Syarat-Syarat pemimpin
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan
pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari
segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak
terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil. Pemimpin
setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena
pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah
Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai
dengan realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul
akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika
pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia
terbebas dari segala bentuk dosa.
Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda
dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa.
Semakin kuat iman dan kesadaran mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka
untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan
yang didapat tanpa melalui proses penalaran) dan pandangan bathin, sehingga
manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan
melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan
melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol. Saya memahami apa
yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah mencapai intuitif dan
pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita rasa realitas
spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa realitas spiritual,
maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya
tadi terbebas dari segala bentuk dosa.
Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada
pengetahuannya yang sesuai dengan realitas dari wujud atau pun suatu maujud.
Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh alam, maka pastilah
ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak manusia. Kemudian
seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah
berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.” Imam
Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada
tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada
manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan
serba mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang.
Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia
membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya.
Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada
yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak
ekonomi, karena alasan agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut
melakukan kecurangan maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW
wafat, maka ummat Islam sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali
Bin Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana
akhir dari kepemimpinan tersebut adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam
akhir zaman.
Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi
tersebut? dan siapakah yang memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab
pertanyaan ini, ada 4 dasar falsafi kepemimpinan kelompok dalam Islam (syi’ah),
yaitu:
Pertama, Allah adalah hakim mutlak
seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah adalah Malik al-Nas, pemegang
kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia harus dipimpin oleh
kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem ini disebut
sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan Ilahiyah
disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah atau
kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah, tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. ”Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan pelaksana.” menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis
Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah zaman Nabi berakhir dengan wafatnya
Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan
oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya. Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah
zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir
adalah Muhammad ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan
gaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia
fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan
ghaibah kubra, yaitu setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya
kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan
oleh para faqih, hingga akhir zaman tiba.
Keempat, para faqih diberikan beban
menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan atas hukum Allah. Oleh karena seorang
faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang hukum Illahi.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul,
filsafat Politik Islam, menyebutkan bahwa secara terperinci seorang faqih harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Faqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang
sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.
’adalah : memperlihatkan ketinggian
kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini
Ditunjukkan dengan sifat istiqamah, alshalah, dan
tadayyun.
Kafa’ah : memiliki kemampuan untuk
memimpin ummat, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat,
cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.
Menurut Khomeini, selain persyaratan umum seperti
kecerdasan dan kemampuan mengatur (mengorganisasi), ada dua syarat mendasar
lainnya bagi seorang fuqaha yaitu pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang
fuqaha sebenarnya adalah wujud dari hukum Islam itu sendiri. Dengan ini
terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh untuk berbuat salah. Sebelum
akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama
(faqih) yang memenuhi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi
faqih (ulama). Manusia harus melewati proses-proses pengujian baik secara
intelektual maupun spiritual. Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan
dan hidayah-Nya.
Dalam kitab Al-Fiqh 'Ala Al-Madzahib Al-Arba'ah (5
: 461) menyimpulkan : "Mereka sepakat bahwa imam disyaratkan harus Muslim,
mukallaf, merdeka, laki-laki, Quraisy, adil, alim, mujtahid, pemberani, memeliki
wawasan yang benar, sehat pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan." Ibn
Taimiyah, walaupun menolak syarat-syarat klasik ini, karena dianggap tidak
realistis, namun beliau menegaskan bahwa keadilan beserta amanah adalah dua
kualitas esensial pemerintahan Islam (lihat Qamaruddin Khan, The Political
Thoughts of Ibn Taymiyah, Islamabad Islamic Research Institution, 1973).
Setelah Rasulullah Saw wafat, yang memegang kendali kepemimpinan politik Islam,
bukan lagi tokoh ideal seperti Nabi. Abu Bakar Ra –seperti dinyatakan oleh Umar
Ra dalam kitab Al-Hudud, Bab Rajm Al-Hubla, Shahih Bukhari—dipilih
tergesa-gesa, tetapi Allah Swt menyelamatkan umat dari kekurangannya. Bahkan
Abu Bakar sendiri mengakui bahwa ia bukanlah orang yang paling baik untuk
menduduki jabatan khalifah. Ketika diangkat menjadi khalifah, Abu Bakar Ra
berkhutbah : "Sesungguhnya dalam posisi ini aku bukanlah yang terbaik
diantara kalian. Ketahuilah kadang-kadang syaitan menguasai diriku. Bila aku
baik bantulah aku. Bila aku salah luruskanlah aku. Taati aku selama aku taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, kalian
tidak wajib menaatiku." (Khutbah ini diungkapkan dengan bermacam-macam
redaksi pada Ibn Hiyam (4 : 340), Al-Tabari (3 : 303), Al-Imamah wa Al-Syiyasah
(16); Ibn Katsir (5 : 248); Tarikh Al-Khulafa' (47); Al-Halabiyah (3 : 397);
dan Kanz Al-Ummal (3 : 129). Jadi, sebenarnya Abu Bakar dipilih tidak melalui
suatu proses ijma', seperti diyakini oleh banyak kalangan. Para mu'arrikh
misalnya, menyebutkan sejumlah orang yang berlindung di rumah Fatimah Az-Zahra
Ra; 'Abbas, Salman, 'Ammar ibn Yasir, Al-Barra' ibn 'Azib, Sa'ad ibn Abi
Waqqash, 'Utbah ibn Abi Labhab, Abu Dzar, Miqdad ibn Al-Aswad, Ubay ibn Ka'ab,
Thalhah ibn Ubaidillah, kelompok Bani Hasyim, sekelompok Muhajir dan Anshar.
