
3.      Supplier
Pedagang yang menyediakan barang yang akan dileasing sesuai perjanjian antara lessor dengan lesse dan dalam hal ini suplier juga dapat bertindak sebagai lessor. Supplier ini dapat terdiri dari perusahaan manufaktur yang berada di dalam dan luar negeri.
4.      Bank dan Kreditur
Dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau kreditur lain tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor.[6]
Dilihat dari teknis pelaksanaannya, transaksi sewa guna usaha atau leasing dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, sewa guna usaha langsung (direct lease) yaitu penyewa belum pernah memiliki barang modal yang akan disewakan, sehingga diperlukannya menghubungi supplier untuk pengadaan. Kedua, penjualan dan penyewaan kembali (sale and lease back) yaitu pihak penyewa biasanya terlebih dahulu menjual kepada perusahaan leasing barang modal yang pernah dimilikinya, baru kemudian disewanya kembali.
Untuk mengetahui mekanisme oprasional lembaga sewa guna usaha atau leasing, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
a)      Lesse bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga, dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksud.
b)      Setelah mengisi formulir permohonan, lesse mengirimkan kepada lessor disertai dokumen pelengkap.
c)      Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberi fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sewa), maka kontrak lease dapat ditandatangani.
d)     Pada saat yang sama, lesse dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yangdilease dengan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum pada kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
e)      Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
f)       Supplier dapat mengirim peralatan yang dilease ke lokasi lesse. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan  menandatangani perjanjian pelayanan purna jual.
g)      Leasse menandatangani tanda terima peralatan dan penyerahan kepada supplier.
h)      Supplier menyerahkan tanda terima (dari lesse), bukti pemilikan dan pemindahan kepemilikan kepada lessor.
i)        Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier
j)        Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan lease.[7]
F.     Perbedaan Leasing Syariah dengan Leasing Konensional dan Manfaat Leasing
No
Aspek
Leasing Syariah
Leasing Konvensional
1
Kerangka Hukum
Mengacu pada hukum Syariah dan hukum positif
Mengacu pada hukum positif saja
2
Isi perjanjian
Dijelaskan secara rinci biaya modal, margin, asuransi, administrasi dan lain-lain
Tidak dijelaskan secara rinci
3
Tingkat keuntungan
Margin laba
Bunga uang
4
Denda
Menjadi dana sosial
Menjadi pendapatan perusahaan
5
Jika ada pelunasan lebih awal
Nasabah tidak dikenakan biaya administrasi (Administrasi Nol)
Nasabah tetap dikenakan biaya administrasi
6
Jika pelunasan lewat jatuh tempo
Tidak ada istilah bunga berjalan
Dikenakan bunga berjalan
7
Bentuk transaksi
IMBT dengan obyeknya barang sehingga merupakan transaksi sewa beli atau BBA (Bai’ Bitsaman ajil) yaitu jual beli dengan cicilan pembayaran
Pinjam meminjam obyeknya uang dengan mekanisme bunga
8
Discount
Apabila ada discount unit, maka discount menjadi milik nasabah dengan mengulangi harga jual
Apabila ada discount unit, maka discount bisa untuk dealer atau milik nasabah
9
Asuransi
Memakai asuransi Syariah
Memakai asuransi konvensional
10
Pengawasan
Dewan Penasehat Syariah dan Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan
11
Sumber dana
Bank Syariah
Bank Konvensional
Pembiayaan melalui leasing memberikan beberapa keuntungan antara lain, yaitu:
Menghemat modal, untuk memulai usaha, lessee tidak perlu menyediakan dana dalam jumlah besar untuk menyiapkan barang-barang modal, dana yang tersedia dapat dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih urgent.
1.      Diversifikasi sumber-sumber pembiayaan, adanya sumber pembiyaan selain dari bank akan memberikan keleluasaan dan alternatif untuk membiayai usahanya tanpa khawatir adanya kebijaksanaan pengetatan ekspansi kredit perbankan yang akan membahayakan kelanjutan usahnya.
2.      Persyaratan yang kurang ketat dan lebih fleksibel, dipandang dari sisi perjanjiannya, leasing lebih luwes karena dapat dengan lebih mudah menyesuaikan dengan keadaan keuangan lessee.
3.      Biaya lebih murah, penggunaan suatu barang atau peralatan melalui metode leasing jauh lebih murah dibandingkan dengan kredit bank berdasarkan perhitungan nilai sekarang.
4.      Perlindungan akibat kemajuan teknologi, dengan memanfaatkan leasing, lessee dapat terhindar dari kerugian akibat barang yang disewa tersebut mengalami ketinggalan model atau sistem yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi.
5.      Pembiyaan proyek skala besar, adanya keengganan untuk memikul risiko investasi dalm pembiayaan proyek yang sering kali menjadi masalah diantara pemberi dana biasanya dapat diatasi melalui perusahaan leasing sepanjang tersedianya suatu jaminan penuh yang dapat diterima dan kemudahan untuk  menguasai aktiva yang dibiayai apabila terjadi suatu kelalaian.



[1] Drs. Herman Darmawi . Pasar Finansial Dan Lembaga-Lembaga Finansial, Jakarta: PT. Bumi Aksara,2006. Hlm. 201.
[2] Nurul Huda dan Mohamad Heykal, LEMBAGA KEUANGAN ISLAM Tinjauan Teoretis dan Praktis. Jakarta: Kencana, 2010. hlm. 367.
[3] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. hlm. 140.
[4] Subagyo, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Ke-2, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 2002. Hlm. 224.
[6] Drs. Herman Darmawi . Pasar Finansial Dan Lembaga-Lembaga Finansial, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006, hlm. 201.
[7] Thomas Suyatno, Kelembagaan Perbankan, Jakarta: PT Grafindo Pustaka Utama, 1999 hlm. 59.

Comments

Popular posts from this blog

fiqih kaidah-34

Ilmu Tawarikh An-Nuzul

Syarat-syarat al-Syufqah