Hukum talfiq dalam masyarakat
HUKUM-HUKUM TALFIQ DALAM SYARIAT ISLAM
HUKUM TALFIQ-sebagaimana terungkap sebelumnya, ruang lingkup talfiq hanyalah bermuara pada permasalahan-permasalahan partikular (cabangan) syariat saja, yakni permasalahan-permasalahan ijtihadi yang bersifat zhanni sedangkan dalam permasalahan-permasalahan dasar syariat, sebagaimana teologi, etika dan permasalahan agama yang bersifat qathi, tidak termasuk dalam ruang lingkup talfiq. sebab dalam semua permasalahan tersebut tidak berlaku taqlid, bahkan juga bukan termasuk dalam ruang lingkup ijtihad yang sehingga akan memunculkan kontroversi pendapat. permasalahan-permasalahan partikular syariat terklasifikasikan dalam tiga bagian.
pertama, permasalahan-permasalahan cabangan yang berlandasakan atas dasar kemudahan dan toleran, yang berubah-ubah kadarnya sesuai dengan perubahan kondisi seseorang, seperti halnya ibadah mahdlah (ritual). dalam permasalahan ini, praktik talfiq diperbolehkan bila ada kebutuhan. karena yang menjadi muara disyariatnya ibadah mahdlah adalah kepatuhan pada perintah allah dan penghambaan kepada-Nya, bukan mempersulit. karenanya, dalam permasalahan ini hendaknya tidak berlebih-lebihan dan terlalu ekstrim yang sehingga berakibat fatal. sementara dalam permasalahan ibadah maliyyah (berkaitan dengan harta benda). haruslah diperketat, supaya tidak menyia-nyiakan hak-hak fakir miskin. karenanya, dalam praktik zakat, sebaiknya tidak mengambil pendapat yang lemah atau melakukan talfiq yang akan berakibat penelantaran hak-hak faqir miskin. dan bagi para mufti, dalam memberikan fatwa seputar permasalahan ibadah maliyyah ini, haruslah menerapkan prinsip kehati-hatian dengan memperhatikan kondisi peminta fatwa.
kedua, permasalahan-permasalahan cabangan yang berlandaskan wara (kehati-hatian), seperti ketetapan syara yang bersifat larangan. ketetapan syara yang bersifat larangan ini didasarkan atas kahati-hatian dan keharusan bersifat wara selama masih memungkinkan. karena allah tidak melarang sesuatu kecuali didalamnya terdapat unsur merugikan. maka dalam hal ini, tidak tepat bila diterapkan talfiq, kecuali dalam keadaan dlarurat, sebagaimana dalam suatu kaidah yang berbunyi: "keterpaksaan memperbolehkan suatu yang dilarang".
dalam suatu hadits, Rasulullah saw. bersabda yang artinya: "apa yang telah aku larang, maka jahuilah dan apa yang aku perintahkan padamu maka laksanakanlah semampumu. (HR. Bukhari dan Muslim)
dalam teks hadits diatas, pelaksanaan perintah adalah sebatas kemampuan, sementara dalam larangan tanpa ada pembatasan (mutlak), karena untuk mengantisipasi dampak negatif pada hal-hal yang dilarang. karenanya, dalam pelarangan, tidak boleh dilakukan talfiq, berdasarkan prinsip kehati-hatian, sebagaimana dalam sebuah hadits yang artinya: "tinggalkanlah suatu yang meragukanmu, menuju suatu yang tidak meragukanmu, (HR. Turmudzi, Nasai, Ibnu Hibban dan Al-Hikam)
juga seperti yang terungkap dalam sebuah kaidah yang berbunyi: "tidaklah terkumpul antara halal dan haram, kecuali haram mengalahkan yang halal.
dalam larangan yang berkaitan erat dengan hak-hak manusia, tidak diberlakukan talfiq, sebab larangan-larangan itu dibangun atas dasar memelihara menghindarkan penganiyayaan dan permusuhan pada orang lain. sedangkan talfiq berpotensi untuk menjelma sebagai suatu bentuk rekayasaan yang bertujuan untuk pemerkosaan hak serta merugikan orang lain.
ketiga, masalah-masalah cabangan syariat yang terbangun atas dasar kemaslahatan manusia. seperti permasalahan-permasalahan sosial yang meliputi mu'amalah, pidana, pernikahan, pengeluaran harta-harta sepuluh persen, dan seperlima harta tabungan; pernikahan dan hal-hal yang berkaitan denganya seperti perceraian aturan atas dasar pencapaian kebahagiaan dan kesejahteraan suami, istri dan keluarga. hal ini bisa terealisasi dengan menjaga keharmonisan suami istri serta mewujudkan kehidupan yang sejahtera, seperti yang telah disebutkan dalam QS.Al-Baqarah ayat 229 yang artinya:
"setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik".
dengan demikian hal-hal yang dapat mewujudkan prinsip-peinsip diatas haruslah dilaksanakan, kendati dalam sebagian kasus harus melalui praktik talfiq. namun, talfiq tersebut tidak boleh dijadikan sebagai perantara mempermainkan ketetapan-ketetapan yang ada dalam pernikahan dan perceraian, dengan tetap menjaga kaidah syara' yang berbunyi;''sesungguhnya hukum dasar dalam kemaluan wanita adalah haram".
ketentuan semacam ini ditunjukan untuk memelihara hak-hak perempuan serta untuk menghindarkan pencampuran nasab. dengan demikian, praktik talfiq tidak diperkenankan dalam persoalan ini. sedangkan permasalahan sosial, seperti mu'amalah pengeluaran sepuluh persen harta, seperlima harta tambang saksi pidana, dan lain-lain, dari setiap tuntunan syariat yang berasaskan kemaslahatan manusia dan kemanfaatan yang penting arti bagi kehidupan, haruslah memilih diantara pendapat-pendapat dari beberapa madzhab, suatu pendapat yang lebih memberikan lemaslahatan manusia, kendati akan terjadi praktik talfiq. karena, kemaslahatan manusia bisa berubah selaras dengan variabel perubahan zaman, tradisi dan peradaban. sedangkan standar kemaslahatan yang terjadi pertimbangan hukum adalah setiap hal yang mengandung keterpeliharanya 5 prinsip dasar, yaitun agama, jiwa, akal fikiran, keturuna, dan harta benda. pemelihara kemaslahatan sebagaimana diatas sangat dianjurkan oleh syara' baik dalam Al-Qur'an, hadits, ataupun ijma' ulama'.
Referensi:
Purna Siswa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP. Lirboyo Kota Kediri “Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam” Cet I th. 2004 hal. 402-404
Comments
Post a Comment