HIBAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT
dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui nabi Muhammad SAW. Semasa
hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian
hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula shodaqoh karena
islam menganjurkan untuk bershodaqoh dengan tujuan menolong saudara muslim yang
sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT. Shodaqoh bisa berupa uang,
makanan, pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas,
shodaqoh bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa
lainnya bahkan senyuman sekalipun.
Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong
menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama Islam seperti pemberian
hadiah, hibah dan shodaqoh. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan
sedikit menguraikan hal tersebut dalam bab selanjutnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Hibah?
2.
Apa
Dasar Hukum Hibah?
3.
Apa
rukun hibah?
4.
Apa saja
syarat hibah?
5.
Apa saja
macam-macam hibah?
6.
Apa
hukum (ketetapan) hibah?
7. Bagaimana Pendapat Para Ulama Mengenai Hibah
yang Lebih dari Sepertiga?
8.
Bagaimana
hukumnya rujuk pada hibah?
9.
Apa saja
barang yang tidak boleh ditolak?
10. Apa hikmah dari hibah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hibah
Kata hibah berasal dari kata “: bubuuburiih”
yang berarti “ maruurubaa” ‘perjalanan angin’. Kemudian kata hibah dengan
maksud adalah memberikan sesuatu kepada orang lain, baik harta maupun lainnya.
Secara pengertian syara’, hibah berarti akad
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain pada saat ia masih hidup,
tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain
untuk dimanfaatkan tetapi tanpa hak kepemilikan, maka hal tersebut di sebut
I’aarab ‘ pinjaman’. Begitu juga jika
seseorang memberikan sesuatu harta, seperti khamar atau bangkai, maka hal
tersebut tidak layak sebagai hadiah dan bukanlah sebuah hadiah.
Hibah dimiliki semata-mata hanya setelah terjadi
akad, sesudah itu tidak dilaksanakan tindakan penghibahan kecuali atas ijin
dari orang yang akan diberi hibah.[1]
Hibah adalah memberikan sesuatu barang yang
dapat dijual, dipinjamkan kepada orang lain diwaktu hidup dengan Cuma-Cuma.
Hibah biasanya dilakukan kepada anak yang belum dapat berusaha sendiri, sebagai
pemberian modal perusahaan dan sebagainya selain warisan.[2]
Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang
berarti suatu persetujuan, dengan si pemberi hibah diwaktu hidupnya dengan
Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna
keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai layaknya milik pribadi.
Dalam KUH Perdata sama sekali tidak mengakui lain-lain hibah, kecuali hibah di
antara orang-orang yang masih hidup. Hibah itu hanya mengenal benda-benda yang
sudah ada, jika benda itu meliputi benda yang akan ada di kemudian hari, maka
sekedar mengenai hal ini hibahnya adalah batal (pasal 1666 dan 1667 KUH
Perdata)
Dalam pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian ini sama dengan definisi
yang banyak disebut dalam kitab fiqih tradisional bahwa yang dimaksud dengan
hibah adalah pemilikan sesuatu melalui akad tanpa mengharapkan imbalan yang
telah diketahui dengan jelas ketika si pemberi hibah masih hidup. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa kerelaan dalam melakukan perbuatan
hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsure yang harus da dalam
pelaksanaan hibah. Jadi asasnya adalah sukarela.[3]
B. Dasar
Hukum Hibah
1.
Hibah
Menurut Al-Qur’an
a.
Q.S Al-Maidah Ayat 2
b.
Q.S
Al-Imron Ayat 92
c.
Q.S Al-
Baqorah 195
2. KHI PASAL 210 yang berbunyi:
“Orang yang
telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki”.
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan.[4]
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan.[4]
3.
Dari
hadist
Dalam suatu hadist disebutkan “ Riwayat dari Abu Hurairah r.a bahwa Rosullah
saw bersabda,’ saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai.”
Rasulullah saw telah menerima hadiah dan
membalasnya. Beliau menyerukan untuk menerima hadiah dan menganjurkannya. Dalam
riwayat hadist Ahmad dari hadist Khalid bin Adi bahwa Nabi saw telah bersabda,
“ barang siapa yang mendapatkan kebaikan
dari saudaranya bukan karena mengharapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia
menerima dan tidak menolaknya, karenaa merupakan rezeki yang diberikan Allah
kepadanya.”
Rasulullah saw telah menganjurkan untuk
menerima hadiah sekalipun sesuatu yang kurang berharga. Oleh karenanya para
ulama berpendapat bahwa makruh menolak pemberian hadiah apabila tidak ada
halangan yang bersifat syara’. “
Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah saw bersabda ‘seandainya aku diberi
hadiah sepotong kaki binatang, tentu aku akan menerimanya. Seandainya aku
diundang untuk makan sepotong kaki,tentu aku akan mengabulkan undangan itu’.”