[Baca : Musnad Ahmad (1 : 155); Al-Thabari (2 : 466); Ibn Al-Atsir (2 : 124);
Ibn Katsir (5 : 246); Ibn Abi Al-Hadid (1 : 123); Tarikh Al-Khulafa' (45); Ibn
Hisyam (4 : 338); Tarikh Al-Khamis (1 : 188); Ibn 'Ad Rabbih; Tarikh Abi
Al-Fida (1 : 156); dan Al-Halabiyah (3 : 394)]. Mereka beranggapan bahwa 'Ali
ibn Abi Thalib Kw, berdasarkan nash penunjukan oleh Nabi Saw, berhak untuk
menjadi khalifah. Beliau dipandang lebih adil, lebih faqih, dan lebih dekat
dengan Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah Fatimah Az-Zahrah Ra wafat, 'Ali
berbaiat kepada Khalifah Abu Bakar Ra yang kemudian diikuti oleh kelompoknya.
Sa'ad ibn 'Ubadah, calon pemimpin dari kalangan Anshar yang tidak terpilih, pun
tidak melakukan perlawanan. 'Ali ibn Abi Thalib Kw malah memberikan dukungan
intelektual terhadap Abu Bakar dan Umar. Beliau sering membantu mereka dalam
mengatasi masalah-masalah hukum, walau pun ia tidak menduduki jabatan apa pun.
Dalam menghadapi kesenjangan, seperti dikatakan Jalaluddin Rahmat; antara das
Sollen dan das Sein –yang tidak begitu besar—umat terpecah kepada kelompok
pendukung das Sollen dan kelompok pendukung das Sein.
Pada zaman Abu Bakar dan Umar, kedua kelompok ini
–setelah komplik yang juga tidak begitu besar—bergabung mendukung keduanya.
Sehingga, seperti dikatakan Maududi, Abu Bakar dan Umar berhasil menegakkan
sistim politik yang adil: pemerintahan berdasarkan musyawarah, amanah,
kekuasaan hukum, jiwa demokrasi, dan anti ashabiyah. Kualifikasi Pemimpin dalam
Pemikiran Islam Sebenarnya, apa sajakah kualifikasi pemimpin menurut para
pemikir politik Islam? Adalah Al-Farabi yang memiliki concern mengenai pewenang
tertinggi dalam pemerintahan ini. Beliau menyebutnya dengan al-ra'is al-awwal
li al-madinah al-fadhilah wa ra'is al-mamirah min al-ardh kulliha (Pemimpin
Tertinggi Negara Utama dan Pemimpin Oikumene Dunia). Di antara sifat-sifat
pemimpin yang disebutkan Al-Farabi ialah : "…bijak, berbadan kuat,
bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas,
fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan kesulitan
karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia
jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang –hatta terhadap diri dan
keluarganya—serta berani dan paling awal." Al-Farabi juga menyebutkan :
"Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah
sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini terpenuhi dalam diri seseorang,
dialah sang pemimpin.
Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki
sifat-sifat tersebutlah yang dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang
pun yang memenuhi sifat-sifat tersebut secara maksimal, namun ada dua orang,
yang satu bijak (hakim) dan lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka
kedua-duanya menjadi pemimpin bersama. Dan masing-masing orang saling
melengkapi satu dengan lainnya. Apabila sifat-sifat ini ada pada lebih dua
orang, dan mereka saling mengerti, maka semuanya adalah para pemimpin yang
dihormati." Sementara itu, Syeikh Al-Ra'is ibn Sina menyatakan dalam
kitabnya, Al-Syifa', Bab "Penentuan Khalifah dan Imam", sebagai
berikut : "… Kemudian wajib bagi seorang pemimpin untuk mewajibkan patuh
kepada orang yang akan menggantikannya. Suksesi ini tidak boleh terjadi
melainkan dari sisinya, atau berdasarkan ijma' para ahli senior atas seseorang
yang secara publik dan aklamasi diakui sebagai orang yang mandiri dalam
politik, kuat secara intelektual, bermoral mulia –seperti berani, terhormat,
cakap mengelola, dan arif dalam hukum syariat—sehingga tiada orang yang lebih
dikenal darinya." "Ditetapkan kepada mereka bahwa apabila terjadi
perselisihan atau pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu, atau mereka sepakat
(menetapkan) orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini, dan yang tidak
layak, maka mereka akan kafir kepada Allah Swt." Al-Qadhi Abu Ya'la
Al-Gharra' dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, menyatakan : "Orang yang
layak menjadi pemimpin harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1) berasal dari
keturunan Quraisy;
2) memenuhi
sejumlah syarat, seperti layaknya seorang hakim (qadhi), merdeka, akil, balig,
berilmu, dan adil;
3) arif dalam
urusan peperangan, politik, dan pelaksanaan hukum-hukum hudud sehingga rasa
belas kasihannya tidak menghalanginya dari berbuat adil, serta memiliki sifat
membela umatnya; dan
4) yang paling
utama dalam ilmu dan agama di antara mereka.
" Al-Mawardi, teoritisi utama politik Islam
Sunni memerinci dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, bahwa : "Orang yang
layak menyandang kepemimpinan, harus memenuhi tujuh syarat, yaitu :
1) adil dengan
keseluruhan persyaratannya;
2) berilmu
pengetahuan sehingga mampu berijtihad dalam kasus-kasus yang dihadapi dan
ketetapan-ketetapan hukum;
3) memiliki
kesempurnaan indra seperti pendengaran, penglihatan, dan pembicaraan agar
dengannya ia bisa melaksanakan tugasnya sendiri;
4) tak memiliki
cacat tubuh yang bisa menghalangi dinamika kerja dan tindakan segera;
5) memiliki
kemampuan menggagas yang dapat melahirkan strategi kepemimpinan rakyat dan
pengaturan kemaslahatan;
6) berani dan
tangguh sehingga mampu mempertahankan Negara dan melawan musuh; dan
7) nasab sang
pemimpin hendaklah dari keturunan Quraisy, dan mendapatkan kesepakatan
(konsensus).
" (Lihat
Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, 6). Sementara itu, uraian tentang kepemimpinan Islamdalam pandangan Syi'ah bertolak dari konsep wilayah dan imamah. Wilayah adalah
konsep luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah. Sedangkan imamah
adalah kepemimpinan (zi'amah), pemerintahan (hukumah) dan riasah 'ammah dalam
urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi Saw dan para imam sesudah
Nabi. Menurut Murtadha Muthahhari, kata wala, walayah, wilayah, wali, maula,
dan derivat lainnya, banyak sekali disebut dalam Al-Quran. Sebagai kata kerja
disebut 124 kali, dan sebagai kata benda disebut 112 kali. Hal ini menunjukkan
betapa pentingnya Al-Quran memandang masalah wilayah. Dalam buku Al-Mukaddimah,
Ibn Khaldun menulis tentang kualifikasi pemimpin : "Syarat-syarat jabatan
ini ada empat; ilmu, keadilan, kemampuan, dan keselamatan indra dan
anggota tubuh dari hal-hal yang bisa mempengaruhi
cara berpendapat dan bertindak. Adapun syarat kelima, tentang keturunan
Quraisy, hal ini masih diperselisihkan. Syarat berilmu pengetahuan juga jelas,
karena dia akan bisa menjalankan hukum-hukum Allah apabila dia mengetahuinya.
Hal yang tidak diketahuinya tidak boleh diajukan sebagai (ketetapan) hukum dan
perintahnya. Berilmu pengetahuan yang dimaksudkan tidak akan memadai kecuali
dia seorang mujtahid, mengingat taklid adalah suatu kekurangan; sementara
kepemimpinan menuntut kesempurnaan dalam karakteristik dan watak…" (Baca :
Ibn Khaldun, Muqadimah, 135). Abd Al-Malik Al-Juwaini (Imam Al- Haramain),
dalam kitabnya, Al-Irsyad; Al-Qalqasyandi dalam bukunya, Ma'atsir Al-Inafah fi
Ma'alim Al-Khilafah (1 : 31),
pasal kedua, bab syarat-syarat imamah, dan Ibn Hazm
Al-Andalusi, di antara para ulama yang lain, umumnya mengungkapkan
kualifikasi-kualifikasi yang sama, dengan beberapa variasi kecil.
Referensi:
Mawardy, Al-. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Mawqi’u
Al-Islam (Al-Maktabah Al-Syamilah)
Nawawi, Hadari. Kepemimipinan Menurut Islam.
Yogyakarta: GAMA University Press, 1993
Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-. Shahih
Al-Bukhari, Berut: Dar Ibnu Katsir, 1987-1407
Comments
Post a Comment