(HR Ahmad dan Tirmidzi). Bahkan Rasulullah saw pernah menerima hadiah dari orang kafir. Beliau menerima hadiah dari Kisra, Kaisar, dan dari Muqaukis. Begitu juga beliau memberikan hadiah dan hibah pada orang kafir. [5]
(HR Ahmad dan Tirmidzi). Bahkan Rasulullah saw pernah menerima hadiah dari orang kafir. Beliau menerima hadiah dari Kisra, Kaisar, dan dari Muqaukis. Begitu juga beliau memberikan hadiah dan hibah pada orang kafir. [5]
C.
Rukun Hibah
Menurut
jumhur ulama’ rukun hibah ada empat:
1. Wahib (Pemberi)
Wahib
adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.
2. Mauhub lah (Penerima)
Penerima
hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.
3. Mauhub
Mauhub
adalah barang yang di hibahkan.
4. Shighat (Ijab dan Qabul)
Shighat
hibah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul. Malik dan
Syafi’i berpendapat bahwa dipegangnya qobul dam hibah. Kalangan mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ijab sudah cukup danitulah yang paling sahih. Sedangkan
mazhab Hambali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan pemberian yang menun
jukkan keterkaitan dengan Nabi.[6]
D.
Syarat Hibah
Hibah
menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang
dihibahkan
1.
Syarat-syarat
penghibah
Disyaratkan
bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut:
a. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan.
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya
karena suatu alasan.
c. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak
kurang kemampuannya.
d. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu
akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
2.
Syarat-syarat
bagi orang yang diberi hibah
Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar
ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya,
misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi
hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila,
maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya
sekalipun dia orang asing.
3.
Syarat-syarat
bagi yang dihibahkan
Di isyaratkan
bagi yang dihibahkan:
a. Benar-benar ada
b. Harta yang bernilai
c. Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang
dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan
pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai,
ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.
d. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah,
seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan
untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila
ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.[7]
E. Macam-macam Hibah
Hibah
dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :
v Hibah barang adalah memberikan harta atau
barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau
barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun.
Misalnya menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya
v Hibah manfaat, yaitu memberikan harta
kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu,
namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan
kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna
atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah
muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga
dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu,
barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan
F.
Hukum ( ketetapan) Hibah
a.
Hukum
Hibah
Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang
dihibahkan bagi mauhubnya ( penerima hibah) tanpa adanya pengganti.
b.
Sifat
Hukum Hibah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat
kepemilikn pada hinah tidak lazim. Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh
pemberi. Akan tetapi dihukimi makhruh sebab perbuatan itu terkesan termasuk
menghina si pemberi hibah. Selain itu yang diberi hibah harus ridha.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang
telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian
orang tua kepada anaknya yang masih kecil, jika belumbercampur dengan hak orang
lain.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa hibah tidak dapat dikembalikan kecuali pemberian orang tua pada anaknya.[8]
G.
Pendapat Para Ulama Mengenai Hibah yang Lebih
dari Sepertiga
Sayyid
Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa
seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli
waris.
Tetapi
Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi mengemukakan
bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan.
Mereka menganggap orang yang bebuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib
dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:
1. Jika
hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan
hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya.
2. Tetapi jika
hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan
Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.
Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW.
Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap
anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda
menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara
berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain
Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan
beberapa pakar hukum islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu
dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah
seorang anaknya, haruslah bersikap adill diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali.
Yang masih diperselisihkan para ahli hukum islam adalah tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan anak-anak itu? Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama diantara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-lakiitu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum islam , sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadist yang menyatakan menyamakan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadist yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal.
Yang masih diperselisihkan para ahli hukum islam adalah tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan anak-anak itu? Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama diantara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-lakiitu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum islam , sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadist yang menyatakan menyamakan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadist yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal.
Prinsip pelaksanaan hibah orang tua terhadap
anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam berberapa hadist
dikemukakan bahwa bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi
semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan orang tua
kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi didasarkan
pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang
aneh apabila bagian waris yang dilakuka tidak adil akan menimbulkan penderitaan
bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke pengadilan
agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar
Ibnul Khttab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak
keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan
pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan.
Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang
yang yang menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’ yaitu orang yang berhak
berderma dan bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya
adalah :
a.
bukan
seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta,
karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga
hartaharus mendapat izin dari suaminya
b.
bukan
orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika harta
yang dihibahkan melebihi dari sepertga. Jika menghibahkan lebih dari sepertga
maka harus mendapatkan persetujuan ahli waris[9]
H.
Rujuk ( Menarik Kembali) pada Hibah
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa membatalkan kembali hibah itu adalah haram, sekalipun
hibah itu terjadi pada saudara atau suamu-istri, kecuali apabila hibah orang
tua pada anakny, maka mengambil kembali boleh karena sebagaimana pengarang Sunan,dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
bahwa Nabi Bersabda: “ tidak halal bagi
seorang laki-lakiuntuk memberikan atau menghibahkan suatu bibah, kemudian ia
mengambil kembali pemberiannya tersebut, kecuali apabila hibah dari orang tua
kepada anaknya” perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberiaan
kemudian menaarik kembali maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah
anjing itu kenyang muntah, kemudian ia memakan muntahannya kembali.” (HR
Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, dan dia mengatakan bahwa hadist ini hasan lagi
sahih).
Hadist
tersebut sangat jelas sekali menunjukkan keharaman menarik kembali hibah yang
telah diberikan. Demikian halnya dibolehkan menarik kembali pemberian hibahnya
apabila pemberi hibah agar mendapatkan imbalan dan balasan atas hibahnya,
sedangkan orang yang dihibahkan tersebut belum membalasnya. [10]
Jumhur
ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecuali hibah orang
tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu
barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR.
Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. :
اَلْعَائِدُ فِىهِبَتِهِ كَااْلكَلْبِ يُقِئُ ثُمَّ يَعُوْدُفِىقَيْئِهِ (متفق عليه)
“Orang
yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya
kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai
berikut :
Ø Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya,
karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
Ø Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan
diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..
Ø Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan
menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain.
I.
Bentuk Hadiah dan Hibah yang Tidak Boleh di
Tolak
ü Riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw
telah bersabda,
“tiga pemberian yang tidak boleh
ditolak:bantal, minyak wangiii,,, dan susu.” (HR. Tirmidzi)
ü Riwayat dari Abu Hurairah bahwwwaaa Rasulullah
saw bersabda:
“barang siapa yang diberi wewangian, maka
jangan menolak karena wewangian itu mudah dibawa dan harum baunya.” (HR Muslim)[11]
J.
Hikmah Hibah
Hikmah
disyari’atknnya hibah sangatlah besar, karena hibah dapat menghilangkan rasa
iri dengki, kemudian dapat menyatukan hati dalam cinta kasih dan saling
menyayangi satu sama lain. Hibah menunjukan kemuliaan akhlak, di mana memberi
adalah suatu sifat kesempurnaan yang dimiliki oleh Allah SWT, sebagai mana yang
terdapat dalam salah satu firmannya yang artinya:
“(mereka
berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada
kami rahmat dari sisi Engkau; Karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi
(karunia)".(Ali ‘Imran: 8)
Apabila
seseorang suka memberi maka sesungguhnya dia telah belajar menghilangkan
kebakhilan jiwa, memberikan kebahagiaa di hati orang yang diberi dan
menumbuhkan rasa kasing sayang diantara mereka. Dan yang paling penting yaitu
mempererat tali silaturahim sebagai mana yang diperintahan Allah SWT dalam
firmanya yang artinya:
“Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam)”.(Al-Ra’d: 25)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian
Hibah adalah memberikan hak memilik sesuatu benda kepada orang lain yang
dilandasi oleh ketulusan hati atas dasar saling membantu kepada sesama manusia dalam hal kebaikan.
Hibah pada dasarnya memang tidak ada kaitannya dengan
kewarisan, karena berdasrkan pelaksanaan sudah jauh berbeda. Hibah
diberika ketika si penghibah masih hidup sedangakan kewarisan dilakukan setelah
adanya kematian. Namun dengan adanya permasalahan yang ada, tak menutup
kemungkinan seseorang memberikan atau menhadiahkan seluruh hartanya kepada
orang lain, yang mana bisa merugikan ahli warisnya kelak.
Esensi Kompilasi Hukum Islam, dalam memberikan
Batasan pemberian hibah adalah baik kepada anak-anaknya sendiri atau kepada
selain ahli waris. Jika batasan hibah kepada selain ahli waris karena ada
kaitannya dengan kecukupan ahli waris kelak, maka hibah kepada anak-anaknya
dibatasi juga untuk rasa keadilan.
[1]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jakarta: Daruul Fath, 2004, hal 435
[2] M
Anwar, Fiqh Islam,Subang:Sahabat
Penuntun Umat,1980, hal 91
[3]Saekan,dkk,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya : Arkola, 1997, hal. 125.
[4] Muhammad Daud Ali, Sistem
Ekonomi Islam zakat dan WAkaf ,UI-Press, 1988, hlm. 345
[5]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hal. 437
[6] Tamakiran,
Asas-Asas Hukum Waris menurut Tiga Sistem, Bandung : Pionir Jaya, 1987,
hal.78
[7] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, hal. 438
[8] Abdurrahman, Fikih
Empat Mazhab – Terjemahan dari Kitab Fiqh ‘alā Mazāhib al-Arba’ah, Jakarta:
Rajawali Press, 2007, Hlm. 103
[9] Abdu Shomad, Hukum
Islam – Panorama Prinsip Syariah dalam Hukum di Indonesia, Jakarta:
Cakrawala Publishing, 2002, hlm 235
[10]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 444
[11]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm. 445
Comments
Post a Comment